Nama asli Sultan Agung adalah Raden Mas Jatmika atau Raden Mas Rangsang yang merupakan putra dari pasangan Panembahan Hanyokrowati dari istrinya yang bernama Dyah Banowati.
Sultan Agung menjadi raja ketiga Kerajaan Mataram setelah berakhirnya masa pemerintahan raja pertama, Panembahan Senopati, dan raja kedua, Panembahan Hanyokrowati. Pengangkatan sebagai raja tidak langsung dilakukan oleh ayahnya karena pada awalnya yang diangkat adalah Raden Mas Wuryah, namun ia hanya dijadikan raja selama sehari semalam. Raden Mas Wuryah sendiri adalah putra dari Panembahan Hanyokrowati dari istrinya yang bernama Ratu Tulungayu dari Ponorogo. Atas kejadian pengangkatan Raden Mas Rangsang sebagai pengganti Panembahan Hanyokrowati itulah yang menyebabkan terjadinya penentangan dari pihak Ponorogo.
Menurut JP. Coen sebagaimana dikutip dalam buku “Babad Tanah Jawi” karya Soejipto Abimanyu disebutkan bahwa kala itu Raden Mas Wuryah masih berumur 8 tahun sedangkan Raden Mas Rangsang berumur sekitar 20 tahun. Lalu Raden Mas Wuryah diangkat sebagai raja selama sehari semalam. Setelah turun tahta lalu diangkatlah Raden Mas Rangsang sebagai raja Mataram.
Pada saat diangkat menjadi raja, Sultan Agung mendapat gelar Panembahan Agung Senopati Ing Alaga Ngabdurrahman. Ia juga bergelar Prabu Pandito Cokrokusumo atau Prabu Pandita Hanyakrakusuma atau Panembahan Hanyakrakusuma. Selain itu ia juga bergelar Susuhunan di mana gelar ini dipakai setelah mendapatkan kemenangan atas Madura pada tahun 1624. Gelar Susuhunan ini mencontoh gelar para wali atau para penyebar agama Islam. Gelar lengkapnya adalah Susuhunan Agung Hanyakrakusuma.
Pada tahun 1641, setelah dikirimkan utusan ke Mekkah dan kembali ke kerajaan, Sultan Agung mendapat gelar Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram disertai kuluk untuk mahkota, bendera, pataka, dan sebuah guci berisi air zam-zam. Ia tak mau kalah dengan pesaingnya, Pangeran Ratu dari Banten, raja pertama di Pulau Jawa yang menerima gelar sultan dari Mekkah yaitu Sultan Abulmafakir Mahmud Abdulkadir. Adapun nama populer yang dikenal sekarang adalah Sultan Agung yang baru ditemukan dalam redaksi babad pada masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwana II (1749-1788).
Sultan Agung menjadi penerus cita-cita Panembahan Senopati yaitu ingin mempersatukan Pulau Jawa dan bahkan berniat juga untuk menaklukkan seluruh Kepulauan Nusantara. Namun yang menjadi prioritas adalah Pulau Jawa karena pada saat itu masih terdapat beberapa daerah atau kerajaan yang berdiri sendiri seperti Banten, Blambangan, Cirebon, Surabaya, Giri, dan sejumlah daerah di pesisir pantai utara. Karenanya, Sultan Agung mengerahkan tentaranya untuk menguasai terlebih dahulu pesisir utara. Secara berturut-turut ia berhasil menaklukkan Wirosobo (1615), Lasem (1615), Pasuruan (1616), Gresik (1618 dan 1622), Tuban (1619), Surabaya (1625), dan Blambangan (1635).
Sultan Agung kemudian mengarahkan serangannya ke arah barat yaitu ke Kesultanan Banten dan orang-orang Belanda di Batavia. Keduanya dipandang sebagai penghalang ambisi Sultan Agung untuk menjadikan Mataram sebagai satu-satunya penguasa di Pulau Jawa. Pada mulanya, Sultan Agung mengajak Belanda untuk bersama-sama menyerbu Banten, namun karena tidak disambut oleh Belanda, hubungan antara Sultan Agung dan Belanda menjadi tegang. Sebelum pada akhirnya melakukan penyerangan ke Batavia, Sultan Agung sempat mengirimkan utusan untuk menyampaikan tawaran damai dengan syarat-syarat tertentu kepada VOC di mana tugas itu dilakukan oleh Bupati Tegal, Kiai Rangga. Namun tawaran itu ditolak VOC sehingga Sultan Agung memutuskan untuk menyalakan genderang perang. Diberangkatkanlah satu armada perang Mataram ke Batavia di bawah pimpinan Tumenggung Bahureksa pada tanggal 27 Agustus 1628. Menyusul sebulan kemudian dikirim pasukan susulan di bawah pimpinan Pangeran Mandurareja. Batavia pun diserang oleh Sultan Agung oleh sekitar 10.000 pasukan Mataram, namun J.P. Coen berhasil mempertahankan kota tersebut. Kegagalan serangan itu disebabkan oleh adanya wabah penyakit dan kekurangan bekal makanan. Sebagai hukuman atas kegagalan itu, Sultan Agung menghukum mati kedua panglima tersebut.
Serangan kedua ke Batavia dilakukan oleh Sultan Agung pada tahun 1629. Untuk mencegah kegagalan terjadi lagi seperti pada serangan pertama, dibuatlah lumbung-lumbung beras sebagai bekal sumber makanan di sekitar Cirebon dan Karawang. Penyerangan kedua ini dipimpin oleh 2 (dua) panglima yaitu Adipati Ukur dan Adipati Juminah. Total pasukan sekitar 14.000 orang. Pasukan pertama di bawah pimpinan Adipati Ukur diberangkatkan pada bulan Mei 1629 dan pasukan kedua di bawah pimpinan Adipati Juminah diberangkatkan pada bulan Juni 1629. Namun serangan kedua ini juga mengalami kegagalan. Penyebabnya karena tempat-tempat penyimpanan makanan tersebut berhasil dibakar oleh VOC. Namun pasukan Sultan Agung berhasil menyebarkan wabah kolera dengan cara mengotori Sungai Ciliwung sehingga menewaskan banyak orang VOC termasuk J.P. Coen.
Akibat kegagalan penyerangan tersebut, Adipati Ukur yang merupakan Bupati Wedana Priangan tidak berani menghadap Sultan Agung. Ia dan pasukannya kemudian bersembunyi di Gunung Lumbung, wilayah sekitar Bandung. Pembangkangan itu dilaporkan oleh seorang panglima Mataram kepada Sultan Agung yang menyebabkan kemurkaan. Sultan Agung lalu mengutus pasukannya untuk menangkap Adipati Ukur. Akhirnya ia dapat ditangkap dan dihadapkan kepada Sultan Agung. Oleh Sultan Agung, Adipati Ukur dijatuhi hukuman mati dengan cara dipenggal kepalanya di alun-alun.
Wafatnya Sultan Agung diawali dengan menurunnya kondisi kesehatannya hingga jatuh sakit pada tahun 1642. Sebelum meninggal, ia memerintahkan agar membangun tempat pemakaman baru di puncak Imogiri yang berjarak sekitar 5 km dari Istana Mataram, hingga akhirnya ia menghembuskan nafasnya yang terakhir pada tanggal 20 September 1645. Versi lain menyatakan bahwa kematiannya disebabkan karena diracun oleh salah satu permaisurinya yang bernama Ratu Mas Tinumpuk atau Kanjeng Ratu Kulon. Sedangkan versi ketiga, Sultan Agung meninggal karena dibunuh oleh putranya yang bernama Raden Mas Sayidin atau Amangkurat I.
Sepanjang hidupnya, Sultan Agung memiliki 2 (dua) orang permaisuri dan beberapa selir. Istri permaisuri adalah Ratu Kulon/Ratu Mas Tinumpak dari Cirebon dan Ratu Ratu Wetan dari Batang. Dari pernikahannya dengan Ratu Kulon lahirlah Pangeran Alit sedangkan dari Ratu Wetan melahirkan Raden Mas Sayidin/Amangkurat I.