Kisah pertempuran Danang Sutawijaya dan Arya Penangsang antara lain dapat dibaca dalam buku “Tuah Bumi Mataram; Dari Panembahan Senopati hingga Amangkurat II” karya Peri Mardiyono.
Diceritakan, Raden Hadiwijaya atau Joko Tingkir membuat sebuah sayembara yang berawal dari pertemuannya dengan Ratu Kalinyamat yang sedang bertapa di Pegunungan Danaraja, Jepara bagian utara. Pasca suaminya, Sultan Hadlirin, dibunuh oleh pasukan Arya Penangsang saat perjalanan pulang dari bertemu Sunan Kudus ke Jepara. Ratu Kalinyamat dan suaminya, Raden Hadlirin, menemui Sunan Kudus karena dianggap mengetahui pembunuhan Sunan Prawoto oleh Arya Penangsang, meskipun tidak ada hasil apa-apa dari pertemuan itu. Mereka pun pergi meninggalkan Sunan Kudus untuk kembali ke jepara. Namun dalam perjalanan, rombongan diserang oleh pasukan Arya Penangsang yang menyebabkan tewasnya Raden Hadlirin. Sedangkan Ratu Kalinyamat berhasil lolos dengan bantuan pengawalnya.
Ratu Kalinyamat kemudian bertapa di Desa Danaraja dan memilih suatu tempat bernama Batu Gandik, sebuah bukit yang menghadap ke laut. Dibangunlah tempat pertapaan yang dibentengi oleh bangunan kokoh untuk berlindung dari kemungkinan serangan kembali Arya Penangsang. Ia bersumpah bahwa dirinya akan terus bertapa sampai ia dapat menginjak-injak kepala Arya Penangsang.
Saat bertemu dengan Ratu Kalinyamat, Joko Tingkir (Raden Hadiwijaya) diminta oleh sang ratu untuk membunuh Arya Penangsang. Ratu Kalinyamat memberikan mandat ini kepada Joko Tingkir dengan melihat kemampuannya yang sebanding dengan Arya Penangsang. Ratu Kalinyamat berjanji akan menyerahkan tahta Demak jika Joko Tingkir berhasil membunuh Arya Penangsang. Adipati Pajang itu pun menyanggupi permintaan Ratu Kalinyamat namun dirinya tidak bisa turun sendiri menumpas Arya Penangsang mengingat ia dan Arya Penangsang sama-sama murid dari Sunan Kudus. Maka Joko Tingkir membuat strategi dengan cara melakukan sayembara. Pada tahun 1554, Joko Tingkir membuka sayembara yang berisi pengumuman bahwa barang siapa yang mampu menumpas Arya Penangsang, ia akan diberi hadiah tanah Pati dan tanah mentaok. Sayembara tersebut kemudian diambil kesempatannya oleh Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi. Namun mereka berdua juga tidak turun langsung melainkan menggunakan seorang anak muda bernama Danang Sutawijaya yang merupakan anak sulung Ki Ageng Pemanahan (kelak menjadi raja pertama Kerajaan Mataram Islam). Sutawijaya kala itu juga menjadi anak angkat Raden Hadiwijaya. Guna mendukung tugasnya, pasukan Pajang diikutsertakan dalam rombongan tersebut. Tidak hanya itu, Adipati Pajang itu juga membekali Sutawijaya dengan pusaka ampuh bernama Tombak Kyai Plered.
Pertempuran terjadi di dekat Bengawan Sore di mana Arya Penangsang menaiki kudanya yang bernama Gagak Rimang. Pada saat itu, Gagak Rimang sedang mengalami birahi sehingga hal itu ditangkap oleh Ki Ageng Pemanahan dengan menerapkan taktik memberikan Sutawijaya seekor kuda betina. Gagak Rimang yang sedang dilanda birahi itu pun mengejar kuda betina yang ditunggangi Sutawijaya.
Dalam sebuah kesempatan, perut Arya Penangsang robek terkena sabetan Tombak Kyai Plered yang membuat ususnya terburai. Arya Penangsang masih bisa bertahan dan melilitkan ususnya yang terburai itu ke gagang Keris Setan Kober yang dibawanya. Pada saat Sutawijaya terdesak dan hampir dapat diringkus, usus Arya Penangsang malah terpotong oleh kerisnya sendiri saat hendak menghabisi nyawa Sutawijaya. Arya Penangsang pun menemui ajalnya oleh senjatanya sendiri.
Pasca terbunuhnya Arya Penangsang, Joko Tingkir menobatkan dirinya sebagai Raja Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijaya. Demak sendiri sebagai kerajaan berakhir riwayatnya sejak saat itu.
Atas kemenangan itu, Sultan Hadiwijaya memberikan hadiah sesuai janjinya saat sayembara diumumkan yaitu memberikan tanah Pati kepada Ki Panjawi dan memberikan tanah mentaok kepada Ki Ageng Pemanahan meskipun yang bertanding langsung menghadapi Arya Penangsang adalah Sutawijaya. Sultan Hadiwijaya memandang bahwa kemenangan itu merupakan kemenangan Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi atas strategi yang dirancang mereka berdua.
Jika proses penyerahan tanah Pati mudah dilakukan namun tidak halnya dengan tanah Mentaok. Hal itu dilatarbelakangi oleh ramalan Sunan Giri yang mengatakan bahwa Mataram kelak akan menjadi sebuah kekuatan besar di tanah Jawa sehingga bakal mengancam eksistensi Kerajaan Pajang.
Atas keragu-raguan Sultan Hadiwijaya itu, Ki Ageng Pemanahan menghadap Sunan Kalijaga di mana Sunan Kalijaga kemudian memberikan nasehat kepada Sultan Hadiwijaya untuk memenuhi janjinya. Sultan Hadiwijaya pun kemudian memberikan tanah Mentaok kepada Ki Ageng Pemanahan.
Tanah Mataram sendiri dahulunya merupakan bekas Kerajaan Mataram Kuno yang telah berubah menjadi hutan yang disebut Alas Mentaok. Ki Ageng Pemanahan lalu membuka hutan Mentaok menjadi kampung Mataram. Ki Ageng Pemanahan kemudian menjadi kepala desa pertama dengan gelar Ki Ageng Mataram. Status desanya merupakan desa perdikan atau daerah bebas pajak. Ki Ageng Mataram hanya memiliki kewajiban menghadap secara rutin ke Pajang.
Dari segi silsilah ke atas dinyatakan bahwa Ki Ageng Pemanahan adalah putra dari Ki Ageng Enis dan cucu Ki Ageng Sela. Ki Ageng Enis bertempat tinggal di Laweyan, Solo. Mereka termasuk dalam rombongan orang-orang dari Sela, suatu tempat yang sekarang merupakan bagian dari Kabupaten Grobogan. Ki Ageng Pemanahan hijrah ke Pajang untuk membantu Joko Tingkir, Adipati Pajang.
Ki Ageng Pemanahan menikah dengan sepupunya sendiri, Nyi Sabinah, putri Nyai Ageng Saba. Dari pernikahan ini lahirlah putra sulung bernama Danang Sutawijaya atau Raden Ngabehi Lor Ing Pasar. Ibunya Sutawijaya, Nyi Sabinah, memiliki kakak laki-laki bernama Ki Juru Martani sehingga ia adalah pak dhe dari Sutawijaya. Ki Juru Martani ini pernah berjasa dalam ikut mengatur strategi perang dalam rangka menumpas Arya Penangsang.
Nama ‘Pemanahan’ diambil dari tempat tinggalnya setelah dewasa yaitu suatu tempat di utara Laweyan yang bernama Pamanahan (sekarang namanya menjadi Manahan di Kota Surakarta).
Setelah pindah ke Mataram, Ki Ageng Pemanahan dikenal sebagai Ki Ageng Mataram. Ia meninggal dunia pada tahun 1584. Usahanya memimpin Desa Mataram dilanjutkan oleh anaknya, Danang Sutawijaya. Ia tercatat sebagai raja pertama Mataram yang memerintah dari tahun 1587 sampai 1601 dengan gelar Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Ing Tanah Jawi.