Seperti dikisahkan pada tulisan sebelumnya, Pangeran Benawa sebagai anak Sultan Hadiwijaya atau Joko Tingkir pernah ditugaskan oleh ayahnya untuk menyelidiki kesetiaan Sutawijaya kepada Kesultanan Pajang.
Dalam kisah perjalanan tersebut, Pangeran Benawa pernah singgah di sebuah tempat di Perbukitan Menoreh, Jawa Tengah, seperti yang diangkat dalam buku “Kisah Legenda di Perbukitan Menoreh” terbitan Badan Otorita Borobudur, 2022.
Sebagaimana diketahui bahwa Danang Sutawijaya merupakan sosok yang berhasil membunuh Arya Penangsang dengan tombak Kyai Plered-nya. Arya Penangsang sendiri adalah seorang Adipati Jipang yang berada di bawah kekuasaan Kesultanan Pajang. Selama Pajang berada di bawah kekuasaan Sultan Hadiwijaya, Arya Penangsang berusaha mempengaruhi adipati-adipati lainnya untuk memberontak Kesultanan Pajang.
Singkat cerita, Arya Penangsang dan para pengikutnya bisa ditaklukkan oleh Danang Sutawijaya yang ditemani oleh Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi. Atas keberhasilannya itu, Ki Penjawi mendapat hadiah tanah di Pati, sedangkan Ki Ageng Pemanahan dan anaknya, Danang Sutawijaya, memperoleh hadiah tanah di Alas Mentaok. Keduanya kemudian membuka hutan tersebut dan dijadikan bumi Mataram yang dulunya merupakan bekas wilayah Kerajaan Mataram Kuno.
Kemajuan yang dilakukan oleh Ki Ageng Pemanahan dan Danang Sutawijaya itu menimbulkan keiridengkian di beberapa adipati yang tidak menyukai keduanya sehingga mereka berdua berusaha dihasut dengan membuat berita bahwa Mataram melakukan upaya pembangkangan terhadap Kesultanan Pajang. Sultan Hadiwijaya geram dan berniat menangkap Danang Sutawijaya yang dulunya merupakan anak angkatnya sendiri. Namun oleh putranya, Pangeran Benawa, niat ayahnya itu berusaha diredam. Dengan ditemani Patih Mancanegara, Arya Pamalad, serta sejumlah prajurit, Pangeran Benawa berangkat untuk menyelidiki dan kalau perlu menangkap Danang Sutawijaya. Sultan Hadiwijaya berpesan, dalam rangka misi tersebut, Pangeran Benawa agar melewati jalur Kedu Selatan.
Dalam perjalanan tersebut, Danang Sutawijaya singgah di sebuah tempat guna menyusun strategi dan kekuatan. Tempat itulah yang dipercaya masyarakat sekitar sebagai cikal bakal keberadaan sebuah desa bernama Desa Benowo. Salah satu tempat persinggahan yang pernah dikunjungi Pangeran Benawa adalah suatu lembah yang terjal dan tidak landai. Pangeran Benawa kemudian memerintahkan para prajuritnya untuk meratakan tanah di tempat tersebut. Proses meratakan dan melebarkan tanah tersebut dalam bahasa Jawa disebut dengan ‘dibatur’ sehingga tempat itu kemudian dinamakan Pesanggrahan Batur.
Salah satu benda peninggalan Pangeran Benawa adalah Songsong Agung Tunggul Nogo yang diduga merupakan benda warisan langsung dari Kesultanan Pajang. Dalam pandangan orang Jawa pada masa itu, Songsong Agung merupakan representasi simbol hierarki atau kekuasaan di dalam kerajaan. Pangeran Benawa sebagai putra sulung Sultan Hadiwijaya merupakan penerus kekuasaan Kesultanan Pajang. Songsong Agung Tunggul Nogo yang berupa payung menjadi alat yang digunakan oleh Pangeran Benawa selama perjalanan dalam rangka menemui Danang Sutawijaya.