Setelah sukses membunuh Arya Penangsang, Joko Tingkir menobatkan dirinya sebagai Raja Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijaya dimana setelah meninggal dunia di tahun 1587 terjadilah perebutan kekuasaan Kerajaan Pajang.
Perebutan kekuasaan tersebut terjadi antar Arya Pangiri dan Pangeran Benawa di mana Arya Pangiri berhasil naik tahta dengan gelar Ngawantipura. Namun tak lama kemudian, ia dibunuh oleh Pangeran Benawa. Perebutan kekuasaan pasca wafatnya Sultan Hadiwijaya itulah yang menyebabkan keruntuhan Kerajaan Pajang.
Menurut cerita, Sultan Hadiwijaya memiliki beberapa anak di mana anak-anak perempuannya dinikahkan dengan beberapa tokoh yaitu Panji Wiryakrama Surabaya, Raden Pratanu Madura, dan Arya Pamalad Tuban. Adapun putri tertuanya, Ratu Pembayun, dinikahkan dengan Arya Pangiri, seorang Bupati Demak. Dengan demikian, status Arya Pangiri adalah menantu Joko Tingkir atau Sultan Hadiwijaya.
Pada saat Sultan Hadiwijaya wafat, tampuk kekuasaan Kerajaan Pajang seharusnya jatuh kepada Pangeran Benawa, namun ia berhasil disingkirkan oleh Arya Pangiri dengan didukung oleh Panembahan Kudus, pengganti Sunan Kudus. Alasannya karena usia Pangeran Benawa lebih muda dibandingkan istri Arya Pangiri sehingga tidak pantas menjadi raja. Akhirnya Arya Pangiri berhasil menyingkirkan Pangeran Benawa yang dijadikan Bupati Jipang. Arya Pangiri menjadi Raja Pajang kedua dengan gelar Sultan Ngawantipura.
Dalam suatu catatan sejarah, Arya Pangiri digambarkan sebagai seorang raja yang mudah menaruh curiga. Sebelum menjadi Raja Pajang atau pada saat masih menjabat sebagai Bupati Demak, ia pernah dimintai bantuan Sultan Ali Riayat Syah, Raja Kerajaan Aceh, melalui utusannya, untuk dapat mengirimkan bala bantuan tentara dalam menghadapi Portugis agar keluar dari Malaka. Namun yang terjadi adalah justru Arya Pangiri membunuh utusan tersebut. Akhirnya pada tahun 1567, Aceh tetap melakukan penyerangan ke Malaka tanpa bala bantuan dari Jawa sehingga serangannya pun mengalami kegagalan.
Selama memerintah Pajang, Arya Pangiri hanya memfokuskan pada usahanya untuk menaklukkan Mataram daripada mensejahterakan rakyatnya. Ia telah melanggar wasiat mertuanya, Sultan Hadiwijaya, agar tidak membenci Sutawijaya. Ia bahkan membentuk pasukan perang yang terdiri dari orang-orang bayaran yang berasal dari Bali, Bugis, dan Makassar, untuk menyerbu Mataram.