Raden Patah merupakan keturunan Prabu Brawijaya dari seorang ibu yang berasal dari Cina dimana semasa masih dalam kandungan, Raden Patah terpaksa harus diasingkan terlebih dahulu di Palembang.
Dengan demikian, tempat kelahiran
Raden
Patah bukan di Pulau Jawa namun di Palembang, Sumatera. Setelah besar dan
tumbuh dewasa, ia kemudian pergi ke Jawa dan tinggal di Glagah Wangi atas
petunjuk dari Sunan Ampel. Daerah inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya
Kerajaan Demak yang bercorak Islam dimana kerajaan ini berhasil secara sukses menggantikan
dominasi Kerajaan Majapahit ketika Pati Unus, anak dari Raden Patah,
mengalahkan Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya dari Majapahit.
Menurut Babad Demak, Raden Patah
pernah melakukan pertemuan dengan Prabu Brawijaya dimana dalam pertemuan
tersebut, Raden Patah meminta kepada Prabu Brawijaya agar memeluk agama Islam.
Namun permintan itu ditolak Prabu Brawijaya. Mengetahui jawaban itu, Raden
Patah pergi meninggalkan Majapahit dan menemui Sunan Ampel, lalu menceritakan
ketidakmampuannya membujuk Prabu Brawijaya masuk Islam. Raden Patah menyatakan
keinginannya merebut Majapahit namun dilarang oleh Sunan Ampel karena tak lama
lagi, Majapahit akan mengalami keruntuhan.
Pati Unus atau Pangeran Sabrang
Lor merupakan raja Demak kedua setelah Raden Patah, ayahnya, meninggal dunia
pada tahun 1518 M, meskipun masa pemerintahannya hanya sebentar. Versi lain
menyebutkan bahwa Pati Unus adalah menantu Raden Patah. Nama aslinya adalah
Raden Abdul Qadir, putra Raden Muhammad Yunus dari Jepara.
Pati Unus pernah diperintahkan
Raden Patah untuk menyerang Portugis di tahun 1512 M. Pasukan Pati Unus
berangkat dari pelabuhan Jepara, lalu berlayar menuju ke Palembang. Dari sana
perjalanan dilanjutkan menuju Malaka dimana pada tahun 1513 M, ia mencoba
memberikan kejutan berupa serangan tiba-tiba ke orang-orang Portugis. Berbekal
persenjataan yang lebih modern, Portugis melakukan serangan ke arah kapal-kapal
Pati Unus sehingga menghancurkan dan menenggelamkan kapal-kapal tersebut.
Merasa kesulitan dalam menembus pertahanan pasukan Portugis di benteng A
Famosa, akhirnya Pati Unus memutuskan kembali ke Jawa.
Pada tahun 1521 M, Pati Unus
mendengar berita bahwa Portugis akan menjalin kerjasama dengan Syanghyang Raja
Sunda dari Kerajaan Syiwa-Budha Pajajaran untuk mendirikan Sunda Kelapa.
Mendengar hal tersebut, Pati Unus tidak ingin nasib Sunda Kelapa seperti Malaka.
Maka Pati Unus berangkat lagi ke Malaka pada tahun 1521 M. Setelah sampai di
dekat benteng A Famosa, terjadilah peperangan sengit. Dalam peperangan
tersebut, Pati Unus tewas setelah peluru yang diluncurkan dari meriam pasukan
Portugis berhasil menghantam kapal yang ditumpangi Pati Unus. Tewasnya Pati
Unus itu menandakan penyerangan kedua kali mengalami kegagalan sebagaimana di
tahun 1513 M. Karena keberaniannya menyeberangi laut utara Jawa, Pati Unus
diberi julukan Pangeran Sabrang Lor.
Pengganti Pati Unus adalah Sultan
Trenggana yang merupakan sultan ketiga di Kerajaan Demak. Ia memiliki 2 orang
istri yaitu Putri Nyai Ageng Malaka dan Kanjeng Ratu Pembayun (putri Sunan
Kalijaga). Sultan Trenggana memiliki putra-putri yaitu Ratu Mas Pembayun,
Panembahan Prawoto, Ratu Mas Pamantingan, Ratu Mas Kalinyamat, Ratu Mas Arya
Ing Surabaya, Ratu Mas Katambang, Ratu Mas Cempaka, Panembahan Mas Ing Madiun,
dan Ratu Mas Sekar Kedaton.
Naiknya Sultan Trenggana
sebenarnya menimbulkan perpecahan karena tahta Kerajaan Demak juga diincar oleh
Raden Kikin. Putra sulung Trenggana, Raden Mukmin (nama kecil Sunan Prawoto)
mengirim utusan untuk membunuh Raden Kikin yang terlaksana di pinggiran sungai
sehingga nama Raden Kikin juga dikenal dengan sebutan Pangeran Sekar Seda ing
Lepen.
Pada masa kepemimpinan Sultan
Trenggana, terjadi pengiriman pasukan di bawah pimpinan Fadhilah
Khan (Fatahillah atau Falatehan) dengan bala bantuan Cirebon menyerang Sunda
Kelapa di tahun 1527 M. Fadhilah Khan berhasil merebut Kelapa dari Portugis. Kemudian
oleh Fatahillah, nama Sunda Kelapa diganti menjadi Jayakarta. Musuh bebuyutan
yang berasal dari Eropa kini sudah sirna sehingga kekuatan Kerajaan Demak makin
bersinar. Sultan Trenggana pun kemudian memperluas wilayah kekuasaannya ke
sejumlah wilayah di sepanjang pantai utara Jawa. Demak berhasil menaklukkan
Tuban dan Wirasari (1528 M), Madiun (1529 M), Blora (1530 M), Surabaya (1531 M),
Pasuruan (1535 M). Menyusul kemudian di tahun 1541 dan 1542 M, para adipati di
Lamongan, Blitar, dan Wirasaba mengakui kekuasaan Demak.
Mendez Pinto juga menuliskan bahwa Demak merebut Pasuruan pada tahun 1546 M dengan bantuan Raja Sunda dimana Raja Sunda tersebut melakukan pelayaran dari pelabuhan Banten pada tanggal 5 Januari 1546 M yang disambut oleh Raja Demak dengan mengirimkan Raja Panaruca, seorang laksamana armada laut. 14 hari sesudah Mendez Pinto sampai di Jepara, Raja Demak berlayar menuju Pasuruan dengan diiringi 2700 armada kapal.
Pada tahun 1546 M, Sultan Trenggana memimpin langsung ekspedisi mililter guna menundukkan Panarukan namun belum dapat menguasainya. Suatu ketika, Trenggana melakukan musyawarah bersama para adipati untuk membahas serangan berikutnya. Di saat itu terdapat putra bupati Surabaya berusia 10 tahun yang menjadi pelayannya. Anak kecil itu tertarik pada jalannya rapat sehingga tidak mendengar perintah Trenggana sehingga membuat sultan itu marah dan kemudian memukuli si anak tersebut. Karena tidak terima, si anak kemudian secara spontan membalas dengan menusuk dada Trenggana menggunakan pisau yang dipegangnya yang mengakibatkan Sultan Demak itu tewas seketika.