Benih-benih perpecahan di dalam Kerajaan Demak sebenarnya sudah mulai terlihat setelah kematian Pati Unus (Pangeran Sabrang Lor), putra sulung Raden Patah (versi lain menyebutkan bahwa Pati Unus adalah menantu Raden Patah).
Pasca wafatnya Pati Unus, naiklah Sultan Trenggana (adik dari Pati Unus) menggantikan kedudukan Pati Unus, sedangkan posisi penguasa Demak saat itu juga diincar oleh Raden Kikin atau Pangeran Sekar Seda ing Lepen yang masih saudara Pangeran Trenggana.
Kedua pangeran itu merasa paling berhak menduduki tahta Kerajaan Demak dimana dari segi usia, Raden Kikin lebih tua dibandingkan Pangeran Trenggana. Hanya saja Raden Kikin lahir dari selir Raden Patah sedangkan Pangeran Trenggana lahir dari permaisuri Raden Patah yang merupakan putri Sunan Ampel. Adat kebiasaan menyatakan bahwa pewaris tahta yang sah adalah putra yang lahir dari permaisuri. Dengan demikian, sebenarnya antara Raden Kikin (Pangeran Sekar Seda ing Lepen) dan Pangeran Trenggana berstatus kakak beradik yaitu sama-sama anak dari Raden Patah namun beda ibu.
Mengetahui adanya ancaman perebutan kekuasaan, putra sulung Pangeran Trenggana, Raden Mukmin (Sunan Prawoto) memerintahkan utusan khusus untuk membunuh Raden Kikin dimana eksekusinya terlaksana di pinggiran sungai sehingga nama Raden Kikin juga dikenal dengan sebutan Pangeran Sekar Seda ing Lepen.
Setelah Sultan Trenggana wafat (tahun 1546 M), muncul kembali konflik politik sebagai akibat adanya perbedaan pendapat atas siapa yang berhak menaiki tahta menggantikan Sultan Trenggana. Dalam hal ini terdapat 2 (dua) kubu yang saling berseberangan yaitu kubu Sunan Prawoto (anak Sultan Trenggana) di satu sisi dan kubu Arya Penangsang (anak Pangeran Sekar Seda ing Lepen) di sisi lainnya.
Pada tahun 1546 M, Sunan Giri beserta sesepuh Kerajaan Demak sepakat untuk mengangkat putra sulung Sultan Trenggana yaitu Sunan Prawoto sebagai Raja Demak ke-4 yang bergelar Sultan Syah Alam Akbar Jiem- Boen-ningrat IV. Ia memiliki seorang istri dan dikarunia seorang putra bernama Arya Penigri dan seorang putri bernama Rara Intan.
Sunan Prawoto memindahkan ibu kota Kerajaan Demak dari Bintara ke daerah bukit Prawoto, Sukojiwo, Pati. Dalam mengemban amanah sebagai pemimpin teratas Kerajaan Demak, ia dianggap memiliki kelemahan dalam memerintah karena cenderung lebih memilih jalan hidup sebagai ulama dibanding raja. Akibatnya, sejumlah wilayah yang semula menjadi bawahan Demak seperti Banten, Cirebon, Surabaya, dan Gresik, melepaskan diri.
Sementara itu, anak keturunan Pangeran Sekar Seda ing Lepen masih merasakan luka dan kekecewaan yang mendalam akibat terbunuhnya orang tua dan nenek moyangnya itu oleh Sunan Prawoto. Dalam hal ini, Arya Penangsang menjadi salah satu orang yang paling kecewa karena ia beranggapan bahwa kursi kekuasaan Kerajaan Demak seharusnya diduduki oleh ayahnya dan bukan oleh Sultan Trenggana. Ayahnya, Pangeran Sekar Seda ing Lepen adalah kakak dari Sultan Trenggana atau adik dari Pati Unus. Atas dasar inilah Arya Penangsang kemudian berusaha melakukan perebutan tahta kekuasaan Kerajaan Demak.
Pada tahun 1549 M, Arya Penangsang dengan restu dan dukungan gurunya, Sunan Kudus, melakukan balas dendam atas kematian Pangeran Sekar Seda ing Lepen yaitu dengan cara mengirim utusan bernama Rangkud untuk membunuh Sunan Prawoto dengan keris Kyai Setan Kober. Menurut Babad Tanah Jawa, pada suatu malam, Rangkud berhasil menyusup ke kamar tidur Sunan Prawoto. Melalui pengakuannya, Sunan Prawoto membenarkan bahwa dirinyalah yang membunuh Pangeran Sekar Seda ing Lepen. Ia rela dihukum mati asalkan keluarganya diampuni. Rangkud pun kemudian menghunuskan keris yang dibawanya ke arah tubuh Sunan Prawoto.
Adanya keris pusaka itu di samping jasad Sunan Prawoto menjadi penanda atau indikasi bahwa Sunan Kudus terlibat dalam pembunuhan Sunan Prawoto. Hal inilah yang menjadi dasar Ratu Kalinyamat, adik Sunan Prawoto, menemui Sunan Kudus untuk meminta pertanggungjawaban. Namun jawaban Sunan Kudus yang menyatakan bahwa kematian Sunan Prawoto adalah karena karma membuat Ratu Kalinyamat kecewa. Dalam perjalanan pulang ke Demak, rombongan Ratu Kalinyamat diserang yang menyebabkan Ratu Kalinyamat harus terjun ke jurang dan dinyatakan meninggal serta jasadnya tidak diketemukan.