Pasca selesainya Jayanagara berkuasa di tahun 1328 M, ia tidak meninggalkan keturunan sehingga tahta Kerajaan Majapahit diserahkan kepada Ibu Suri Gayatri, istri Kertarajasa. Namun karena Gayatri memilih menjadi bhiksuni, kekuasaan Majapahit kemudian diserahkan kepada putri sulung Kertarajasa yaitu Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwarddhani atau Bhre Kahuripan.
Tribhuwanottunggadewi kawin dengan Cakradhara atau Cakreswara
yang menjadi raja di Singasari (Bhre Singhasari) dengan gelar Kertawarddhana.
Sedangkan adik Tribhuwanottunggadewi yaitu Rajadewi Maharajasa (Bhre Daha)
menikah dengan Kudamerta yang menjadi Bhre Wengker.
Dalam Kakawin Nagarakrtagama diketahui bahwa pada masa
pemerintahan Tribhuwanottunggadewi telah terjadi pemberontakan di Sadeng dan
Keta. Namun pemberontakan itu dapat diatasi oleh Gajah Mada. Sesudah peristiwa
itu, terjadi peristiwa berikutnya yang dikenal dalam sejarah sebagai Sumpah
Palapa oleh Gajah Mada. Ia bersumpah di hadapan penguasa dan para pembesar
Majapahit bahwa ia tidak akan “amukti palapa” sebelum dapat menaklukkan
nusantara.
Pada tahun 1334 M lahirlah putra mahkota yang bernama Hayam
Wuruk. Selanjutnya, setelah berkuasa kurang lebih selama 22 tahun, ia
mengundurkan diri dan tahta kerajaan diserahkan kepada anaknya, Hayam Wuruk.
Pada tahun 1372 M, Tribhuwanottunggadewi meninggal dunia dan didharmakan di
Panggih.
Puncak
Kejayaan Kerajaan Majapahit pada Masa Hayam Wuruk
Pada tahun 1350 M, putra mahkota, Hayam Wuruk, dinobatkan
menjadi raja Majapahit yang bergelar Sri Rajasanagara. Di saat ibunya,
Tribhuwanottunggadewi, masih berkuasa, ia telah diangkat menjadi raja muda.
Dalam menjalankan pemerintahannya, Hayam Wuruk didampingi
oleh Gajah Mada sebagai patih. Jabatan ini sudah diperoleh Gajah Mada sejak
Tribhuwanottunggadewi masih berkuasa di Majapahit.
Dengan bantuan Gajah Mada, Hayam Wuruk berhasil membawa
Majapahit ke puncak kejayaan di mana Gajah Mada ingin melaksanakan gagasan
politik nusantara yang dicetuskan melalui Sumpah Palapa. Satu persatu daerah
yang belum bernaung di bawah panji kekuasaan Majapahit berhasil ditundukkan.
Dimulai dari penaklukan ke daerah Swarnabhumi (Sumatera), Pulau Bintan, Tumasik
(Singapura), Semenanjung Malaya, Bali, Lombok, dan sejumlah negeri di
Kalimantan. Ia bahkan terus melakukan penaklukan ke wilayah timur seperti
Logajah, Gurun, Sukun, Taliwung, Sapi, Gunungapi, Seram, Hutankadali, Sasak,
Bantayan, Luwu, Buton, Banggai, Kunir, Galiyan, Salayar, Sumba, Muar, Solor,
Bima, Wandan, Ambon, Waniin, Seran, Timor, dan Dompo. Menurut Nagarakrtagama,
daerah kekuasaan Majapahit meliputi Sumatera, Semenanjung Malaya, Kalimantan,
Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, Tumasik, dan sebagian
Kepulauan Filipina.
Peristiwa Bubat
Selain melancarkan serangan dan ekspedisi militer, Majapahit
juga menempuh jalan diplomasi dengan menjalin persekutuan. Namun karena
didorong alasan politik, Hayam Wuruk berhasrat mempersunting Dyah Pitaloka dari
Kerajaan Sunda. Pada waktu itu Raja Hayam Wuruk bermaksud mengambil putri dari
Sunda, Dyah Pitaloka sebagai permaisurinya. Lamaran Hayam Wuruk diterima pihak
Kerajaan Sunda dimana selanjutnya rombongan besar Kerajaan Sunda datang ke
Majapahit. Namun setelah rombongan putri dan ayahnya telah sampai di Majapahit,
timbul perselisihan. Gajah Mada tidak menghendaki perkawinan Raja Hayam Wuruk
dengan Dyah Pitaloka dilangsungkan begitu saja. Gajah Mada menginginkan agar
pernikahan itu menjadi wujud pengakuan ketundukan Sunda terhadap Majapahit.
Para pembesar Sunda tidak setuju dengan sikap Gajah Mada tersebut. Akhirnya
tempat kediaman rombongan Kerajaan Sunda dikepung dan diserang tantara
Majapahit. Terjadilah peperangan di Bubat yang menyebabkan semua rombongan
Sunda gugur. Dyah Pitaloka melakukan bunuh diri setelah ayah dan seluruh
rombongan gugur dalam pertempuran. Peristiwa ini dikemukakan secara panjang
lebar dalam Kitab Pararaton dan Kidung Sundayana. Politik Majapahit untuk
menyatukan nusantara pun berakhir pada tahun 1357 M akibat terjadinya Perang
Bubat itu.
Setelah peristiwa Bubat itu, Gajah Mada kemudian “mukti
palapa”, mengundurkan diri dari jabatannya meskipun beberapa waktu kemudian ia
aktif lagi di pemerintahan. Dalam Kakawin Nagarakratagama disebutkan bahwa Raja
Hayam Wuruk pernah menganugerahkan sebuah sima kepada Gajah Mada yang kemudian
diberi nama “darmma kasogatan” Makadipura. Di tempat inilah agaknya Gajah Mada
diperkirakan menetap selama mukti palapa.
Gajah Mada meninggal dunia pada tahun 1364 M setelah lebih
dari 30 tahun mengabdi kepada Majapahit. Raja Hayam Wuruk dan seluruh punggawa
Kerajaan Majapahit merasakan dua cita mendalam karena kehilangan tokoh besar Majapahit.
Tidak ada seorang sosok pun yang mampu menggantikan kedudukan Gajah Mada. Akibatnya
pada masa pemerintahan Hayam Wuruk pernah terjadi kekosongan posisi patih
hamangkubhumi selama kurang lebih 3 tahun. Masa kekosongan itu berakhir saat
Hayam Wuruk mengangkat Gajah Enggon sebagai patih hamangkubhumi. Sepeninggal
Hayam Wuruk, Majapahit pelan-pelan mengalami kemunduran.