Menurut Kitab Pararaton, nama asli Jayanagara adalah
Kalagemet, putra Raden Wijaya dari Dara Petak, seorang putri dari Malayu,
Sumatera sebagai hadiah atas pengiriman tentara Raja Kertanegara, Raja
Singasari, ke Malayu (dengan sebutan Ekspedisi Pamalayu) pada tahun 1275 M. Dara
Petak dibawa dari Malayu ke tanah Jawa oleh Kebo Anabrang dalam kurun waktu sekitar
10 (sepuluh) hari sejak pengusiran tantara Mongol oleh Raden Wijaya.
Pemberian nama Kalagemet itu seakan bermaksud mengejek karena
nama itu bermakna jahat dan lemah. Hal itu dikarenakan kepribadian Jayanagara
yang dipenuhi dengan perilaku amoral dan lemah sebagai penguasa yang
menyebabkan banyaknya pemberontakan selama masa pemerintahannya.
Pada masa pemerintahan Jayanagara, serentetan pemberontakan
masih berlangsung seperti halnya yang terjadi pada masa pemerintahan ayahnya.
Dan seperti diketahui, semua kerusuhan itu disebabkan oleh fitnah Mahapati. Hal
ini disebabkan karena Jayanagara dianggap sebagai seorang raja berdarah
campuran dan bukan keturunan murni Kertanegara.
Setelah Mahapati berhasil menyingkirkan Rangga Lawe dan Lembu
Sora, kini ia melanjutkan misinya untuk menyingkirkan Nambi dimana niat busuk
Mahapati tercium oleh Nambi sehingga ia merasa lebih baik menyingkir dari Majapahit
untuk sementara waktu. Kebetulan ayahnya, Wiraraja, juga sedang sakit sehingga
Nambi meminta ijin kepada raja untuk pergi ke Lamajang (Lumajang), sebuah tempat
dimana Wiraraja diberi kekuasaan pada masa Raden Wijaya, ayah Jayanagara.
Tidak berapa lama, ayah Nambi meninggal dunia. Sang Prabu
Jayanagara pun mengutus Mahapati, Pagawal, Pamandana, Eban, Lasem, dan Jaran
Lejong, pergi ke Lumajang untuk melayat dan menyampaikan ucapan duka dari raja.
Namun setibanya di Lumajang, Mahapati menghasut Nambi untuk tetap tinggal di
Lumajang dan Nambi pun setuju dimana ia kemudian menyampaikan pesan kepada raja
untuk dapat lebih lama tinggal di Lumajang. Akan tetapi, di depan raja,
Mahapati berkata berbeda dimana disampaikan bahwa Nambi menolak kembali ke
Majapahit dan ia sedang mempersiapkan pasukan perang untuk melakukan
pemberontakan. Raja Jayanagara termakan hasutan Mahapati sehingga ia segera
mengirimkan pasukan untuk menumpas Nambi. Pada tahun 1316 M, Nambi segera dapat
dibunuh.
Korban fitnah lainnya dari ulah Mahapati adalah Ra Semi dan Ra
Kuti yang merupakan dharmmaputra di Kerajaan Majapahit. Setelah terjadinya
peristiwa ini, raja baru sadar akan kekeliruannya memberikan kepercayaan kepada
Mahapati. Maka ditangkaplah ia dan kemudian dibunuh.
Pada masa Jayanagara, hubungan diplomatik dengan Mongol mulai
pulih kembali. Utusan dari Jawa datang setiap tahun dari tahun 1325 sampai 1328
M. Dari masa pemerintahan Raja Jayanagara, kita hanya mengenal 3 (tiga) buah
prasasti yang dikeluarkannya yaitu Prasasti Tuhanaru, Prasasti Balambangan, dan
Prasasti Balitar I.
Pada tahun 1328 M, Raja Jayanagara tewas dibunuh oleh Ra Tanca,
seorang dharmmaputra yang bertindak sebagai tabib. Pada waktu itu, Raja
Jayanagara sedang menderita sakit bengkak. Maka untuk mengobatinya,
dipanggillah Tanca namun ia malah membunuh Jayanagara. Peristiwa pembunuhan
Raja Jayanagara ini dalam Kitab Pararaton disebut sebagai ‘patanca’. Seketika itu,
Gajah Mada yang berada dalam satu kamar dengan Raja Jayanagara dan Tanca, gentian
membunuh Tanca.
Dengan demikian, Jayanagara berkuasa sekitar 19 tahun (1309 –
1328 M) dimana ia tidak meninggalkan keturunan sehingga tahta Kerajaan
Majapahit diserahkan kepada Ibu Suri Gayatri, istri Kertarajasa. Namun karena
Gayatri memilih menjadi bhiksuni, kekuasaan Majapahit jatuh kepada putri
sulungnya, Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwarddhani atau Bhre Kahuripan.
Menurut Kitab Pararaton, Jayanagara didharmakan dalam candi
Srenggapura di Kapopongan dengan arca di Antawulan. Sedangkan menurut
Nagarakretagama, Jayanagara dimakamkan di dalam pura berlambang arca
Wisnuparama. Ia dicandikan di Silapetak dan Bubat sebagai Wisnu serta di
Sukalila sebagai Buddha jelmaan Amogasidi, dimana candi-candi itu tidak dapat
diketahui kembali.