Sebagaimana telah ditulis pada postingan sebelumnya bahwa pada masa menjelang keruntuhan Kerajaan Kadiri di jaman Sri Kretajaya, terdapat salah satu daerah bawahan Kadiri yaitu Tumapel yang dikepalai oleh seorang akuwu yang bernama Tunggul Ametung.
Berapa lama Tunggul Ametung menjadi akuwu di Tumapel, tidak
diketahui dengan pasti. Yang jelas, kedudukannya sebagai akuwu kemudian
berakhir setelah dibunuh oleh Ken Arok (Ken Angrok). Adanya tokoh Ken Arok
inilah yang kemudian menandai kemunculan wangsa baru yaitu Wangsa Rajasa
(Rajasawangsa) atau Wangsa Girindra (Girindrawangsa).
Namun demikian, asal-usul Ken Arok sendiri masih belum jelas. Satu-satunya
sumber yang menjelaskan panjang lebar tentang asal-usul Ken Arok adalah Kitab
Pararaton atau Katuturantra Ken Angrok yang ditulis dalam bentuk prosa atau
gancaran pada akhir abad ke-15.
Setelah sekian lama menjadi akuwu di Tumapel, Ken Arok didatangi
oleh para brahmana dari Daha yang meminta perlindungan dari tindakan raja Daha.
Para brahmana itu kemudian menobatkan Ken Arok menjadi raja Tumapel dengan
gelar Sri Rajasa Sang Amurwwabhumi. Dengan restu para brahmana itu, ia kemudian
melakukan penyerangan ke Daha melawan Raja Dandang Gendis. Seluruh Kerajaan
Daha pada akhirnya dapat dikuasai oleh Ken Arok pada tahun 1222 M.
Dari perkawinanya dengan Ken Dedes, Ken Arok memiliki 4 (empat) orang
anak yaitu Mahisa Wonga Teleng, Panji Saprang, Agnibhaya, dan Dewi Rimbu. Dari
istri yang lain, Ken Umang, Ken Arok mempunyai juga memiliki 4 (empat) orang
anak yaitu Panji Tohjaya, Panji Sudhatu, Panji Wregola, dan Dewi Rambi.
Diantara anak-anak Ken Arok itu, berdasarkan Kitab Pararaton, hanya satu saja
yang menjadi raja di Tumapel yaitu Panji Tohjaya.
Dari Kitab Pararaton juga diketahui bahwa terdapat anak Ken
Dedes dari Tunggul Ametung yang bernama Anusapati karena pada saat diperistri
Ken Arok, Ken Dedes sedang mengandung 3 (tiga) bulan. Setelah dewasa, Anusapati
mengetahui bahwa ia bukanlah anak dari Ken Arok. Ayah yang sebenarnya adalah
Tunggul Ametung yang mati di tangan Ken Arok. Mengetahui hal itu, ia kemudian
membalas dendam dengan membunuh Ken Arok.
Lama kelamaan, pembunuhan Ken Arok terdengar oleh Panji
Tohjaya, anak Ken Arok dari Ken Umang. Ia pun berusaha menuntut balas kematian
ayahnya dengan membunuh Anusapati yang berhasil dilakukan pada tahun 1248 M.
Berdasarkan uraian dalam Kakawin Nagarakrtagama dan Kitab Pararaton, diketahui
bahwa Tohjaya tidak lama memerintah karena terjadi pemberontakan yang dilakukan
oleh orang-orang Rajasa dan Sinelir. Dalam penyerbuan ke istana, Tohjaya
terkena lemparan tombak lalu diungsikan oleh pengikut-pengikutnya ke
Katanglumbang. Sesampainya di sana, ia meninggal dunia.
Sepeninggal Tohjaya, pada tahun 1248 M, Rangga Wuni
dinobatkan menjadi raja dengan gelar Sri Jayawisnuwarddhana. Dalam menjalankan
pemerintahannya, ia didampingi oleh Mahisa Campaka dengan gelar Narasinghamurtti.
Raja Wisnuwarddhana memiliki putra bernama Kertanegara dimana
pada masa pemerintahan ayahnya, Kertanegara telah menjadi raja muda. Biasanya raja
muda ini sebelum menjadi raja yang berkuasa penuh, diberikan kedudukan sebagai
raja di suatu daerah atau wilayah.
Raja Kertanegara merupakan seorang raja Singhasari yang
sangat terkenal baik dalam bidang politik maupun keagamaan. Pada tahun 1275 M,
Kertanegara mengirimkan ekspedisi untuk menaklukkan Malayu. Tindakan raja Kertanegara untuk
memperluas wilayah kekuasaan ke luar Jawa rupanya didorong oleh adanya ancaman
dari daratan Cina dimana sejak tahun 1280 M, Jawa tidak luput dari ancaman
Khubilai Khan. Utusan Khubilai Khan mulai datang ke Jawa dan menuntut agar ada
seorang pangeran yang dikirim ke Cina sebagai tanda tunduk kepada Kekaisaran
Yuan. Ancaman itulah yang mengubah pandangan Raja Kertanegara. Jika sebelumnya,
kekuasaan raja-raja di Jawa hanya diarahkan ke Pulau Jawa saja, maka untuk
menghadapi Khubilai Khan, Kertanegara harus memperluas wilayah mandala-nya
sampai ke luar Pulau Jawa. Ia pun mengadakan persahabatan dengan Campa.
Kakawin Nagarakrtgama menggambarkan Raja Kertanegara sebagai
seorang raja yang tidak ada bandingannya di antara raja-raja tempo dulu.
Terdapat utusan Khubilai Khan yang datang pada tahun 1289 M untuk meminta
pengakuan tunduk dari Raja Kertanegara namun ditolak dan dilukai wajahnya.
Penganiayaan terhadap utusan Khubilai Khan itu dianggap sebagai penghinaan
besar. Maka pada awal tahun 1292 M, berangkatlah armada tentara Khubilai Khan
untuk menaklukkan Jawa.
Namun keruntuhan Kertanegara juga datang dari jurusan lain
dimana saat Kadiri dikalahkan oleh Sri Rajasa atau buyut Kertanegara, Kadiri
tidak dihancurkan namun tetap diperintah oleh keturunan Raja Kertajaya dengan
mengakui kepemimpinan Singhasari. Sejak tahun 1271 M, Jayakatwang, salah
seorang keturunan Raja Kertajaya, memerintah di Gelang-Gelang. Raja Kertanegara
telah mengambil langkah guna menjaga hubungan baik dengan Jayakatwang. Namun karena
hasutan patihnya, Jayakatwang bertekad membalas dendam kematian leluhurnya. Itulah
sebabnya Jayakatwang memberontak Raja Kertanegara.
Dalam Kitab Pararaton disebutkan bahwa dalam rangka meruntuhkan
Kerajaan Singhasari, Jayakatwang mendapat bantuan dari Arya Wiraraja dimana
ialah yang memberitahukan kepada Jayakatwang kapan waktu yang tepat untuk
menyerang Singhasari yaitu pada saat sebagian kekuatan tentara Singhasari
sedang berada di Malayu.
Serangan Jayakatwang itu dilakukan pada tahun 1292 M yang
berhasil menggugurkan Raja Kertanegara. Lalu ia dicandikan di Singhasari dengan
3 (tiga) arca perwujudan yang melambangkan trikaya yaitu sebagai Siwa-Budhha
dalam bentuk Bhairawa yang melambangkan nirmanakaya, sebagai Ardhanari lambang
sambhogakaya, dan sebagai Jina dalam bentuk Aksobhya yang melambangkan
dharmmakaya. Dengan gugurnya Raja Kertanegara maka Singhasari berada di bawah
kekuasaan Raja Kadiri, Jayakatwang sehingga tamatlah riwayat Kerajaan
Singhasari.