Sebagaimana telah dituliskan sebelumnya, Airlangga membagi Kerajaan Kahuripan menjadi 2 (dua) yaitu : (1) Pangjalu (Kadiri) yang beribukota di Daha dan dipimpin oleh Sri Samarawijaya, dan; (2) Janggala yang beribukota di Kahuripan dan dipimpin oleh Mapanji Garasakan.
Kedua kerajaan tersebut pada akhirnya saling berperang karena masing-masing pihak merasa paling berhak atas tahta kekuasaan pasca Airlangga lengser. Pada awalnya, peperangan dimenangkan oleh Kerajaan Janggala namun kemudian terbalik, Pangjalu atau Kadiri dapat mengalahkan Janggala.
Kerajaan Kadiri pada mulanya bernama Kerajaan Pangjalu atau Panjalu. Namun karena ibukota kerajaan dipindahkan dari Daha ke Kadiri atau Kediri, nama kerajaan kemudian berubah menjadi Kerajaan Kadiri. Kerajaan ini berada pada masa puncak kejayaan saat diperintah oleh Raja Jayabaya. Nama-nama raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Kadiri antara lain : (1) Sri Samarawijaya yang merupakan putra Airlangga; (2) Sri Jayawarsa; (3) Sri Bameswara; (4) Sri Jayabhaya yang merupakan raja terbesar Pangjalu; (5) Sri Sareswara; (6) Sri Aryyeswara; (7) Sri Gandra; (8) Sri Kameswara; dan (9) Sri Kretajaya.
Sebagaimana diketahui, Kerajaan Kadiri berada pada puncak keemasan di jaman Raja Jayabhaya yang bergelar Sri Maharaja Sri Warmmeswara Madhusudanawataranindita Suhrtsingha Parakrama Digjayottunggadewanama Jayabhayalanchana. Dalam Prasasti Hantang terdapat tulisan dengan huruf kuadrat besar melintang di tengah cap kerajaan berupa Narasingha yang berbunyi “pangjalu jayati” atau “pangjalu menang”. Prasasti ini dibuat dalam rangka memperingati pemberian anugrah Raja Jayabhaya kepada Desa Hantang dengan 12 (dua belas) desa yang masuk dalam wilayahnya yaitu pemberian hak-hak istimewa kepada penduduk desa tersebut.
Di masa Kerajaan Kadiri, karya sastra berkembang pesat, diantaranya : (1) Kitab Wertasancaya karangan Mpu Tan Akung yang berisi petunjuk tentang cara membuat syair yang baik; (2) Kitab Smaradhahana karangan Mpu Dharmaja yang berisi pujian kepada raja sebagai titisan Dewa Kama; (3) Kitab Lubdaka karangan Mpu Tan Akung yang berisi kisah hidup Lubdaka sebagai seorang pemburu; (4) Kitab Kresnayana karangan Mpu Triguna yang berisi riwayat Kresna sebagai anak nakal namun disukai orang karena suka menolong; (5) Kitab Samanasantaka karangan Mpu Monaguna yang berkisah Bidadari Harini ; (6) Kitab Bharatayudha karangan Mpu Sedah dan Mpu Panuluh; dan (7) Kitab Gatotkacasraya dan Kitab Hariwangsa karangan Mpu Panuluh.
Kerajaan Kadiri harus mengalami keruntuhan di masa Sri Kretajaya dimana pada masa itu, Tumapel yang merupakan salah satu daerah bawahan Kadiri berhasil direbut dari Tunggul Ametung oleh Ken Arok. Di saat itulah Ken Arok mengumumkan bahwa Tumapel merdeka dari Kadiri. Menurut Kitab Nagarakertagama, Sri Ranggah Rajasa atau Ken Arok pada tahun 1144 Saka (1222 M) menyerang Kadiri. Kretajaya kalah dan harus menyingkir ke tempat para ajar di lereng gunung yang sunyi.
Kitab Pararaton memberikan versi cerita yang lebih terperinci. Raja Kadiri bernama Dandang Gendis (nama lain Sri Kretajaya) meminta para bhujangga penganut agama Siwa dan Budhha agar menyembah kepadanya. Para bhujangga pun menolak karena sepanjang sejarah tidak ada bhujangga menyembah raja. Mereka melarikan diri ke Tumapel dan berlindung di balik kekuasaan Ken Arok. Tidak lama, para bhujangga itu merestui Ken Arok sebagai raja dengan nama kerajaannya Singhasari dengan gelar penobatannya Sri Ranggah Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi. Lalu ia menyerang Daha, ibukota Kerajaan Kadiri. Tentara Daha dipimpin oleh adik raja Dandang Gendis yang bernama Mahisa Bungalan. Pertempuran terjadi di sebelah utara Ganter dimana tentara Daha terdesak yang menyebabkan Mahisa Bungalan tewas dalam pertempuran. Dengan demikian, Kerajaan Kadiri dinyatakan runtuh pada tahun 1222 M yang mengakhiri masa kekuasaan Wangsa Isyana. Setelah itu muncul penguasa baru dari Wangsa Rajasa.