Airlangga adalah anak dari pernikahan antara Mahendradatta, putri Sri Makutawangsawardhana, dengan Darma Udayana Warmadewa, seorang raja dari Bali.
Airlangga memiliki 2 (dua) orang adik yaitu Marakata dan Anak Wungsu dimana setelah dewasa, ia diambil menantu oleh Sri Dharmawangsa Teguh namun saat perkawinan berlangsung, terjadiah suatu penyerangan tiba-tiba. Kisahnya diawali ketika ia menikahi putri pamannya. Ketika dilangsungkan pesta pernikahan, tiba-riba Wwtan (ibukota Kerajaan Medang) diserang oleh Raja Wurawari yang merupakan sekutu dari Kerajaan Sriwijaya. Kejadian itu tercatat dalam Prasasti Pucangan (Calcutta Stone) yang digambarkan sebagai bencana mahapralaya, layaknya air bah yang mematikan sehingga Airlangga dikenang sebagai sebuah nama yang artinya ‘air yang melompat’. Pembacaan Kern atas prasasti tersebut, yang juga dikuatkan oleh De Casparis, menyebutkan bahwa peristiwa penyerangan itu terjadi pada tahun 928 Saka atau sekitar 1006 M (sebagian sejarawan menyebut tahun 1016 M).
Dalam serangan itu, Dharmawangsa Teguh tewas, sedangkan Airlangga berhasil lolos dan menyingkir ke hutan pegunungan Wonogiri disertai pembantunya yang bernama Mpu Narotama. Setelah 3 (tiga) tahun hidup di hutan, pada sekitar tahun 1009 M, atas dukungan para pengikutnya, Airlangga ditunjuk menjadi raja dengan gelar Cri Maharaja Rake Halu Cri Lokecwara Dharmawangsa Airlangga Anantawikramotunggadewa. Ia kemudian membangun kembali sisa-sisa Kerajaan Medang dengan menamakan kerajaannya sebagai Medang Koripan atau Medang Kahuripan dengan ibukotanya Watan Mas di lereng Gunung Penanggungan. Pada masa awal pemerintahan, wilayah kerajaan hanya meliputi daerah Mojokerto, Sidoarjo, dan Pasuruan. Kata Kahuripan sendiri berasal dari kata ‘urip’ yang berarti ‘hidup’ sehingga Kahuripan memiliki makna ‘kehidupan’ yang setara dengan Kerajaan Amarta milik Pandawa.
Dalam perjalanan waktunya, Airlangga mulai melakukan ekspansi untuk menegakkan kembali kekuasaan Wangsa Isyana di atas Pulau Jawa. Meski demikian, pada tahun 1031 M, seorang raja perempuan dari Lodoyong (sekarang Tulungagung) yang bernama Ratu Dyah Tulodong, berhasil mengalahkan pasukan Airlangga dan menghancurkan istana Watan Mas sehingga memaksa Airlangga melarikan diri ke Desa Patakan ditemani oleh Mapanji Tumanggala.
Airlangga kemudian menyusun kekuatan kembali dengan mendirikan istana baru bernama Kahuripan yang kemudian lazim digunakan sebagai nama kerajaan yang dipimpin Airlangga. Satu tahun kemudian, Airlangga berhasil mengalahkan Ratu Dyah Tulodong. Kemudian di penghujung tahun 1032 M, Airlangga bersama Mpu Narotama berhasil menaklukkan Raja Wurawuri. Dan terakhir, pada tahun 1035 M, ia berhasil menumpas pemberontakan Wijayawarmma, raja daerah Wengker. Dengan terbunuhnya Raja Wijayawarmma itu, selesailah misi penaklukkan musuh-musuh Airlangga baik di sebelah timur, selatan, dan barat.
Kerajaan baru dengan pusatnya di Kahuripan membentang dari Pasuruan di timur hingga Madiun di barat. Pantai utara Jawa terutama Surabaya dan Tuban menjadi pusat perdagangan yang penting untuk pertama kalinya. Airlangga juga memperluas wilayah kerajaan hingga ke Jawa Tengah. Bahkan pengaruh kekuasaannya diakui sampai ke Bali. Menurut Prasasti Pamwatan, pusat kerajaan kemudian berpindah ke Daha (daerah Kediri sekarang).
Dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyatnya, Airlangga mengadakan berbagai pembangunan diantaranya : (1) membangun Sri Wijaya Asrama tahun 1036 M; (2) membangun bendungan Waringin Sapta tahun 1037 M untuk mencegah banjir musiman; (3) memperbaiki Pelabuhan Hujung Galuh yang letaknya di muara Kali Brantas, dekat Surabaya sekarang; (4) membangun jalan yang menghubungkan daerah pesisir ke pusat kerajaan; (5) meresmikan pertapaan Gunung Pucangan tahun 1041 M; dan (6) memindahkan ibukota dari Kahuripan ke Daha.
Berdasarkan cerita rakyat dalam Serat Calon Arang, anak sulung Airlangga yang menjadi putri mahkota menolak ditunjuk menjadi raja dan memilih menjadi pertapa dengan nama Dewi Kili Suci. Nama aslinya berdasarkan Prasasti Cane sampai Prasasti Turun Hyang adalah Sanggramawijaya Tunggadewi. Anak Airlangga yang lain (adik Kili Suci) ada 2 (dua) sehingga menimbulkan permasalahan pelik.
Adapun pusat kerajaan Airlangga yang terakhir adalah Dahana dimana setelah itu kerajaan dibagi 2 (dua) yaitu : (1) Pangjalu (Kadiri) di sebelah barat, dengan ibukotanya di Daha yang dipimpin oleh Sri Samarawijaya, dan; (2) Janggala di sebelah timur yang beribukota di Kahuripan yang dipimpin oleh Mapanji Garasakan.
Setelah membagi kerajaan menjadi 2 (dua), Airlangga kemudian mendirikan pertapaan di Gunung Pugawat (Pucangan) dimana menurut Prasasti Gandhakuti, gelar kependetaan Airlangga adalah Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana. Menurut Serat Calon Arang, Airlangga bergelar Resi Erlangga Jatiningrat, sedangkan menurut Babad Tanah Jawi, ia bergelar Resi Gentayu.
Raja Airlangga memiliki seorang pujangga ulung, terlihat dari satu-satunya hasil karya sastra dari masa pemerintahan Airlangga yaitu Kitab Arjunawiwaha. Kitab ini berisi gubahan dari 1 (satu) episode dari Mahabharata yaitu pada waktu Arjuna disuruh bertapa oleh saudara-saudaranya untuk memohon senjata yang ampuh yang dapat memberi kemenangan kepada para Pandawa di dalam perang Bharata yang akan terjadi. Kitab ini digubah oleh Mpu Kanwa yang pada waktu itu masih ada upaya Airlangga untuk menaklukkan raja-raja di sekitarnya.
Airlangga meninggal dunia pada tahun 1049 M dimana semasa hidupnya, ia dianggap sebagai titisan Wisnu dengan lencana kerajaan Garudamukha sehingga terdapat sebuah arca yang tersimpan di museum Mojokerto yang merupakan wujud Airlangga sebagai Wisnu yang menaiki garuda. Prasasti Sumengka peninggalan Kerajaan Janggala menyebutkan bahwa Resi Aji Paduka Mpungku dimakamkan di sebuah tirta atau pemandian. Kolam pemandian yang paling sesuai dengan tulisan di Prasasti Sumengka itu adalah Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan. Di lokasi tersebut ditemukan arca Wisnu yang disertai 2 (dua) dewi. Ketiga arca itu dapat diperkirakan merupakan lambang Airlangga dengan 2 (dua) istrinya yaitu ibu Sri Samarawijaya dan ibu Mapanji Garasakan.