Setelah Ratu Sanjaya meninggal dunia, kekuasaan Kerajaan Medang berpindah ke anaknya yang bernama Sankhara atau Rakai Panangkaran Dyah Sankhara Sri Sanggramadhananjaya yang menanggalkan agama Siwa dan masuk menjadi penganut agama Buddha Mahayana. Kemungkinan besar, Rakai Panangkaran telah meninggalkan gurunya yang lama lalu berpindah agama mengikuti guru barunya yang menganut Buddha.
Rakai Panangkaran juga memindahkan ibukota kerajaan ke arah timur, yang semula di Poh Pitu, menjadi ke arah sekitar Sragen atau daerah Purwodadi atau Grobogan saat ini. Ia lalu mengawali pembangunan beberapa candi seperti Candi Sewu, Candi Plaosan Lor, dan Candi Borobudur.
Rakai Panangkaran memerintah sebagai maharja cukup lama dimana ia kemudian digantikan oleh Samaratungga sedangkan Samaratungga memiliki 2 (dua) orang anak : Balaputradewa dan Pramodawardhani. Namun menurut Slamet Muljana, Samaratungga hanya memiliki seorang putri saja yaitu Pramodawardhani (yang dinikahkan dengan Rakai Pikatan), sedangkan Balaputradewa adalah adik dari Samaratungga. Pada masa pemerintahan Samartungga inilah, Candi Borobudur bisa terselesaikan pembangunannya.
Setelah Samaratungga tidak berkuasa, tampuk kepemimpinan di Kerajaan Medang beralih ke Rakai Pikatan (menantu Samaratungga). Sedangkan Balaputradewa memilih menyingkir ke Sumatera karena ia tidak memiliki hak untuk menaiki tahta Kerajaan Medang.
Karena Rakai Pikatan menganut agama Siwa maka didirikanlah candi Hindu yaitu Candi Prambanan yang didedikasikan untuk Trimurti yaitu Siwa, Brahma, dan Wisnu. Ini merupakan candi Hindu terbesar yang pernah dibangun di Indonesia.
Karena Rakai Pikatan menikah dengan Pramodawardhani, seorang putri raja Samaratungga yang beragama Budhha maka rakyat pada masa itu dapat berdampingan dengan damai antara agama Hindu dan Buddha. Beberapa candi Buddha seperti Candi Plaosan, Candi Banyunibo, dan Candi Sojiwan juga dibangun pada masa pemerintahan Rakai Pikatan dan Pramodawardhani.
Pada masa Rakai Pikatan, berdasarkan Prasasti Siwargha, terjadi pemberontakan yang menentang pemerintahannya dimana pertempuran terjadi di sebuah benteng di atas bukit (yang diidentifikasi dengan Situs Ratu Boko).
Pemberontakan itu berhasil dikalahkan oleh putra bungsu Rakai Pikatan, Dyah Lokapala yang juga dikenal dengan sebutan Rakai Kayuwangi. Menurut Boechari, musuh yang memberontak itu adalah Rakai Walaing pu Kumbhayoni, keturunan seorang raja di Jawa yang juga merupakan anggota Wangsa Sailendra. Ada yang menyatakan bahwa ia kemungkinan besar adalah adik dari Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Maka dapat dipahami mengapa Rakai Walaing pu Kumbhayoni berusaha untuk merebut kekuasaan. Bahwa Rakai Pikatan adalah anak dari Rakai Patapan Pu Palar dan cucu dari adik perempuan Rakai Panangkaran. Sebagai cicit adik laki-laki Sanjaya, Rakai Walaing merasa lebih berhak daripada Rakai Pikatan.
Setelah pemberontakan berhasil diatasi, Rakai Pikatan memindahkan kedaton ke Mamrati atau Amrati yang terletak di suatu tempat di Dataran Kedu, lembah sungai Progo, barat laut dari Mataram. Lalu Rakai Pikatan memutuskan untuk turun tahta dan digantikan oleh Dyah Lokapala melalui upacara pentahbisan citra Siwa di candi utama Prambanan. Meskipun terdapat anak pertama Rakai Pikatan bernama Rakai Gurunwangi Dyah Saladu, namun karena yang berjasa mengalahkan musuh-musuh Rakai Pikatan adalah Dyah Lokapala, rakyat menghendaki agar Dyah Lokapala yang dijadikan raja maka ditunjuklah Dyah Lokapala (Rakai Kayuwangi) sebagai pengganti Rakai Pikatan. Selanjutnya, Rakai Pikatan menjadi seorang pertapa dengan gelar Sang Prabhu Jatiningrat.
Kemudian pada era Rakai Watukura Dyah Balitung, wilayah kekuasaan mencakup Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Ia berhasil naik tahta karena menikahi putri raja sebelumnya (kemungkinan raja tersebut adalah Rakai Watuhumalang). Pada masa ini, istana Kerajaan Medang dipindahkan dari Mataram atau Mamrati ke daerah Poh Pitu yang bernama Yawapura. Hal ini dimungkinkan karena istana Mamratipura (yang dulunya dibangun oleh Rakai Pikatan) telah hancur akibat perang saudara antara Rakai Kayuwangi dan Rakai Gurunwangi.
Untuk melegitimasi kekuasaannya, Rakai Watukura Dyah Balitung membuat Prasasti Mantyasih (Prasasti Balitung atau Prasasti Tembaga Kedu) berangka tahun 907 M yang ditemukan di Kampung Meteseh, Magelang Utara, Jawa Tengah dan memuat daftar raja-raja Medang sebelum dirinya. Pada prasasti itu juga disebutkan bahwa Desa Mantyasih (saat ini Kampung Meteseh) ditetapan sebagai desa sima (daerah perdikan atau bebas pajak). Di Kampung Meteseh ini masih tersimpan sebuah lumpang batu yang diyakini dulunya dipakai sebagai tempat upacara penetapan desa tersebut sebagai sima atau desa perdikan. Penyebutan angka 829 Caka bulan Caitra tanggal 11 Paro-Gelap Paringkelan Tungle, Pasaran Umanis hari Senais Scara dengan kata lain menunjukkan tanggal 11 April 907 hari Sabtu. Tanggal dan tahun inilah yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Kota Magelang.
Raja terakhir Kerajaan Medang (Mataram Kuno) periode Jawa Tengah adalah Dyah Wawa (Rakai Sumba). Pada masa ini tiba-tiba muncul bencana letusan Gunung Merapi yang maha dahsyat. Menurut RW van Bemmelen, letusan itu menyebabkan sebagian besar puncaknya lenyap dan terjadi pergeseran lapisan tanah ke arah barat daya sehingga terjadi lipatan yang antara lain membentuk Gunung Gendol karena gerakan tanah itu terbentur pada lempengan Pegunungan Menoreh. Bencana alam ini mungkin telah merusak ibukota Medang sehingga oleh rakyat dirasakan sebagai pralaya atau kehancuran dunia. Maka kaum kerabat raja dan petinggi kerajaan beserta rakyatnya mengungsi ke arah timur. Dan di daerah Jawa Timur yang sudah tunduk pada Medang yaitu daerah Kanuruhan, pada masa Mpu Sindok (pengganti Dyah Wawa) -yang mendirikan wangsa Isyana-, ibukota Kerajaan Medang dipindahkan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.