Pada masa Ratu Sanjaya, Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh yang sebelumnya berdiri sendiri-sendiri berhasil disatukan. Hal ini terjadi karena ia merupakan pewaris Kerajaan Sunda dari Tarusbawa (hubungan menantu-mertua) dan pewaris Kerajaan Galuh dari Sanna (hubungan anak-ayah).
Meskipun telah dikenal sejumlah nama raja Kerajaan Galuh yaitu Wretikandayun (raja pertama), Rahyang Mandiminyak (Suraghana), Bratasenawa (Sanna), Purbasora, dan Sanjaya, namun berdasarkan Naskah Wangsakerta, masih ada beberapa nama raja yang berkuasa di Kerajaan Galuh setelah masa Sanjaya, diantaranya : Tamperan, Ciung Wanara, Lutung Kasarung, Prabu Guru Darmasiksa, Rakeyan Saunggalah, Mahaprabu Niskala Wastu Kancana, Dewa Niskala atau Ningrat Kancana, Prabhu Jayaningrat, dan Prabu Cipta Permana.
Pada saat sebelum terjadinya penggabungan, terdapat 2 (dua) kerajaan di Jawa Barat sejak Tarumanagara berada di bawah kekuasaan Tarusbawa yaitu : (1) Kerajaan Sunda, yang merupakan bekas Kerajaan Tarumanagara. Wilayah kekuasaan meliputi Jawa Barat di bagian barat; dan (2) Kerajaan Galuh, yang merupakan bekas Kerajaan Kendan yang wilayah kekuasaan meliputi Jawa Barat bagian timur.
Nama raja-raja Kerajaan Sunda diantaranya Tarusbawa (raja pertama), Harisdarma atau Sanjaya (menantu Tarusbawa), Tamperan Barmawijaya, Rakeyan Banga (Hariang Banga), Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, Prabu Giliwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang), Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Giliwesi), Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon, Prabu Darmaraksa, Windusakti Prabu Dewageng, Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi, Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading), Atmayadarma Hariwangsa, Limbur Kancana, Prabu Munding Ganawirya, Prabu Jayagiri Rakeyan Wulung Gadung, Prabu Brajawisesa, Prabu Dewa Sanghyang, Prabu Sanghyang Ageng, Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati.
Pada saat Kerajaan Sunda dalam tampuk pemerintahan Sanjaya, terjadilah penggabungan perdana kekuasaan Kerajaan Sunda dengan Kerajaan Galuh. Pada masa ini, diangkatlah Tamperan Barmawijaya sebagai perwakilan Sanjaya di Kerajaan Galuh. Namun ia terlibat skandal asmara dengan Dewi Pangrenyep, istri kedua Permana Dikusuma, raja Kerajaan Galuh yang diangkat atau ditunjuk guna menyelesaikan permasalahan Kerajaan Galuh setelah tewasnya Purbasora. Hasil asmara terselubung itu melahirkan seorang anak laki-laki bernama Rakeyan Banga (Hariang Banga). Lalu terjadilah pergantian kekuasaan di Kerajaan Sunda dari Sanjaya ke Tamperan Barmawijaya. Setelah menjadi raja, ia melakukan pembunuhan terhadap Permana Dikusuma sehingga Dewi Pangreyep dapat dijadikan permaisuri, sedangkan bekas istri lain Permana Dikusuma, Dewi Naganingrum, dijadikan selir dimana ia telah mengandung anak dari Permana Dikusuma yang diberi nama Manarah atau Ciung Wanara. Setelah tewasnya Permana Dikusuma, Tamperan Barmawijaya melakukan tipu muslihat dengan mengumumkan sandiwara untuk menangkap pelaku pembunuhan Permana Dikusuma sehingga ia dianggap berjasa bagi Kerajaan Galuh. Sehingga kemudian ia diangkat juga sebagai raja Kerajaan Galuh selain berkuasa di Kerajaan Sunda. Namun lambat laun Manarah mengetahui bahwa ayahnya dibunuh oleh Tamperan Barmawijaya sehingga ia melakukan penyerangan ke Kerajaan Galuh dengan bantuan Balagantrang. Tamperan Barmawijaya berhasil ditangkap namun dapat dibebaskan oleh Hariang Banga. Namun saat pelarian, Tamperan Barmawijaya terbunuh oleh pasukan Kerajaan Galuh. Berita kematian ini terdengar oleh Sanjaya yang saat itu memerintah di Kerajaan Medang yang kemudian dengan pasukan besarnya menyerang Galuh. Namun Manarah sudah menduga hal itu sehingga ia pun menyiapkan pasukannya yang didukung oleh sisa-sisa pasukan Indraprahasta dan raja-raja di daerah Kuningan yang dulunya pernah dikalahkan oleh Sanjaya.
Peperangan besar diantara sesama keturunan Wretikandayun itu akhirnya bisa dilerai oleh Resiguru Demunawan dimana sesuai Perjanjian Galuh (739 M), diperoleh kesepakatan bahwa Kerajaan Sunda diteruskan kepada Hariang Banga (bergelar Prabu Kretabuana Yasawiguna Aji Mulya) sedangkan Kerjaan Galuh diserahkan kepada Manarah (bergelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana). Guna mempererat hubungan Manarah dan Banga, keduanya sama-sama dijodohkan dengan dua cicit Demunawan. Dalam perjanjian itu juga ditetapkan bahwa Banga menjadi raja bawahan Manarah, meskipun sebenarnya kurang disetujui Banga.
Setelah Rakeyan Banga wafat, tampuk kekuasaan Kerajaan Sunda beralih ke anaknya, Rakeyan Medang yang bergelar Prabu Hulukujang. Rakeyan Medang menikahkan anak perempuannya, Dewi Samatha dengan Rakeyan Hujung Kulon atau Prabu Gilingwesi, cucu Ciungwanara atau Manarah, raja Kerajaan Galuh.
Penyatuan Galuh dan Sunda terjadi lagi pada masa Sang Ratu Jayadewata memerintah Galuh. Ia adalah putra Prabu Dewa Niskala, dimana sesuai Prasasti Batutulis, Jayadewata yang bergelar Sri Baduga Maharaja dinobatkan 2 (dua) kali yaitu ketika menerima tahta Kerajaan Galuh dari ayahnya, Prabu Dewa Niskala, anak dari Mahaprabu Resiguru Niskala Wastu Kancana, dan yang kedua, saat menerima tahta Kerajaan Sunda di Pakuan dari mertua dan uwanya, Prabu Susuktunggal. Sehingga ia menjadi penguasa Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dimana setelah 149 tahun rakyat Sunda terbagi menjadi 2 (dua) wilayah, kini mereka dipersatukan di bawah Sri Baduga Maharaja.