Menurut sebuah sumber, keluarga Kerajaan Kalingga adalah keturunan bangsa India. Saat itu bangsa India adalah suplier tekstil terbesar di Nusantara. Jadi tujuan utama mereka ke Nusantara saat itu adalah untuk berdagang. Diantara para pedagang tersebut terdapat pula para elit politik (kaum Ksatria) serta pemimpin agama (kaum Brahmana) yang kemudian menetap di wilayah baru di sekitar tempat singgah kapal mereka. Hal inilah yang menjelaskan bagaimana kerajaan-kerajaan Hindu dan Buddha muncul di Nusantara, termasuk Kalingga. Menurut Prof. Boechari, Dapunta Selendra merupakan leluhur atau cikal bakal dari raja-raja Kalingga sebagai keturunan Wangsa Sailendra. Hal ini dapat dilihat pada daftar raja-raja penguasa Wangsa Sailendra yang sudah dituliskan dalam artikel sebelumnya dimana terdapat nama Shima dalam jajaran Wangsa Sailendra setelah Santanu dan Dapunta Selendra.
Berdasarkan catatan dari zaman dinasti Tang (618 - 906 M), Kerajaan Kalingga (Ho-ling) dikatakan sebagai kerajaan yang terletak di Lautan Selatan. Di sebelah utaranya terletak Ta Hen La (Kamboja), di sebelah timurnya terletak Po-Li (Pulau Bali) dan di sebelah baratnya terletak To-po-teng.
Sementara menurut J.L Moens, Kalingga berada di Semenanjung Malaya. Dan menurut W.P Meyer, Kalingga berada di Jawa Tengah. Jika semua informasi tersebut disatukan berarti Kalingga adalah kerajaan di wilayah Lautan Selatan, di antara pulau Sumatera dan Bali. Tidak lain adalah di Jawa, tepatnya di Jawa Tengah.
Catatan tersebut juga menjelaskan bahwa daerah Kalingga (Ho-ling) adalah penghasil kulit penyu, emas, perak, cula badak dan gajah. Itulah sebabnya singgasana rajanya juga terbuat dari gading gajah.
Pusat kerajaan Kalingga pada masa awal diperkirakan di Pekalongan sehingga pelabuhan Pekalongan memiliki peran yang penting bagi Kalingga. Nama Pekalongan sendiri (orang Tiongkok menyebutnya Poe-Chua- lung) dianggap memiliki unsur nama Kalingga karena berasal dari kata “kaling” yang mendapat awalan “pe” dan akhiran “an” hingga menjadi “Pe-kaling-an” atau Pekalongan. Eksistensi Kalingga di Pekalongan di masa awal kerajaan Kalingga ini bisa dikaitkan dengan masa pemerintahan Prabhu Wasumurti (594-605 M).
Pusat pemerintahan Kalingga kemudian pindah ke Jepara. Bukti bahwa Jepara pernah menjadi pusat kerajaan Kalingga antara lain adalah terdapat kecamatan di Jepara Utara yang bernama “Keling”. Di kecamatan tersebut juga terdapat Candi Angin dan Candi Bubrah yang diperkirakan sebagai peninggalan dari masa Kalingga. Eksistensi Kalingga di Jepara ini bisa dikaitkan dengan masa pemerintahan Ratu Shima yang memerintah dengan adil dan bijaksana. Barang-barang yang jatuh di jalanan tidak ada yang berani menyentuhnya.
Meski pada masa pemerintahan Ratu Shima telah ada pelabuhan Pekalongan yang telah menjadi pelabuhan utama bagi Kalingga namun fungsi tersebut menjadi kurang efektif ketika pusat pemerintahan pindah ke Jepara karena jarak antara Jepara dengan Pekalongan cukup jauh. Peran pelabuhan utama bagi Kerajaan Kalingga tersebut lalu diambil alih oleh Lasem karena jaraknya yang relatif dekat dapat menghemat tenaga sekaligus biaya.
Setelah masa Ratu Shima, pusat kerajaan berpindah lagi. Ada yang mengatakan bahwa pusat kerajaan berpindah ke dataran tinggi Dieng. Hal ini kemungkinan terjadi pada saat menjelang pemerintahan Raja Sanjaya dimana Raja Sanjaya sendiri adalah cicit Ratu Shima (urutannya : Shima – Mandiminyak – Sanna – Sanjaya). Selain menjadi pewaris tahta dari Kalingga, Raja Sanjaya juga sebenarnya merupakan pewaris tahta Kerajaan Galuh di Jawa Barat namun kekuasaannya di Jawa Barat itu diserahkan kepada putranya yaitu Rakeyan Panabaran.
Raja Sanjaya memerintah Kerajaan Kalingga (732-754 M) yang kemudian mengubah nama kerajaan menjadi Medang (Bhumi Mataram/Mataram Hindu) yang merupakan kerajaan besar pertama di Pulau Jawa.