Dari bukti-bukti sejarah yang ada, Kerajaan Tarumanagara dinobatkan sebagai kerajaan tertua kedua setelah Kerajaan Kutai Purba di Kalimantan Timur.
Bukti otentik tentang keberadaan Kerajaan Tarumanagara adalah ditemukannya 7 (tujuh) prasasti. Disamping itu terdapat berita asing dari Cina dimana I’tsing menyebutkan beberapa negara diantaranya Mo-ho-sin. Pada jaman yang sama juga ada berita yang menyebutkan nama To-lo-mo. Berita dari masa Dinasti Soui menyatakan bahwa pada tahun 528 dan 535 M datang utusan dari To-lo-mo. Menurut beberapa ahli, nama To-lo-mo merupakan lafal Cina dari Taruma. Berdasarkan data yang ada, diduga keberadaan Kerajaan Tarumanagara berlangsung dari abad ke-5 sampai akhir abad ke-7 Masehi.
Terkait bukti adanya Kerajaan Tarumanagara berupa prasasti, terdapat 7 (tujuh) buah (lima dari tujuh prasasti itu ditemukan di kawasan hulu Cisadane yang masuk dalam wilayah Bogor sekarang) yaitu :
(1) Prasasti Ciaruteun
Prasasti Ciaruteun yang sebelumnya dikenal dengan nama Prasasti Ciampea terletak di pinggir Sungai Ciaruteun, dekat muaranya dengan Cisadane (sekarang di daerah Leuwiliang, Bogor). Yang menarik perhatian para sarjana adalah adanya lukisan laba-laba dan telapak kaki yang dipahatkan di atas hurufnya. Terdapat juga huruf ikal yang menurut Vogel dan Chabra merupakan tanda tangan dari Raja Purnawarman.
Prasasti Ciaruteun saat ini ditempatkan pada lahan berpagar seluas kurang lebih 1000 m2 dan dilengkapi dengan cungkup berukuran 8 x 8 m. Prasasti ini dipahatkan pada sebongkah batu andesit yang ditulis dengan huruf Pallawa dan berbahasa Sansekerta.
Prasasti ini terdiri dari 4 (empat) baris yang ditulis dalam bentuk puisi India dengan irama anustubh. Melihat bentuknya, prasasti ini mengingatkan adanya hubungan dengan prasasti raja Mahendrawarman I dari keluarga Palla yang didapatkan di Dalavanur. Prasasti Ciaruteun ini berbunyi sebagai berikut : “Ini (bekas) dua kaki, yang seperti kaki Dewa Wisnu, ialah kaki Yang Mulia Sang Purnavarman, raja di negeri Taruma, raja yang gagah berani di dunia.”
(2) Prasasti Kebon Kopi I
Prasasti Kebon Kopi I oleh masyarakat setempat juga diberi nama Batu Tapak Gajah. Prasasti Kebon Kopi I berada pada lahan berteras seluas sekitar 1500 m2 di Kampung Muara Hilir, Cibungbulang. Guna melindungi keberadaan prasasti, dibuatlah sebuah cungkup berukuran 4,5 x 4,5 m.
Prasasti Kebon Kopi I dipahatkan pada sebongkah batu dengan bentuk yang tidak beraturan. Pada permukaan batu yang menghadap ke timur terdapat pahatan yang membentuk 2 (dua) telapak kaki gajah Airawata. Diantara kedua pahatan tersebut terdapat 1 (satu) baris tulisan setinggi 10 cm. Prasasti ditulis dalam bentuk puisi anustubh yang berbunyi, “Di sini nampak sepasang tapak kaki…yang seperti Airawata, gajah penguasa taruma (yang) agung dalam…dan (?) kejayaan.”
(3) Prasasti Pasir Koleangkak/Prasasti Pasir Jambu
Prasasti Koleangkak disebut juga Prasasti Pasir Jambu (karena ditemukan di perkebunan jambu) yang berlokasi sekitar 30 km di sebelah barat Kota Bogor. Secara administratif, lokasi situs berada di Kampung Pasir Koleangkak, Desa Batutulis, Kecamatan Nanggung pada area sekitar 1500 m2 dengan dibatasi pagar kawat berduri setinggi 120 cm. Prasasti ini telah dibuatkan cungkup berukuran 6 x 7 m dengan pagar besi dan atap sirap. Prasasti dipahatkan pada batu andesit dengan bentuk segi tiga tidak sama sisi berukuran tinggi 73 cm dengan sisi-sisinya berukuran 290 cm, 265 cm, dan 240 cm.
Prasasti ini dilaporkan oleh J. Rigg pada tahun 1854. Prasasti ini dialihaksarakan dan diterjemahkan oleh J. Ph. Vogel (1925) dimana pada permukaan batu bagian atas yang relatif rata tertera 2 (dua) baris inskripsi berhuruf Pallawa dan bahasa Sansekerta. Pada permukaan batu terdapat bentuk sepasang telapak kaki. Adapun isi dan terjemahan prasasti ini adalah sebagai berikut : “Gagah, mengagumkan, dan jujur terhadap tugasnya adalah pemimpin manusia yang tiada taranya, yang termashur Sri Purnawarman, yang sekali waktu (memerintah) di Taruma dan baju zirahnya yang terkenal (warman). Tidak dapat ditembus senjata musuh. Ini adalah sepasang tapak kakinya yang senantiasa berhasil menggempur kota-kota musuh, hormat kepada pangeran, tetapi merupakan duri dalam daging bagi musuh-musuhnya.”
(4) Prasasti Pasir Muara/Prasasti Muara Cianten
Prasasti ini berada di tepi sisi barat Cisadane atau berjarak sekitar 50 m dari pertemuan dengan Cianten. Prasasti ini masih berada pada lokasi semula sehingga pada waktu air sungai pasang, prasasti ini akan terendam.
Prasasti Pasir Muara dipahatkan pada sebongkah batu dengan bentuk yang tidak beraturan. Keadaan batu pada beberapa bagian sudah mengelupas karena tergerus air sungai. Tulisan berupa aksara ikal seperti motif suluran belum dapat dibaca.
(5) Prasasti Pasir Awi
Prasasti ini berada di sebuah lereng perbukitan Pasir Awi yang terletak di dalam kawasan hutan Cipamingkis, Desa Sukamakmur, Kecamatan Sukamakmur, Jonggol, Kabupaten Bogor. Pada prasasti ini terdapat gambar pahatan telapak kaki yang menghadap ke arah utara dan timur. Ditemukan pertama kali oleh N.W. Hoepermans di tahun 1864, isi dari prasasti ini belum dapat terbaca karena ditulis menggunakan huruf ikal.
(6) Prasasti Tugu
Prasasti ini ditemukan di Tugu, Cilincing, DKI Jakarta. Seperti halnya prasasti yang lain, prasasti ini juga berbentuk puisi anastubh dimana tulisannya dipahatkan pada sebuah batu bulat panjang melingkar. Yang menarik dari prasasti ini adalah disebutkannya nama 2 (dua) buah sungai yang terkenal di Panjab yaitu Sungai Candrabhaga dan Sungai Gomati.
Tentang nama Chandrabhaga, Poerbatjaraka beranggapan bahwa itu adalah sebuah nama sungai di India yang disematkan kepada sungai di Pulau Jawa. Melalui kajian etimologi, nama itu sekarang disangkutpautkan dengan nama Bekasi yang diduga merupakan pusat Kerajaan Tarumanagara.
Prasasti ini adalah prasasti yang pertama kali memuat penanggalan namun sayangnya tidak memuat angka tahun, hanya menyebutkan “phalguna” dan “caitra” yang bertepatan dengan bulan-bulan Februari – April menurut perhitungan tarikh Masehi.
Terjemahan dari prasasti ini adalah sebagai berikut : “Dulu kali (yang bernama) Candrabagha telah digali oleh maharaja yang mulia dan mempunyai lengan kencang dan kuat (yakni Raja Purnawarman) buat mengalirkannya ke laut, setelah (kali ini) sampai di istana kerajaan yang termashur. Di dalam tahun keduapuluh-duanya dari tahta yang mulai raja Purnawarman yang berkilau-kilauan karena kepandaian dan kebijaksanaannya serta menjadi panji segala raja, (maka sekarang) beliau menitahkan pula menggali kali yang permai dan berair jernih, Gomati namanya, setelah sungai itu mengalir di tengah-tengah tanah kediaman yang mulia Sang Pendeta nenek-da (Sang Purnawarman). Pekerjaan ini dimulai pada hari yang baik, tanggal 8 paro-petang bulan Phalguna dan disudahi pada hari tanggal 13 paro-petang bulan Caitra, jadi hanya 21 saja, sedang galian itu panjangnya 6.122 tumbak. Selamatan baginya dilakukan oleh para brahmana disertai 1000 ekor sapi yang dihadiahkan.”
(7) Prasasti Cidanghiang
Prasasti ini ditemukan di kampung Lebak di tepian Sungai Cidanghiang, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang pada tahun 1947 yang berisi 2 (dua) baris huruf yang merupakan satu sloka dalam metrum anustubh. Isi dari prasasti ini adalah sebagai berikut : “Inilah (tanda) keperwiraan, keagungan dan keberanian yang sesungguh-sungguhnya dari raja dunia, yang mulia Purnawarman, yang menjadi panji sekalian raja.”
Secara etimologi, kata “Tarumanagara” berasal dari kata “taruma” dan “nagara.” Dimana kata taruma tersebut berasal dari kata “tarum” yang merupakan nama sungai yang membelah wilayah Jawa Barat yaitu Citarum.
Selain penemuan 7 (tujuh) prasasti tersebut, pada muara Sungai Citarum juga ditemukan kompleks percandian yang luas yaitu Percandian Batujaya dan Percandian Cibuaya yang diduga kuat merupakan peninggalan Kerajaan Tarumanagara.
Arca Wisnu Cibuaya I dapat dianggap sebagai pelengkap dari prasasti-prasasti di atas yang diduga memiliki persamaan dengan langgam seni Pallawa di India Selatan dari abad ke-7 sampai 8 Masehi.
Raja-Raja yang Memimpin Kerajaan Tarumanagara
Jika diurutkan dalam sebuah daftar, maka diperoleh susunan raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Tarumanegara, yaitu:
1. Jayasingawarman (358 - 382 M)
Jayasingawarman adalah pendiri Kerajaan Tarumanagara yang merupakan menantu Raja Dewawarman VIII. Jayasingawarman juga adalah seorang Maharesi dari Salankayana, India, yang mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan oleh Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Gupta. Sang Maharesi bersama para pengikutnya tiba di Pulau Jawa dan menetap di Jawa Kulwan (Jawa Barat). Di dekat Citarum, ia mendirikan pedukuhan yang diberi nama Tarumadesya. Sekitar 10 tahun kemudian, desa itu menjadi besar dan Taruma menjelma menjadi sebuah kerajaan. Ia lalu menjadi Rajadirajaguru yang bergelar Jayasingawarman Gurudarmapurusa.
Setelah Jayasingawarman mendirikan Tarumanagara, pusat pemerintahan dipindahkan dari Rajatapura ke Tarumanagara. Sang Maharesi Rajadirajaguru memerintah Tarumanagara selama 24 tahun. Ia wafat pada usia 60 tahun dan dipusarakan di tepi Kali Gomati.
2. Dharmayawarman (382 - 395 M)
Ia adalah anak dari Jayasingawarman yang menggantikan kedudukan ayahnya. Ia memerintah Tarumanagara selama 13 tahun. Ia disebut juga Sang Lumahing Candrabaga (yang mendiang di Candrabaga) karena dipusarakan di tepi Kali Candrabaga.
3. Purnawarman (395 - 434 M)
Ia adalah putra Dharmayawarman dimana ia dilantik menjadi raja pada tahun 395 Masehi, menggantikan ayahnya yang mengundurkan diri untuk hidup sebagai pertapa sampai ajal tiba.
Ia membangun ibukota kerajaan baru pada tahun 397 M yang terletak lebih dekat ke pantai dan diberi nama Sundapura. Nama Sunda mulai digunakan oleh Maharaja Purnawarman sejak tahun 397 M untuk menyebut ibukota kerjaan yang didirikannya. Pelabuhan pun dibangun di tepi pantai yang berkembang pesat.
Pustaka Nusantara, Parwa II, Sarga 3 menyebutkan sejumlah kerajaan yang berada di bawah kekuasaan Purnawarman yaitu 48 kerajaan di daerah yang membentang dari Rajatapura (daerah Telu Lada, Pandeglang) sampai ke Purwalingga (sekarang Purbalingga?) di Jawa Tengah.
Purnawarman digelari Harimau Tarumanagara (wyaghra ring tarumanagara) karena ketangkasan dan keperkasaannya di medan peperangan. Tidak ada satu pun senjata musuh yang mampu melukainya karena dalam medan pertempuran, ia selalu mengenakan baju pelindung dari besi yang kuat dan kokoh.
Di bawah kepemimpinan Purnawarman, Tarumanagara menjelma menjadi sebuah kerajaan besar yang disegani di Pulau Jawa. Setiap tahun raja-raja di bawahnya datang ke Purasaba Sundapura untuk menyerahkan upeti sebagai tanda ketundukan.
Setelah menjadi besar dan kuat, Purnawarman kemudian dinobatkan sebagai Maharaja dengan gelar Sri Maharaja Purnawarman Sang Iswara Digwijaya Bhimaparakrama Suryamahapurusa Jagatpati.
Telah lama terdengar di perairan utara Pulau Jawa dikuasai oleh perompak yang kerap mengganggu kapal-kapal yang sedang berlayar. Mendengar hal itu, Sang Purnawarman menyerbu mereka dan membasmi tanpa ampun sehingga perairan utara Pulau Jawa bersih dari gangguan perompak. Pada bagian ini, kemungkinan besar ada hubungan dengan penemuan Prasasti Cidanghiang di Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang yang kemungkinan besar merupakan tanda terima kasih atas keberhasilan Purnawarman menumpas gerakan perompak.
Sang Maharaja Purnawarman wafat pada tahun 434 Masehi dalam usia 62 tahun. Ia dipusarakan di tepi Citarum. Kerajaan-kerajaan yang berada di bawah kekuasaannnya saat ia meninggal antara lain Cupunagara (Subang), Nusa Sabay, Purwanagara, Ujung Kulon (Pandeglang), Gunung Kidul, Purwalingga (Purbalingga), Agrabinta (Cianjur), Sabara, Bumi Sagandu, Paladu, Kosala (Lebak), Legon (Cilegon), Indraprahasta (Cirebon), Manukrawa (Cimanuk), Malabar (Bandung), Sindang Jero, Purwakerta (Purwakarta), Wanagiri, Galuh Wetan (Ciamis), Cangkuang (Garut), Karang Sindulang, Gunung Bitung (Majalengka), Tanjung Kalapa (Jakarta Utara), Pakuan Sumurwangi, Kalapa Girang (Jakarta Selatan), Pura Dalem (Karawang), dan Indihiyang (Tasikmalaya).
4. Wisnuwarman (434 – 455 M)
5. Indrawarman (455 – 515 M)
6. Candrawarman (515 – 535 M)
7. Suryawarman (535 – 561 M)
Catatan penting yang terjadi di jaman Suryawarman adalah munculnya kerajaan kecil bernama Kendan di daerah antara Bandung dan Garut yang didirikan oleh menantu Suryawarman bernama Manikmaya. Kelak kerajaan kecil inilah yang menjelma menjadi Kerajaan Galuh (di masa cicit Manikmaya yang bernama Wretikandayun) yang memerdekakan diri dari Kerajaan Tarumanagara di masa kepemimpinan Tarusbawa.
8. Kertawarman (561 – 628 M)
9. Sudhawarman (628 – 639 M)
Sudhawarman adalah adik dari Kertawarman karena ketiadaan keturunan langsung.
10. Hariwangsawarman (639 – 640 M)
11. Nagajayawarman (640 – 666 M)
12. Linggawarman (666 – 669 M)
Tarumanegara hanya dipimpin oleh 12 raja yang berasal dari keturunan nenek moyangnya karena pada tahun 669 M, Linggawarman digantikan oleh menantunya, Tarusbawa (sebagai akibat dari Linggawarman tidak mempunyai keturunan laki-laki) yang berasal dari Kerajaan Sunda Sambawa. Linggawarman hanya mempunyai dua orang putri, yang sulung bernama Manasih yang kemudian menjadi istri Tarusbawa. Putrinya yang kedua bernama Sobakancana yang kemudian menjadi istri Dapunta Hyang, sang pendiri Kerajaan Sriwijaya.
Sejak beralih kepemimpinan ke Tarusbawa (menantu Linggawarman), Kerajaan Tarumanegara kemudian diganti nama menjadi Kerajaan Sunda pada tahun 670 M dengan tujuan untuk mengembalikan pamor Kerajaan Tarumanagara ke jaman Purnawarman yang waktu itu berkedudukan (beribukota) di Sundapura. Ia mendapatkan gelar Sri Maharaja Tarusbawa Darmawaskita Manumanggalajaya Sundasembawa.
Pada masa kepemimpinan Tarusbawa inilah terjadi peristiwa pemberontakan dimana wilayah timur Tarumanagara (dengan batas Sungai Citarum) memerdekakan diri menjadi Kerajaan Galuh yang merdeka di bawah pemerintahan Sang Prabu Wretikandayun, cicit Manikmaya. Manikmaya sendiri adalah menantu Suryawarman yang pada waktu itu mendirikan kerajaan di Kendan, daerah sekitar Nagreg, antara Bandung dan Limbangan Garut.
Namun keruntuhan Kerajaan Tarumanagara benar-benar terjadi saat penyerangan Kerajaan Sriwijaya ke “bhumi jawa” (menurut Prasasti Kota Kapur) dimana karena pada saat itu tidak ada kerajaan lain selain Tarumanagara maka kemungkinan besar yang diserang Kerajaan Sriwijaya itu adalah Kerajaan Tarumanagara.