Orang mungkin masih banyak yang belum mengetahui tentang keberadaan kerajaan yang satu ini mengingat bahwa referensi atau tulisan-tulisan sejarah yang memuat kisah berdirinya Kerajaan Melayu (Malayu) masih sangat terbatas.
Sumber utama yang dijadikan referensi adalah adanya berita
Cina dimana dalam kitab sejarah Dinasti T’ang dapat dijumpai untuk pertama
kalinya pemberitaan tentang datangnya utusan dari daerah Mo-lo-yeu pada tahun
644 dan 645 Masehi. Nama Mo-lo-yeu inilah yang mungkin dapat dihubungkan dengan
Kerajaan Melayu.
Sekitar tahun 672 Masehi, I-tsing, seorang pendeta Budha dari
Cina melakukan perjalanan dari Kanton ke India dengan terlebih dahulu singgah
di She-li-fo-she selama 6 (enam) bulan untuk belajar sabdavidya atau tata
bahasa Sansekerta.
Menurut I-tsing, ada sekitar 1000 orang pendeta di
She-li-fo-she yang menguasai pengetahuan agama seperti halnya di Madhyadesa
(India). Dari She-li-fo-she, I-tsing berlayar menuju Mo-lo-yeu selama 2 (dua)
bulan. Selanjutnya ia berlayar ke Kedah dengan menempuh waktu selama 15 (lima
belas) hari. Pada bulan ke-12 ia meninggalkan Kedah menuju Nalanda.
Sekembalinya dari Nalanda pada tahun 685 Masehi, I-tsing singgah lagi di Kedah.
Dari keterangan tersebut dapat diketahui bahwa sekitar tahun 685 M, Kerajaan
Sriwijaya telah mengembangkan kekuasaannya dimana salah satu wilayah yang
ditaklukan adalah Melayu (Malayu).
Setelah penaklukan Malayu oleh Sriwijaya pada sekitar tahun
685 M, untuk jangka waktu lama tidak dijumpai lagi nama Malayu yang
disebut-sebut dalam sejarah. Baru pada pertengahan terakhir abad ke-13 kita
jumpai lagi nama Malayu dalam Kitab Pararaton dan Kitab Nagarakrtagama.
Bersumber dari kedua kitab di atas disebutkan bahwa pada
tahun 1275 M, Raja Krtanagara (Kertanegara) mengirimkan tentaranya ke Malayu
yang mendapat sebutan Ekspedisi Pamalayu. Ekspedisi ini memiliki hubungan erat
dengan upaya ekspansi Kerajaan Mongol di bawah kekuasaan Kubhilai Khan yang
sedang gencar-gencarnya melebarkan wilayah kekuasaannya ke wilayah Asia
Tenggara.
Ekspedisi Pamalayu berhasil menjalin hubungan persahabatan
antara Singhasari dan Malayu dimana pada tahun 1286 M, Raja Sri Krtanagara
Wikramadharmottunggadewi mengirimkan sebuah arca Buddha Amoghapasalokeswara
beserta 14 (empat belas) dewa pengiringnya sebagai hadiah kepada Malayu.
Pemberian hadiah itu membuat seluruh rakyat Melayu sangat gembira, terutama rajanya,
Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa.
Setelah peristiwa di atas, tidak diperoleh keterangan lain
tentang keadaan di Sumatera, baru kemudian pada masa pemerintahan
Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwardhani (1328 – 1350 M), kita memperoleh
sedikit keterangan tentang daerah Melayu. Rupanya Kerajaan Melayu ini muncul
kembali sebagai pusat kekuasaan di Sumatera, sementara Sriwijaya setelah adanya
ekspedisi Pamalayu tidak terdengar lagi eksistensinya.
Kerajaan Melayu di Masa
Adityawarman
Dari prasasti-prasasti yang banyak ditemukan di daerah
Minangkabau disebutkan bahwa pada pertengahan abad ke-14 terdapat seorang raja
yang memerintah di Kanakamedinindra (raja pulau emas) yang bernama
Adityawarman. Menurut beberapa sumber, ia pernah membantu Majapahit dalam menaklukkan
beberapa wilayah termasuk Bali. Setelah membantu Majapahit, pada tahun 1343 M,
Adityawarman kembali ke Sumatera, lalu pada tahun 1347 M, ia memproklamirkan
dirinya sebagai pelanjut Dinasti Mauli, penguasa Kerajaan melayu di
Dharmasraya. Selanjutnya ia memindahkan ibukota pemerintahan ke Suruaso, daerah
di Minangkabau dengan gelar Maharajadiraja Srimat Sri Udayadityawarman
Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa.
Pada masa Adityawarman inilah, Kerajaan Melayu berada pada
puncak kejayaannya. Ia memerintah hingga tahun 1375 M lalu digantikan oleh
anaknya, Anangwarman.
Referensi :
“Pertumbuhan
Kerajaan Melayu Sampai Masa Adityawarman” oleh Drs. Alian, M.Hum
Buku “Sejarah Nasional Indonesia” karya Marwati Djoened
Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Balai Pustaka. 1993.