Dalam buku “Sejarah Nasional Indonesia” terutama pada Jilid II yang diterbitkan oleh Penerbit Balai Pustaka cetakan kedelapan tahun 1993, tidak disebutkan nama Salakanagara sebagai salah satu kerajaan tertua di bumi Nusantara.
Pada buku tersebut hanya disebutkan bahwa kerajaan tertua di
Indonesia berdasarkan bukti-bukti yang ada adalah terletak di Kalimantan yaitu
Kerajaan Kutai Purba. Tidak ada penyebutan sama sekali nama Salakanagara
sebagai kerajaan tertua di Indonesia.
Merujuk artikel berjudul “Polemik Salakanagara: Meninjau
Kebenaran Bukti Historis Salakanagara dalam Pentas Sejarah Kuno di Indonesia”
karya Wildhan Ichzha Maulana yang dimuat dalam Diakronika Vol. 23 No. 01 Th.
2023, pada bagian Abstrak disebutkan, “…kajian Salakanaga hingga saat ini masih
terbatas hipotesa sejarah karena hanya didukung dengan kebenaran dari sumber
sejarah sekunder saja.”
Awal mula perbincangan tentang Kerajaan Salakanagara dimulai
sejak tahun 1988 setelah ditemukannya naskah Wangsakerta pada tahun 70-an.
Naskah tersebut kemudian diteliti oleh Boechari, ahli epigrafi, yang menyatakan
bahwa di dalam naskah Wangsakerta itu terdapat sejumlah kejanggalan,
diantaranya : (1) umur naskah yang tidak sesuai dengan tahun penulisan dimana
naskah Wangsakerta itu ditulis pada abad ke-17 dengan meniru aksara Jawa kuno
namun tidak sempurna dimana kertas yang dipakai adalah jenis manila yang
dicelup; (2) isi naskah terlalu lengkap dimana salah satunya menyebut pembagian
wilayah administratif Pulau Jawa menjadi Jawa Kulwan, Jawa Madya, dan Jawa
Wetan, padahal pembagian ini baru dikenal dalam buku sejarah modern; (3) Naskah
Wangsakerta memiliki corak yang identik dengan pemikiran sejarah para sarjana
Belanda; (4) Eksistensi panitia Wangsakerta sebagai team penulis dinilai
janggal karena pada jaman itu tidak ditemukan catatan lokal maupun asing yang
memberitakan adanya panitia itu.
Upaya awal Boechari itu kemudian mendorong ahli sejarah
lainnya untuk membuktikan kebenaran tentang keberadaan Kerajaan Salakanagara dimana
dalam perkembangannya belum ditemukan bukti-bukti yang memadai seperti
prasasti, karya sastra, atau catatan asing yang sejaman. Oleh karenanya, para
ahli sejarah masih tetap memposisikan Kerajaan Kutai Kuno (Kutai Purba) di
Kalimantan Timur sebagai kerajaan (Hindu) tertua di nusantara.
Berdasarkan tabel perbandingan sumber sejarah primer antara
Salakanagara, Kutai Kuno, dan Tarumanagara yang disajikan dalam artikel karya
Wildhan Ichzha Maulana di atas, dapat diketahui bahwa Kerajaan Salakanagara
tidak didukung dengan ketersediaan sumber primer yang memadai sehingga klaim
bahwa Salakanagara lebih tua dibanding Kutai Kuno hanyalah sebuah klaim yang
tidak didukung dengan sumber-sumber primer yang dapat dipercaya. Sumber yang
digunakan selama ini hanyalah berupa sumber sekunder berupa naskah Wangsakerta
pada bagian “Pustaka Rajya-Rajya I Bhumi Nusantara.”
Kritik terhadap Naskah
Wangsakerta
Naskah Wangsakerta merupakan sumber sekunder yang dimunculkan
sekitar tahun 1977 saat Kepala Museum Sri Baduga membeli sebuah naskah melalui
perantara, Mohammad Asikin, yang merupakan warga Cirebon. Adapun menurut
Asikin, naskah kuno yang ditawarkannya itu berasal dari berbagai daerah di
Indonesia seperti Kalimantan Selatan, Banten, Cirebon, Jambi, dan lain-lain.
Lebih lanjut disebutkan bahwa karya sastra tersebut ditulis
oleh suatu team gabungan dari berbagai penjuru nusantara yang kemudian
dikoordinir oleh Pangeran Wangsakerta, putra Panembahan Girilaya, melakukan
proses penulisan selama 21 tahun (dari tahun 1677 sampai 1698).
Agus Aris Munandar dari Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya UI, dalam artikelnya yang berjudul “Kerajaan Salakanagara
Berdasarkan Data yang Tersedia” yang disampaikan dalam Seminar Sejarah Banten
di Hotel Ratu Bidakara, Kota Serang, Banten, tahun 2012, menyatakan bahwa dari
sudut ketersediaan data, kehadiran Kerajaan Salakanagara dalam pentas sejarah
kuno Indonesia sangat tidak kuat. Kerajaan tersebut digubah pada abad ke-17
sedangkan kerajaannya sendiri diberitakan berdiri pada abad ke-2 sampai ke-4
Masehi. Dalam hal ini, data yang memberitakan Salakanagara cukup lemah meskipun
di wilayah Banten Selatan sendiri terdapat legenda tentang adanya kerajaan di
masa silam namun legenda itu hanya bersifat dongeng dan bukan merupakan
kepastian sejarah.
Adapun ditemukannya arca-arca Hindu di Pulau Panaitan yang
menggambarkan Siwa sedang duduk di punggung Lembu Nandi dan Ganesa maka
kronologi arca-arca itu diperkirakan berasal dari abad ke-7 atau 8 Masehi yang
setara dengan arca-arca Wisnu di Cibuaya, Karawang, dan arca Siwa yang terdapat
di Candi Cangkuang, Garut. Sehingga arca-arca di Pulau Panaitan itu tidak
mungkin dapat dihubungkan dengan eksistensi Salakanagara (bisa jadi arca itu
berhubungan dengan jaman Tarumanagara atau jaman awal Kerajaan Sunda Kuno).