Ada dua teori mengenai dinasti yang berkuasa pada masa Kerajaan Mataram Kuno. Teori pertama mengatakan bahwa ada 2 (dua) dinasti yaitu Sanjaya dan Sailendra. Pendukung teori ini adalah F.D.K. Bosch, de Casparis, dan G. Coedes (Poesponegoro, 1990).
Teori kedua dikemukakan oleh Poerbatjaraka yang menyatakan bahwa hanya ada 1 (satu) dinasti pada masa Mataram Kuno. Dengan kata lain, ia menentang teori 2 (dua) dinasti. Menurutnya, Sanjaya dan keturunannya adalah raja-raja dari wangsa Sailendra, asli Indonesia, yang semula menganut agama Siwa namun sejak Rakai Panangkaran, terjadi perpindahan agama dari Siwa ke Buddha Mahayana.
Pendapat bahwa pada masa Kerajaan Mataram Kuno hanya ada 1 (satu) dinasti diperkuat dengan adanya fakta dimana istilah
Sanjayawangsa belum pernah ditemukan dari sumber prasasti manapun. Nama dinasti
yang disebutkan dalam sejarah hanyalah Sailendrawangsa yang tertulis pada
Prasasti Kalasan (778 M).
R.C. Majumdar memiliki anggapan bahwa wangsa Sailendra di Indonesia,
baik yang ada di Jawa maupun Sriwijaya, berasal dari Kalingga, India Selatan.
Sedangkan menurut Przyluski, istilah Sailendrawangsa menunjukkan bahwa
raja-raja itu menganggap dirinya berasal dari Sailendra yang berarti “raja
gunung.” Dengan kata lain, raja-raja di Jawa menganggap leluhurnya ada di atas
gunung. Hal ini menjadi petunjuk bahwa istilah Sailendra itu berasal dari asli
Indonesia. Disamping itu, pendapat bahwa wangsa Sailendra berasal dari luar
Indonesia ditentang oleh Poerbatjaraka, seolah-olah bangsa Indonesia sejak
dahulu kala hanya mampu diperintah oleh bangsa asing. Pendapat Poerbatjaraka diperkuat dengan adanya fakta bahwa istilah Sanjayawangsa belum pernah ditemukan pada sumber prasasti manapun. Nama dinasti yang disebut hanya Sailendrawangsa yang tertulis pada Prasasti Kalasan (778 M).
Pernyataan di atas didukung oleh penemuan berupa prasasti batu berbahasa Melayu Kuno di Desa
Sojomerto, Kabupaten Pekalongan dan sebuah prasasti berbahasa Sansekerta yang
disimpan sebagai koleksi pribadi Adam Malik yang memperkuat anggapan
Poerbatjaraka yang menyatakan hanya ada 1 (satu) dinasti yaitu wangsa
Sailendra. Prasasti Sojomerto menyebutkan Dapunta Selendra yang merupakan ejaan
Indonesia untuk kata Sansekerta “Sailendra.” Nama ayah dan ibunya adalah Santanu
dan Bhadrawati, sedangkan istrinya bernama Sampula. Maka sesuai asal-usul
nama-nama wangsa, dapatlah disimpulkan bahwa Sailendrawangsa itu berpangkal
pada Dapunta Selendra. Kenyataan bahwa dalam prasasti ini menggunakan bahasa
Melayu Kuno menunjukkan bahwa Dapunta Selendra mungkin sekali berasal dari
Sumatera karena di Sumatera dijumpai lebih banyak prasasti berbahasa Melayu Kuno.
Dapunta Selendra kemungkinan memiliki keturunan-keturunan
yang bernama Sanna, Sannaha, dan Sanjaya. Hal ini antara lain dapat dilihat
pada Prasasti Mantyasih yang menyebutkan daftar raja-raja. Dengan demikian,
Sanjaya adalah merupakan anggota wangsa Sailendra.
Di Jawa Tengah sendiri memang banyak ditemukan candi baik yang
bercorak Hindu maupun Budhha. Hal ini menunjukkan kesan bahwa terdapat 2 (dua)
kelompok candi berdasarkan agama yang berbeda yang seolah-olah mewakili 2 (dua)
dinasti yang berbeda pula. Padahal Sanjaya sendiri bukan pendiri wangsa lain
yang terpisah dari wangsa Sailendra.
Hubungan
antara Dapunta Selendra dan Dapunta Hyang
Nama Dapunta Sailendra mengingatkan kita pada Dapunta Hyang,
pendiri Kerajaan Sriwijaya yang sudah dibahas pada tulisan sebelumnya di blog
ini. Pertanyaan yang muncul adalah apakah kedua nama tersebut memiliki hubungan
kekerabatan? Apabila merujuk pada Prasasti Kota Kapur mengenai usaha Dapunta
Hyang menaklukkan Tanah Jawa serta Bahasa Melayu yang digunakan kedua tokoh
tersebut, pernyataan bahwa Dapunta Selendra berasal dari Sumatera mendapat
dukungan yang cukup kuat.
Selanjutnya terdapat pertanyaan, kerajaan manakah yang
diserang oleh Dapunta Hyang? Muncul dugaan yang menyatakan bahwa serangan
Sriwijaya ditujukan kepada Kerajaan Tarumanagara. Namun tidak menutup
kemungkinan serangan itu ditujukan kepada Kerajaan Ho-ling atau Kalingga.
Berita Cina dari Dinasti Sung menyebutkan bahwa pada
pertengahan abad ke-7 di She’po (Jawa) berdiri sebuah kerajaan bernama Ho-ling
(Kalingga) yang dipimpin oleh Ratu Hsimo (Sima). Berita Cina yang lain dari
Dinasti Tang mengatakan bahwa pada tahun 666 M dan 669 M, datang utusan dari
To-lo-mo yang terletak di tenggara (Wurjantoro, 2010). J.L. Moens kemudian
mengasosiasikan To-lo-mo dengan Tarumanagara. Apabila dugaan Moens benar maka pada
akhir abad ke-7, Kerajaan Tarumanagara masih berdiri. Masalahnya, tidak ada
sumber tertulis yang dapat dijadikan bukti bahwa pada abad tersebut apakah Kerajaan
Tarumanegara benar-benar masih berdiri atau sudah runtuh.
Kemungkinan lain, kerajaan yang diserang oleh Kerajaan Sriwijaya
adalah Kalingga. Orang yang diutus untuk memimpin penyerangan adalah Dapunta Selendra.
Namun Sriwijaya tidak mampu menaklukkan Kerajaan Kalingga yang dipimpin oleh
Ratu Sima. Karena merasa kecewa atas kekalahannya, Dapunta Hyang membuat
prasasti yang isinya mengutuk Tanah Jawa. Sedangkan Dapunta Selendra dan sisa
pasukannya tidak kembali ke Sriwijaya melainkan menetap di Jawa yaitu di daerah
Sojomerto. Mungkin Dapunta Selendra takut menghadapi kemarahan rajanya karena
usahanya untuk menaklukkan kerajaan di Jawa tidak berhasil (Wurjantoro, 2010).
Setelah lama menetap, Dapunta Selendra akhirnya menjadi penguasa di Jawa.
Asumsi yang dapat diutarakan sampai saat ini adalah bahwa Dapunta
Selendra memang seseorang yang berasal dari Sumatera yang datang ke Tanah Jawa
atas perintah Dapunta Hyang. Mungkin Dapunta Selendra adalah salah satu anggota
keluarga atau raja bawahan Dapunta Hyang yang berbeda agama dan ditempatkan di
Jawa setelah perluasan kekuasaan Sriwijaya. Guna mengukuhkan kedudukannya,
Dapunta Selendra membuat Prasasti Sojomerto yang berisi silsilah keluarganya. Bisa
jadi alasan Dapunta Selendra mengeluarkan prasasti yang berisi silsilah
keluarganya, salah satunya untuk menyatakan bahwa dia bukan berasal dari Jawa
dan juga bukan pewaris tahta yang sah.
Raja-Raja Dinasti Sailendra
Poerbatjaraka mencoba menyusun daftar raja penguasa Sailendra pada periode menengah dan lanjut berdasarkan hubungannya dengan tokoh Sanjaya, beberapa prasasti Sailendra, serta penafsiran atas naskah Carita Parahyangan.
- Santanu (650 M)
- Dapunta Selendra (674 M)
- Shima (674 - 703 M)
- Mandiminyak (674 M)
- Sanna (710 - 717 M)
- Sanjaya (717 - 760 M)
- Rakai Panangkaran (760 - 775 M)
- Dharanindra (775 - 800 M)
- Samaragrawira (800 - 812 M)
- Samaratungga (812 - 833 M)
- Pramodhawardhani, yang berkuasa mendampingi suaminya, Rakai Pikatan (833 - 856 M)
- Balaputradewa (833 - 850 M)
- Çri Udayadityavarman (960 M)
- Haji (Hia-Tche) (980 M)
- Sri Cudamanivarmadeva (988 M)
- Sri Maravijayottungga (1008 M)
- Sumatrabhumi (1017 M)
- Sangramavijayottungga (1025 M)
Referensi :
https://hima.fib.ugm.ac.id/menguak-sosok-dapunta-sailendra/
https://id.wikipedia.org/wiki/Wangsa_Sailendra
Buku “Sejarah Nasional Indonesia” karya Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Balai Pustaka. 1993.