Merujuk pada tulisan berjudul “Bunga Bank antara Halal dan Haram” karya Nurhadi, yang menjadi persoalan inti dalam membahas hukum bunga bank adalah perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam menentukan ‘illat hukum riba.
Ada yang memakai illat “ziyaadah” (tambahan) dan ada ulama yang lain menggunakan illat “dzulm” (kemudlaratan). Penentuan illat hukum bunga bank ini menjadikan terbentuknya 2 (dua) kelompok ulama dalam menghukumi status bunga bank yaitu : (1) Kelompok Neo-Revivalisme; dan (2) Kelompok Modernis.
Neo-Revivalisme adalah suatu gerakan pemikiran yang merelevansikan ajaran Islam dalam segala segi kehidupan sebagai bukti bahwa Islam itu memiliki kedudukan yang lebih tinggi dan universal dari ajaran Barat. Pemikiran Neo-Revivalisme lahir dari semangat kebangkitan Islam pada akhir abad 19 sebagai penolakan terhadap paham sekulerisme yang melanda dunia Islam. Mereka menilai bahwa kebudayaan Barat yang cenderung materialistis menjadi penyebab ambruknya moral agama sehingga seyogyanya umat Islam menolak peradaban tersebut. Paham ini meyakini bahwa Islam adalah agama yang kaya dengan peradaban yang tinggi. Neo-Revivalisme memfokuskan gerakan agar umat muslim menjadikan ajaran Islam sebagai way of life dan menolak kontektualisme nash al-Qur’an dan Hadis. Tokoh Neo-Revivalisme seperti Maududi dan Sayyid Qutb, keduanya menganggap bunga bank sebagai riba dan haram dimana keduanya lebih menekankan pada aspek legal-formal larangan riba yang menjelma sebagai bunga bank. Keduanya didukung oleh pakar ekonomi Islam Chapra yang juga menegaskan “riba has the same meaning and import as interest.” Alasan yang mendasari kelompok ini adalah: (1). Pernyataan yang ditetapkan dalam al-Qur’an harus diambil makna harfiahnya tanpa memperhatikan apa yang dipraktikkan pada masa pra-Islam; (2). Al-Qur’an telah menyatakan bahwa hanya uang pokok yang diambil. Maka tidak ada pilihan lain kecuali menafsirkan riba sesuai dengan pernyataan itu. Pemahaman Neo-Revivalis tentang riba sebagai bunga didasarkan interpretasi literal al-Quran “wa intubtum fa lakum ru’usu amwalikum.” Istilah “ru’usu amwalikum” diartikan sebagai pokok pinjaman. Maka setiap tambahan yang melebihi di atas pokok pinjaman disebut riba. Dengan demikian, Neo-Revivalisme cenderung memandang persoalan riba (bunga bank) secara tekstual dan dari sudut harfiahnya saja tanpa mencermati apa yang di praktikkan pada periode pra-Islam.
Sedangkan kelompok Modernis menekankan pentingnya ijtihad sebagai bentuk penyegaran dalam pemikiran Islam dengan merelevansikan nilai-nilai al-Qur’an dan Sunah serta memformulasikannya sesuai dengan kebutuhan hukum pada kondisi umat di jaman modern. Tokoh modernis seperti Fazlur Rahman, Muhammad Asad, Said an-Najjar, dan Abd al-Mun’im an-Namir lebih menekankan pada aspek moral dalam memahami pelarangan riba dan mengabaikan legal formal tentang riba. Pemahaman rasional terhadap larangan riba terletak pada ketidakadilan sebagai alasan diharamkannya riba sesuai dengan statement al-Qur’an “La tadzlimun wa la tudzlamun.” Maka dari itu, riba dibedakan dengan bunga bank. Kelompok ini juga mendasarkan alasannya pada pendapat ulama klasik seperti ar-Razi, Ibn al-Qayyim, dan Ibn Taimiyah, bahwa larangan riba berkaitan dengan aspek moral dengan mengacu pada praktik riba yang terjadi di masa pra-Islam.
Salah satu perbedaan yang dialami 2 (dua) tokoh Islam yang berbeda dalam memandang bunga bank adalah pemikiran Yusuf Qaradhawi (kelompok Neo-Revivalisme) dan Fazlur Rahman (kelompok Modernis). Perbedaannya hanyalah dalam mengartikan bunga bank dan metodologi dalam menentukan materi kerjanya dimana yang satu menyatakan halal dan yang satu lagi menyatakan haram. Yusuf Qaradhawi mengharamkan bunga bank baik berlipat ganda maupun tidak sedangkan Fazlur Rahman hanya mengharamkan bunga bank yang berlipat ganda atau dengan kata lain menghalalkan bunga bank yang tidak berlipat ganda.
Persamaan kedua tokoh tersebut dalam menentukan hukum bunga bank adalah metode istinbath yang digunakan yaitu sama-sama bersumber dari al-Qur’an dan Hadits namun Yusuf Qaradhawi menggunakan qiyas yaitu mengqiyaskan bunga bank dengan riba karena sama-sama bertambah dalam transaksi utang piutang sedangkan Fazlur Rahman menggunakan pendekatan maqashid syariah (tujuan moral dari al-Qur’an). Kedua tokoh tersebut sebenarnya memiliki kesamaan dalam pemikirannya, baik Yusuf Qardhawi maupun Fazlur Rahman, berkenaan dengan hukum bunga bank, yaitu bahwa bunga bank termasuk perkara ijtihadiyah, dalam arti sesuatu yang tidak terdapat dalam sumber hukum Islam, baik al-Qur’an maupun Hadits sebagai landasan hujjah al-syari’iyah serta keberadaan syariat Islam untuk kemashlahatan hidup manusia baik hidup di dunia maupun di akhirat.