Para ulama baik salaf maupun kontemporer semuanya sepakat menyatakan keharaman riba namun tidak sepakat tentang hukum bunga bank apakah masuk kategori riba atau tidak.
Perbedaan pendapat itu disebabkan oleh adanya perbedaan pendapat tentang penentuan illat riba itu sendiri.
Riba menurut pengertian bahasa berarti az-ziyadah atau tambahan dimana pihak yang meminjamkan sesuatu meminta tambahan dari sesuatu yang dipinjamkannya meskipun tidak semua bentuk tambahan atas modal pokok dilarang dalam Islam.
Adapun setiap madzhab fikih mendefinisikan riba dengan cara yang berbeda-beda. Meskipun demikian, secara umum riba dapat diartikan sebagai pengambilan tambahan baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam yang dilakukan secara bathil dan bertentangan dengan prinsip muamalah Islam. Dengan demikian, terdapat 3 (tiga) unsur yang melekat pada riba pinjaman : (1) adanya tambahan atau kelebihan atas pokok pinjaman; (2) pokok pinjaman itu berkaitan dengan unsur pertambahan waktu; (3) kelebihan atas tambahan atas pokok pinjaman itu disepakati di awal akad.
Dasar hukum pelarangan riba dapat ditemui dalam al-Qur’an, antara lain : (1) QS. Ar-Ruum ayat 39, “Dan sesuatu riba yang kamu lakukan agar menambah harta manusia, maka riba itu tidak menambah di sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencari keridhaan Allah, maka orang-orang yang berbuat demikian adalah orang-orang yang melipatgandakan pahalanya.” (2) QS. An-Nisaa ayat 161, “Dan karena mereka mengambl riba padahal mereka dilarang mengambilnya dan karena memakan harta orang dengan jalan yang bathil. Kami sediakan untuk orang-orang kafir itu siksaan yang pedih.” (3) QS. Ali-Imran ayat 130, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat kemenangan.” (4) QS. Al-Baqarah ayat 275, “Orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran penyakit jiwa. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba) maka bagimu hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.”
Dalam kaitannya dengan utang piutang, para ulama membagi riba ini menjadi 2 (dua) yaitu : (1) riba qardh yaitu penetapan riba berupa tambahan, manfaat, atau tingkat kelebihan tertentu yang dipersyaratkan terhadap pihak yang berhutang (muqtaridh) sedari awal transaksi. Dalam konteks modern, cara ini diwujudkan dalam bentuk penetapan suku bunga pada bank konvensional terhadap debitur yang meminjam uang kepada bank. (2) riba jahiliyah yaitu penetapan riba manakala si pengutang tidak memapu melunasi hutangnya saat tanggal jatuh tempo lalu ditambahkan utangnya diberikan tangguh. Begitu seterusnya, jika tidak sanggup melunasi maka si pengutang akan diberi tambahan hutang atas penangguhan waktu tersebut. Jenis tambahan seperti ini biasa dipraktekkan di masa jahiliyah sehingga disebut sebagai riba jahiliyah.
Yusuf Qaradhawi mendukung pandangan dari ulama konservatif yang memandang bahwa semua tambahan dari pokok pinjaman yang disyaratkan di awal akad adalah riba dan hukumnya haram. Dengan demikian, bunga bank termasuk dalam tambahan yang disyaratkan sebelumnya karena illat yang terdapat di dalamnya sama dengan illat riba yang terdapat dalam Al-Qur’an yaitu bertambahnya harta dari pokok yang dipinjamkan. Berbeda dengan Yusuf Qaradhawi , Abdullah Saeed, salah seorang ulama kontemporer, berpendapat bahwa bunga bank konvensional adalah boleh karena tidak mengandung unsur-unsur yang merupakan tujuan utama pelarangan riba dimana menurutnya, unsur utama dalam aspek pelarangan riba dalam Al-Quran adalah terciptanya kedzaliman.
Namun demikian, keduanya, Yusuf Qaradhawi dan Abdullah Saeed, berangkat dari asumsi yang sama bahwa riba sebagaimana disebutkan dalam Al Quran adalah riba yang menyebabkan adanya kemudharatan berupa ketidakadilan. Aspek ketidakadilan ini menjadi wacana penting dalam pemikiran keduanya mengenai riba dan bunga bank. Menurut Abdullah Saeed, dalam bunga bank tidak terdapat unsur yang menyebabkan ketidakadilan sebab orang-orang jaman sekarang lebih pandai dan cermat dalam mengelola pinjaman dari bank. Selain itu, di jaman sekarang sudah terdapat banyak peraturan perundang-udangan yang melindungi hak-hak peminjam maupun pemberi pinjaman sehingga mustahil terjadi tindak penindasan kreditur kepada debitur sebagaimana terjadi pada masa lalu.
Abdullah Saeed cenderung pada penggunaan landasan moral dengan melakukan qiyas berdasarkan hikmah, bukan illat. Ini tampak dalam analisisnya mengenai aspek-aspek pelarangan riba dalam Al-Quran dan As-Sunnah yang berimplikasi pada pandangannya bahwa bunga bank adalah boleh karena tidak mengandung unsur-unsur yang merupakan tujuan utama pelarangan riba. Menurutnya, unsur utama dalam aspek pelarangan riba dalam Al-Quran adalah terciptanya kedzaliman.
Referensi : “Penerapan Illat Hukum Riba dalam Fiqh Klasik dan Kontemporer.” Yuhasnibar. 2021.