Setelah pada artikel-artikel sebelumnya terkumpul sejumlah pendapat baik dari organisasi Islam maupun ulama-ulama terkemuka mengenai status hukum bunga bank, kali ini saya akan mencoba menuangkan apa yang menjadi gagasan dalam alam pikiran saya.
Terkait bunga bank, menurut saya, kita tidak lantas harus terburu-buru menyamakannya dengan riba yang diharamkan dalam agama Islam. Perlu diperjelas terlebih dahulu posisi kita itu dengan pihak bank apakah kita sebagai deposan (nasabah tabungan) atau sebagai debitur (peminjam kredit). Saat membahas bunga bank ini, ada baiknya didudukkan dulu posisi hubungan antara nasabah dengan bank itu seperti apa agar tidak kebablasan memberikan fatwa.
Pada tulisan ini, saya mencoba memulai pembahasan bunga bank dalam perspektif hubungan bank sebagai pihak yang menerima (dan menyimpan) dana dengan nasabahnya dengan cara si nasabah itu membuka akun tabungan di bank tersebut.
Menurut saya, yang menjadi pertanyaan awal (dan ini akan sangat berpengaruh pada status hukum bunga bank) adalah pada niat kita saat menempatkan uang di bank : (1) apakah hanya sekedar sebagai tempat alternatif yang aman dibanding menyimpannya di bawah bantal; atau (2) berharap agar ada imbal balik berupa bunga tabungan.
Untuk kasus nomor (1), Syaikh Abdul Aziz bin Baaz mengatakan, “Tidak mengapa menyimpan harta di bank jika khawatir akan hilangnya harta. Ini adalah masalah yang darurat. Jika memang dibutuhkan untuk menyimpan uang, yang demikian itu tidak mengapa namun tanpa mengambil bunga. Adapun jika mudah untuk menyimpannya di bank Islami maka hendaknya mendukung bank-bank Islami dan membantu urusan-urusan mereka. Itu lebih utama dan lebih layak” (Majmu’ Fatawa wal Maqalat Mutanawwi’ah). Dengan demikian, jika kita membuka rekening buku tabungan di bank dengan tujuan semata-mata untuk mendapatkan keuntungan (berupa bunga) maka hal inilah yang tidak diperbolehkan.
Sebenarnya, jika kita cermati lebih mendalam, pada kasus nasabah yang membuka rekening tabungan di bank, terdapat setidaknya 2 (dua) jenis akad atau kontrak : (1) wadiah atau titipan; atau (2) qardh atau utang-piutang. Nah, jadi pada aspek niat kita menabung saja perlu didudukkan sebelum berbicara lebih jauh tentang bagaimana bunga itu dikatakan haram atau boleh.
Secara singkatnya begini : saat kita bertemu petugas bank, apakah mereka mengajukan utang (sebagai peminjam) dan kita berposisi sebagai pemberi utang ? Tentu hampir tidak ada kata-kata demikian bukan ?. Artinya tidak ada akad utang piutang di sini. Kita pun bisa setiap saat menarik uang di bank. Berbeda dengan utang piutang yang tentunya ada tempo pembayaran. Sementara riba yang diharamkan dalam masa terdahulu adalah riba qardh atau riba jahiliyah yang terkait dengan aktivitas pinjam meminjam uang antara si orang kaya dengan orang miskin. Kejahiliyahannya terjadi saat jatuh tempo utang dan si peminjam tidak mampu melunasinya, maka pihak pemberi utang akan menyetujui penundaan tempo pembayaran utang namun dengan syarat adanya tambahan nilai pengembalian. Sehingga di sinilah terjadi kedzaliman yang luar biasa. Orang miskin yang seharusnya dibantu namun makin terjepit karena harus membayar hutang yang berlipat.
Dari sini kita tentu sudah bisa membedakan antara praktek bank di masa ini dengan praktek lintah darat di masa jahiliyah. Maka, dari aspek penabung, apabila niat kita hanya sekedar ingin menitipkan uang di bank dengan alasan keamanan maka tentu saja boleh-boleh saja namun dengan syarat bahwa kita tidak boleh menikmati bunga yang diberikan bank.
Tabungan Wadiah di Bank
Saat ini tidak hanya bank syariah yang menerapkan akad wadiah namun juga mulai didapati di bank-bank konvensional. Sebagai contoh, produk TabunganKu di Bank Mandiri dengan saldo sampai dengan Rp 500.000,00 tidak ada bunga bagi penabungnya. Apalagi di bank syariah, lebih mudah lagi untuk membuka rekening tabungan dengan akad wadiah atau titipan dimana karena sifatnya titipan dan bukan utang piutang maka pihak bank tidak diberi kewajiban untuk membayar kelebihan pinjaman yang dapat menjerumuskan pada praktek riba. Di sini bank justru harus bertanggung jawab dalam menjaga keamanan uang yang dititipkan oleh nasabah. Adapun jika ada nilai tambahan maka sifatnya hanya berupa hadiah yang tidak diperjanjikan di awal.