Pembahasan tentang status bank dan bunga bank dalam kacamata Islam pada tulisan-tulisan saya sebelumnya sebenarnya menjadi semacam pengantar dalam artikel saya kali ini yaitu pembahasan tentang status hukum asuransi dalam Islam.
Artinya, sebelum memvonis terlalu cepat terhadap hukum asuransi maka secara bijak tentunya kita harus mengetahui terlebih dahulu apa itu asuransi dan bagaimana pola kerjanya. Tanpa mengetahui terlebih dahulu, bisa-bisa kita pun bakal “terjebak” dalam perkara yang sama seperti halnya saat membahas soal bank dan bunga bank dalam pandangan Islam.
Bagi mereka yang bersikap radikal, semua asuransi dalam bentuknya, baik itu asuransi konvensional maupun syariah akan dianggap haram. Alasan utama yang sering disampaikan adalah terkait masalah riba, gharar, dan maisir yang melekat pada produk asuransi. Namun apakah asuransi harus selalu melekat pada ketiga hal tersebut ?
Dalam pandangan saya, perkara asuransi itu sama halnya dengan perkara bank. Belum ada contoh nyata di jaman Rasulullah SAW yang mengatur tentang asuransi. Sehingga dalam soal muamalah, prinsip yang digunakan adalah bahwa semua kegiatan boleh dilakukan kecuali ada dalil yang melarangnya. Apakah asuransi disebut di jaman Nabi SAW merupakan kegiatan yang dilarang ? Bukankah yang jelas-jelas dilarang adalah beberapa perkara yang berhubungan dengan maisir, gharar, dan riba saja ? Bagaimana jika ternyata kita salah memvonis : mengharamkan sesuatu yang halal dan menghalalkan sesuatu yang haram ?
Untuk menjawab silang pendapat tentang hukum asuransi dalam Islam, salah satu referensi yang saya dapat sarankan kepada pembaca adalah artikel atau tulisan ilmiah berjudul “Asuransi dalam Pandangan Ulama Fikih Kontemporer” oleh Abdurrauf.
Dalam artikelnya, Abdurrauf menjelaskan bahwa jika ditilik dalam khazanah Islam kontemporer, akan dijumpai berbagai silang pendapat di kalangan pemikir Islam dalam menentukan hukum asuransi. Ada yang mengatakan haram secara mutlak dengan dasar bahwa dalam akad asuransi terdapat unsur riba. Ada pula ulama yang berpendapat bahwa asuransi termasuk perkara syubhat dengan alasan bahwa tidak ada dasar yang tegas yang menunjukkan hukumnya apakah halal atau haram. Selain itu, ada juga ulama yang membolehkan sebagian bentuk asuransi dan mengharamkan sebagian lainnya karena menurut mereka, asuransi termasuk dalam kategori muamalah yang mengandung manfaat.
Syaikh Ahmad Musthafa al-Zarqa mengatakan bahwa hukum asuransi adalah boleh atau mubah dengan dasar bahwa hukum asal dari segala sesuatu itu adalah boleh, disamping bahwa syara’ tidak hanya membatasi pada akad klasik yang sudah diketahui saja. Tidak ada larangan dalam bentuk akad-akad baru yang bermunculan sesuai kebutuhan jaman selama tidak bertentangan dengan aturan akad syariah dan syarat-syaratnya secara umum, disamping juga karena adanya kesesuaian antara akad asuransi dengan akad-akad muamalah yang berkembang pada masa pra Islam yang kemudian diakui kebolehannya oleh syara’ seperti akad muwalah, nizham ‘aqilah, dan lain-lain.
Sejalan dengan al-Zarqa, Abd al-Wahhab al-Khallaf mengatakan bahwa asuransi hukumnya boleh (jaiz) karena termasuk akad mudlarabah. Dalam praktik ta’min, modal bersumber dari peserta yang membayar premi dan tenaga ada di pihak perusahaan dimana keuntungan dibagi antara perusahaan dan peserta.
Sebagai buah pikir muamalah, pada prinsipnya asuransi seharusnya jangan lantas dipandang haram tanpa dibeberkan prinsip-prinsip Islam yang dilanggar. Salah satu cara untuk menganalisa bisnis asuransi di jaman sekarang apakah bertentangan atau tidak dengan ajaran Islam adalah dengan melalui metode qiyas atau analogi yang terpenuhi rukun dan syarat qiyas.
Rukun qiyas adalah : (1) ashl (pokok) yaitu suatu kasus yang sudah ada nash-nya yang dijadikan sebagai dasar analogi; (2) far’ (cabang) yaitu kasus baru yang belum ada nash-nya yang akan dianalogikan dengan ashl; (3) hukum ashl yaitu hukum syara’ terhadap ashl (halal, haram, dan seterusnya); (4) ‘illat yaitu motif yang menjadi alasan untuk menetapkan suatu hukum.
Menurut Fathurrahman Djamil, dari keempat rukun qiyas di atas, ‘illat menjadi unsur yang sangat penting dan menentukan karena ada atau tidak adanya hukum pada kasus baru akan sangat bergantung pada ada atau tidak adanya ‘illat pada kasus tersebut. Hal ini didasarkan pada kaidah “al-hukm yaduuru ma’a al-‘illat wujuudan wa ‘adaman” atau “hukum itu bergantung pada ada atau tidak adanya ‘illat.” Sedangkan menurut Wahbah az-Zuhaili, ‘illat adalah sesuatu sifat yang jelas dan ada tolak ukurnya yang menginformasikan tentang ada atau tidak adanya hukum yang akan ditetapkan berdasarkan sifat dimaksud.
Dalam kaitannya dengan asuransi, kita dapat menjadikan asuransi ini sebagai kasus baru yang akan dianalogikan dengan praktek riba, bai’ al-gharar, maysir. Misalnya asuransi akan dianalogikan dengan kasus riba. Far’ : asuransi adalah transaksi perjanjian antara dua pihak dimana pihak pertama membayar premi dan pihak lain memberikan pembayaran klaim jika pembayar iuran tertimpa musibah. Ashl : riba adalah pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. ‘Illat : adanya tambahan pada pokok harta dan munculnya kedzaliman. Maka hukum asuransi jika merujuk pada ‘illat tersebut adalah haram bagi mereka yang menganggap ada unsur tambahan.
Jika asuransi akan dianalogikan dengan maisir maka dilakukan dengan cara menetapkan Far’ sama seperti pada analogi di atas. Sedangkan ‘ashl-nya adalah jual beli gharar yaitu jual beli yang didasarkan pada ketidakjelasan sejak dimulainya akad. ‘Illat-nya adalah adanya unsur penipuan. Maka hukum asuransi yang menganggap ‘illat adalah adanya unsur penipuan maka asuransi dianggap haram.
Sebagai penutup, agar dapat menentukan ada tidaknya ‘illat dalam praktik asuransi modern di jaman sekarang, diperlukan adanya analisa mendalam dari ahli atau praktisi asuransi yang digabungkan dengan ahli hukum Islam sehingga atas hasil vonis akhir tidak menimbulkan kerancuan dan bahkan bisa menyebabkan kebingungan karena sang pemberi fatwa pun tidak mengetahui dengan benar praktik yang sebenarnya terjadi di lapangan.
Referensi :
“Asuransi dalam Pandangan Ulama Fikih Kontemporer” karya Abdurrauf, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta.