Konteks pengharaman riba harus dipahami berdasarkan setting historis dan sosilogis saat riba diharamkan dalam Islam. Salah satu hal yang menjadi alasan pengharaman riba adalah adanya unsur ekspoitasi dan penindasan tehadap orang yang lemah secara ekonomi.
Riba identik dengan praktik hutang yang dilakukan oleh orang miskin kepada orang yang kaya. Ketika pada saat jatuh tempo, hutang tidak dilunasi, maka si kaya memberikan tambahan nilai dari hutang yang harus dibayarkan sebagai kompensasi dari penangguhan pembayaran hutang yang diberikan oleh si kaya. Gus Baha berpendapat bahwa “Dulu itu kenapa riba begitu dihujat? Karena berkaitan dengan orang miskin berhutang kepada orang kaya agar bisa makan. Misalnya saya hutang Anda 100 ribu untuk makan. Janjinya minggu depan bayar, ternyata belum bisa bayar (lalu) ditambah bunga 120 ribu sampai 140 ribu. Intinya, riba begitu dihujat oleh Allah. Wong menghutangi orang miskin kok berharap bunga. Itu kan pemerasan. Orang miskin kok diperas.”
Gus Baha menekankan bahwa mutlaq al-ziyadah (adanya tambahan pengembalian hutang) tidak secara otomatis menjadikan transaksi hutang piutang itu identik dengan riba melainkan harus dilihat dari aspek lain yaitu turunnya nilai mata uang seiring dengan adanya inflasi yang terjadi dalam kurun waktu antara hutang dan pada saat pengembalian hutang. Sehingga adanya tambahan dari nominal hutang menjadi sesuatu yang logis dan bisa diterima. Justru menjadi tidak adil saat seseorang yang berhutang 10 juta kemudian setelah kurun 10 tahun dikembalian dengan nominal yang sama. Gus Baha lebih detail menjelaskan, “Misalnya begini, tahun 1970 Anda punya hutang 1000 rupiah, tahun 2006 dibayar 1000, ya bagaikan langit dan bumi.Tahun 1970 orang bisa menghutangi 1000 rupiah itu menjual ayam jago. Sekarang 1000 rupiah saja tidak dapat makanannya ayam jago. Saya mendapati tahun 1984, keluarga saya haji dengan menjual 6 sampai 10 sapi. Padahal haji biayanya 6 juta. Sekarang haji 30 juta hanya butuh menjual 3 sampai 4 sapi. Artinya apa? Nilai uang itu tidak terkendali. Makanya kata orang desa-desa itu, “Gus haji sekarang lebih murah daripada dulu.... Coba dalam masalah seperti ini, terus kamu samakan riba dengan arti “bunga” kan beda. Itu kan penyusutan faktor deflasi, faktor pengurangan nilai uang.”
Sebagai solusi dari status adanya tambahan dari pengembalian hutang, Gus Baha memberikan 2 (dua) alternatif. Pertama, transaksi hutang piutang distandarisasi dengan kurs emas. Misalkan si A berhutang Rp 450.000,00 (senilai 1 gram emas) kepada Bank B pada tanggal 1 Januari tahun 2022. Maka kapan pun hutang itu akan dilunasi (sesuai perjanjian) maka nominal pengembalian hutang disesuaikan dengan harga emas. Kalau hutang itu dikembalikan pada tanggal 1 Maret tahun 2023 maka jika harga emas per gram pada saat itu seharga Rp 550.000,00 dengan nilai Rp 550.000,00, itulah hutang yang harus dibayar atau dilunasi. Dalam hal ini, Gus Baha menjelaskan, “...maka sebaiknya menggunakan kurs. Kurs ini diakui dalam Islam. Kalau dalam masalah begitu, dianjurkan pakai kurs emas. Jadi uang 20 juta atau 2 juta saat itu mendapatkan emas berapa gram. Dikurs menggunakan emas. Lah sekarang, kalau 2010, emas itu berapa. Sebab itu dalam ekonomi Islam atau fiqih, fulus (uang) tidak pernah dihitung sebagai mata uang. Meskipun berlaku seperti emas, yang dihitung adalah emas. Ternyata di bank-bank dunia yang dihitung sampai sekarang itu adalah kurs emas....”