Pembahasan pertama yang dilakukan NU terkait bunga bank adalah pada Muktamar NU Ke-2 di Surabaya pada tanggal 9 Oktober 1927 nomor 28 dimana hukum bunga bank disamakan dengan hukum gadai dimana dalam masalah ini terdapat 3 (tiga) pendapat dari para ulama yaitu : (1) Haram, sebab termasuk hutang yang dipungut manfaatnya (rente); (2) Halal, sebab tidak ada syarat pada waktu akad; (3) Syubhat (tidak jelas halal haramnya). Namun diputuskan bahwa yang lebih berhati-hati adalah pendapat pertama yaitu yang mengharamkan bunga bank.
Selanjutnya, pembahasan yang terjadi di ormas NU adalah pada saat pelaksanaan Muktamar NU ke-12 pada tanggal 25 Maret 1937 dengan keputusan, “Adapun hukumnya bank dan bunganya, itu sama dengan hukum gadai yang telah ditetapkan hukumnya dalam putusan Muktamar Ke-2 Nomor 28.”
Pembahasan berikutnya terjadi pada Muktamar NU Ke-25 pada tanggal 20-25 Desember 1971 saat membahas tentang “Mendepositokan Uang di Bank” yang melahirkan keputusan, “Berdasarkan Keputusan Konggres (Muktamar) NU Ke-12 tahun 1973 soal nomor 204, Keputusan Konggres (Muktamar) NU Ke-2 Tahun 1927 soal nomor 28, maka hukum mendepositokan uang kepada bank tersebut ada tiga pendapat yaitu : (a) haram; (b) halal; dan (c) syubhat.” Namun dalam muktamar itu disepakati bahwa yang lebih berhati-hati adalah pendapat pertama yang mengharamkan.
Pembahasan yang lebih lengkap sebenarnya terjadi dalam Munas Alim Ulama NU pada tanggal 21-25 Januari 1992 yang membahas “Bank Islam”. Para peserta musyawarah berbeda pendapat karena ada yang mengharamkan dan ada yang menghalalkan bunga bank. Ada pendapat yang menyamakan bunga bank dengan riba secara mutlak sehingga hukumnya haram. Ada juga pendapat yang tidak mempersamakan bunga bank dengan riba sehingga hukumnya boleh. Perbedaan ini memunculkan keragu-raguan di kalangan musyawirin sehingga melahirkan pendapat ketiga yaitu syubhat (ragu-ragu antara halal atau haram). Untuk keluar dari keragu-raguan itu maka para musyawirin memberikan rekomendasi kepada PB NU untuk mendirikan perbankan yang sesuai dengan hukum Islam tanpa menggunakan bunga.
Secara lebih spesifik, salah satu tokoh NU bernama Masdar F. Mas’udi menjelaskan bahwa bunga bank dapat dikategorikan riba jika nilai bunganya melebihi tingkat inflasi yang terjadi. Ia juga menyatakan tidak setuju terhadap MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang mengeluarkan fatwa secara terbuka yang menyatakan bahwa bunga bank adalah haram. Menurutnya, bunga bank tidak bisa dinyatakan haram secara umum. Bunga bank tidak dapat disamakan dengan riba jika ia merupakan bagian dari modal dan jumlahnya sama dengan tingkat inflasi yang terjadi (karena sebenarnya nilai uang tersebut sama, tidak bertambah atau berkurang). Bunga bank hanya dapat dikategorikan riba jika nilai bunganya melebihi tingkat inflasi yang terjadi (dimana inflasi terjadi karena adanya uang kertas yang tidak dijamin oleh ketersediaan emas).