Mengutip tulisan berjudul “Studi tentang Sistem Penerapan Fatwa Bunga Bank di Indonesia” oleh Yuliantin yang dimuat pada Jurnal Al-Risalah Vol. 11 No. 2 Tahun 2011, bahwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) telah mengeluarkan fatwa bunga bank adalah riba yang dikukuhkan pada 6 Januari 2004 melalui keputusan Fatwa MUI No. 1 Tahun 2004 tentang Bunga (Interest/Fa’idah).
Fatwa tentang bunga bank adalah riba bukanlah wacana baru bagi umat Islam. Di Indonesia, MUI telah beberapa kali mencetuskan wacana tersebut, masing‐masing pada tahun 1990 yang diikuti dengan berdirinya bank syariah pertama yaitu Bank Muamalat Indonesia. Kemudian pada tahun 2000, Dewan Syariah Nasional mengeluarkan fatwa bahwa penerapan suku bunga bank bertentangan dengan syariah Islam.
Ketika membicarakan riba dalam konteks modern, memang bayangan sebagian besar orang pasti akan tertuju pada bunga bank/interest (fawaid al‐bunuk). Oleh karena itu, status hukum bunga bank senantiasa menjadi bahan perdebatan para ulama terutama pada saat bank Islam belum berdiri atau belum ada alternatif lain selain bank konvensional yang menerapkan sistem bunga. Sedangkan pandangan terhadap status hukum bunga tersebut (sebagaimana digambarkan oleh Abdullah Saeed), tidak terlepas dari adanya perbedaan interpretasi tentang riba baik yang terkandung dalam ayat al-Qur`an maupun as-Sunnah.
Fatwa haram bunga bank oleh MUI tersebut di atas temyata mendapat tanggapan yang beragam dari masyarakat, termasuk oleh ormas-ormas Islam yang ada di Indonesia yang justru mempunyai kecenderungan menolaknya. Misalnya Pengurus Besar Nadhatul Ulama (PBNU) dan Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah menilai bahwa fatwa MUI yang mengharamkan berbagai bentuk bunga (interest) seperti bunga bank dan asuransi adalah keputusan yang tergesa-gesa yang menunjukkan masih kontroversialnya hukum bunga bank tersebut.
Berkaitan dengan hal tersebut, Masdar F. Mas’udi, salah satu tokoh NU, menyatakan bahwa fatwa MUI bersifat pendapat hukum (legal opinion) yang tidak memaksa dan tidak mengikat. Bahkan MUI sendiri, menanggapi pro dan kontra yang mengiringi munculnya fatwa bunga bank itu, melalui Ketua Komisi Fatwa, KH. Ma’ruf Amin, meminta agar masyarakat tidak perlu resah sehubungan dengan dikeluarkannya fatwa MUI yang mengharamkan bunga bank karena fatwa tersebut bersifat fleksibel dan tidak mengikat sehingga masyarakat tidak harus segera menarik dananya dari bank-bank konvensional. Dengan demikian, walaupun secara tegas MUI menyatakan bahwa hukum bunga bank (interest) adalah haram namun masyarakat tetap diberikan pilihan untuk mengikuti atau tidak terhadap fatwa tersebut.
MUI dalam hal ini tampaknya beranggapan bahwa sesuai dengan kondisi dan konteks yang berkembang di masyatakat Indonesia sekarang, fatwa tentang keharaman bunga bank ini sudah saatnya untuk ditetapkan. Dengan telah berkembangnya sistem perbankan yang didasari atas prinsip-prinsip dan nilai-nilai syari’ah (terutama untuk wilayah yang sudah ada kantor atau jaringan Lembaga Keuangan Syari’ah), pada dasarnya sudah tidak ada lagi alasan bahwa bertransaksi di lembaga perbankan konvensional yang identik dengan sistem bunga merupakan suatu kondisi darurat. Namun untuk wilayah yang tidak ada kantor atau jaringan Lembaga Keuangan Syari’ah, menurut fatwa itu masih diperbolehkan berdasarkan prinsip dharurat/hajat. Dengan demikian, fatwa MUI tentang keharaman bunga itu sangat memperhatikan kaidah “Fatwa bersifat meringankan dan tidak memberatkan; memudahkan dan tidak mempersulit” dimana fatwa MUI tersebut telah memperhatikan faktor kondisi maupun kesiapan masyarakat sebagai khitab (penerima) fatwa tersebut.