Jika riba sudah disepakati oleh mayoritas ulama terkait status keharamannya maka bagaimana sebenarnya kedudukan bunga bank dalam Islam ? Apakah bunga bank sama dengan riba sehingga ada ulama yang mengharamkannya ?
Merujuk artikel “Riba dan Bunga Bank dalam Perspektif Islam” karya Achmad Saeful dan Sulastri (2021), di kalangan ahli hukum dan ekonomi Islam terdapat 2 (dua) pandangan yang berbeda dalam menyikapi soal bunga bank. Pandangan pertama menganggap bahwa bunga bank adalah bentuk lain dari riba sedangkan pandangan kedua menyatakan sebaliknya. Namun perlu digarisbawahi bahwa terlepas dari kontroversi itu, dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits sendiri tidak ditemukan kata-kata tentang “bunga bank” sehingga yang perlu dicari adalah kaidah-kaidah umum terkait praktek muamalah.
Diantara para ulama yang menyamakan bunga bank dengan riba adalah al-Maududi, Sayyid Qutb, dan lain-lain, termasuk Yusuf al-Qaradhawi yang menyatakan bahwa bagaimanapun, bunga bank adalah sesuatu yang haram karena ia adalah riba. Sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa riba yang dimaksud dalam Al-Qur’an berbeda dengan bunga bank. Para ahli hukum Islam yang mendukung dibolehkannya bunga bank adalah Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Mahmud Shaltut, Abdul Wahab Khallaf, Ibrahim Z Al-Badawi, dan lain-lain. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Afzalur Rahman yang menegaskan bahwa sistem ekonomi dapat disusun apabila bunga bank dapat dihapus namun keadaan ini tidak memungkinkan bagi konstruksi idealistik tersebut. Bisa dikatakan bahwa keberadaan bunga dalam kegiatan perbankan menjadi sesuatu yang dibutuhkan dalam kehidupan manusia. Orang di jaman ini tidak bisa lepas dari dunia perbankan.
Bagaimana Jika Riba atau Bunga Tidak Berlipat Ganda ?
Abdullah Yusuf Ali dan Muhammad Asad menafsirkan riba sebagai “usury” yang berarti suku bunga yang lebih dari biasanya atau suku bunga tinggi. Jika merujuk pada pendapat ini maka bunga bank tidak termasuk riba yang diharamkan. Pendapat senada dikemukakan oleh Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Rdha, Abd al-Wahab Khallaf, dan Mahmud Shaltut. Mereka berpendapat bahwa riba yang diharamkan adalah riba yang berlipat ganda.
Sementara itu, Wahbah Az-Zuhaili dalam bukunya “Fiqih Islam wa Adilatuhu” menyatakan bahwa larangan dalam QS Ali Imran ayat 130, “janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda” sebenarnya bukan membatasi namun maksud berlipat ganda di sini adalah sebagai penjelasan keadaan dan suasana yang sebenarnya pada bangsa Arab manakala salah seorang dari mereka meminjamkan uang kepada orang lain dalam tempo tertentu. Lalu ketika tempo atau waktu pelunasan atau pembayaran tiba, orang yang diberi pinjaman tidak mampu mengembalikan utangnya, maka si pemberi utang akan berkata, “Kamu harus melunasi atau membayar tambahan.” Di sini, peminjam memberikan penangguhan tempo pembayaran namun dengan kompensasi tambahan uang. Di jaman ini, penetapan bunga sekian persen oleh bank kepada debitur lalu ketika debitur itu tidak mampu membayar utangnya itu maka pihak bank akan menambahkan bunga atas utangnya. Inilah yang dinamakan tambahan yang berlipat ganda.
Menurut Quraish Shihab, kalimat “ad’afan mudha’afatan” pada QS. Ali Imran ayat 130 bukan merupakan syarat sehingga walaupun tidak berlipat ganda maka bunga bank tetap tidak halal. Penafsiran ini diperkuat dengan ayat-ayat riba lainnya seperti QS Al-Baqarah ayat 275-276 dan 278-279.
Penjelasan yang lebih mendalam diberikan oleh Ust. Dwi Condro Triono, Ph.D seperti yang telah dituliskan di https://dwicondrotriono.com/bunga-tidak-berlipat-ganda-itu-halal/ yaitu sebagai berikut :
Mereka yang menyatakan riba berlipat ganda saja yang dilarang mendasarkan keumuman dari QS. Al-Baqarah ayat 275 dimana keumuman dari riba tersebut kemudian dikecualikan atau dikhususkan hanya untuk riba yang berlipat ganda saja berdasarkan QS. Ali Imran ayat 130. Sehingga dapat disimpulkan, hanya riba yang berlipat ganda saja yang diharamkan sedangkan riba yang kecil prosentasenya tidak haram.
Pendapat ini tidak dapaat diterima karena QS. Ali Imran ayat 130 tidak dapat dijadikan sebagai dalil takhshis dari keumuman riba sebab dalam ilmu ushul fiqih, dalil takhsis haruslah datang belakangan dan dalil umum datang lebih dulu, sedangkan faktanya, QS Ali Imran ayat 130 turun lebih dahulu dari QS Al Baqarah ayat 275.
Kedua, mereka yang berpendapat bunga bank yang diharamkan hanyalah bunga yang berlipat ganda (besar) saja menggunakan istidlal yang berbeda dengan pendapat di atas. Pendapat ini langsung didasarkan pada QS. Ali Imran ayat 130 sebagaimana di atas yaitu, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba yang berlipat ganda.”
Dari ayat di atas, mereka kemudian langsung mengambil mafhum mukhalafah-nya (pemahaman yang sebaliknya) sehingga dapat difahami, “janganlah kamu memakan riba yang berlipat ganda”, pemahaman yang sebaliknya adalah bahwa riba yang tidak berlipat ganda, atau riba yang kecil hukumnya boleh diambil.
Pendapat itu tidak dapat dibenarkan karena mengambil mafhum mukhalafah (pemahaman sebaliknya) yang tidak sah menurut ilmu ushul fiqih. Dalam ilmu ushul fiqih, mafhum mukhalafah tidak sah jika bertentangan dengan nash. Contoh, ada ayat yang melarang orang tua membunuh anaknya karena takut miksin yaitu dalam QS. Al-Isra ayat 31, “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan.” Jika ayat di atas langsung diambil mafhum mukhalafah-nya maka maknanya boleh membunuh anaknya jika tidak takut miskin. Misalnya, jika orang tuanya sedang jengkel, karena anaknya nangis terus maka orang tua boleh membunuh anaknya. Apakah pengambilan hukum ini dapat diterima ?.
Dengan demikian, mafhum mukhalafah untuk riba berlipat ganda tidak boleh diamalkan karena bertentangan dengan keumuman larangan riba sesuai QS. Al Baqarah ayat 275. Pada ayat ini, ketika Allah menyebukan “ad’afan muda’afah” hanyalah sekedar menerangkan kejadian khusus bagi orang jahiliyah. Orang jahiliyah yang menghutangkan bila telah sampai waktu pembayaran berkata kepada yang berutang, “Bayarlah hutangmu itu atau kalau belum ada pembayarannya maka hutangmu menjadi bertambah”, demikian seterusnya sampai hutang itu menjadi berlipat ganda.
Menurut Ust. Condro, fakta juga menunjukkan bahwa riba pada masa jahiliyah dan bunga bank sesungguhnya sama. Mengapa ? Bunga utang akan terus bertambah seiring bertambahnya waktu. Jika orang berhutang Rp 100.000,00 dengan bunga tetap sekitar 10% per tahun, maka dengan perhitungan yang sederhana harus ada tambahan Rp 10.000,00 dalam setiap tahun. Artinya, hutang menjadi berlipat ganda setelah 10 tahun. Terlebih pada bunga majemuk, yang memungkinkan suatu saat jumlah seluruh kewajiban yang harus dibayarkan menjadi berlipat-lipat.