Jika ada orang yang menyangka bahwa dinar dan dirham adalah mata uang ciri khas umat Islam, maka pengetahuan orang itu perlu di-upgrade karena hanya mengandung persangkaan yang tidak benar. Apalagi bagi orang-orang yang hanya membenci Islam namun tanpa dibekali ilmu yang cukup.
Mereka yang mengatakan bahwa dinar dan dirham merupakan produk umat Islam perlu belajar banyak sejarah terciptanya dinar dan dirham. Dan jika mereka sudah membaca sejarah dengan benar, dipastikan mereka akan kaget setengah mati bahkan bungkam seribu bahasa.
Salah satu fakta penting yang diremehkan orang adalah bahwa kata “dinar” ternyata bukan kosa kata bahasa Arab namun dari bahasa Romawi “denarius” yaitu nama untuk emas cetakan. Sedangkan “dirham” juga bukan berasal dari bahasa Arab namun dari bahasa Persia “drahms” yaitu nama untuk perak cetakan yang kemudian disebut sebagai “drachma” oleh orang-orang Yunani.
Orang-orang Arab dulunya dikenal sebagai bangsa pedagang yang banyak melakukan transaksi perdagangan dengan bangsa-bangsa lain seperti Romawi dan Persia dimana bangsa Romawi membawa uang dinar (uang emas) dan bangsa Persia membawa uang dirham (uang perak). Para pedagang Arab ketika pulang dari Syam (Syiria) membawa dinar emas Romawi dan dari Irak membawa dirham perak Persia. Sehingga pada saat itu sudah banyak mata uang asing yang masuk ke negeri Hijaz.
Ketika Islam datang, kedua mata uang tersebut tetap dipakai dalam kegiatan muamalah maupun ibadah (seperti perhitungan zakat). Rasulullah SAW menetapkan apa yang telah menjadi tradisi penduduk Mekkah yaitu penggunaan dinar dan dirham sebagai alat transaksi. Dan di sepanjang kehidupannya, Nabi SAW tidak pernah membuat perubahan apapun terkait mata uang karena kesibukannya memperkuat sendi-sendi agama Islam di jazirah Arab. Selanjutnya di masa khalifah Abu Bakar juga tidak ada perubahan apapun terhadap mata uang. Sedangkan di masa khalifah Umar bin Khattab (sekitar tahun 641-642 M), beliau mencetak uang dirham perak baru berdasarkan pola dirham perak Persia dimana berat, gambar, dan tulisan bahlawi (huruf Persia) tetap ada namun hanya ditambah lafadz berhuruf Arab gaya kufi “bismillah” dan “bismillahi rabbi” yang terletak pada tepi lingkaran.
Pada masa Utsman bin Affan, cetakan dirham masih seperti pada model dirham-nya Umar bin Khattab namun menambahkan salah satu kalimat “bismillah, barakallah, bismillahi rabbi, Allah, dan Muhammad” yang ditulis dengan gaya kufi. Begitu juga saat pemerintahan Islam dipegang oleh Ali bin Abi Thalib.
Selanjutnya, masa kepemimpinan Islam pun beralih dari Khulafaurrasyidin kepada kekhalifahan yang silih berganti memegang tampuk kekuasaan, mulai dari Bani Umayah (661-750 M), Bani Abbasiyah (750-1258 M), Dinasti Mamluk (1250-1517 M), dan Dinasti Utsmaniyah (berakhir 1924 M). Sepanjang sejarah kekhalifahan itu, dinar dan dirham tetap menggunakan standard Umar bin Khattab meskipun silih berganti corak. Selama masa Muawiyah, dirham-dirham terdahulu masih dipakai termasuk yang bergambar Croeses (Raja Persia).
Pada masa Abdul Malik bin Marwan dari Bani Umayah (685-705 M), dicetaklah koin dinar dan dirham yang bercirikan “Islam” menggantikan dinar dan dirham model Romawi dan Persia dimana simbol-simbol Kristiani dan Zoroastrian dihilangkan dan diganti dengan simbol Islam dan dengan teks Arab. Abdul Malik bin Marwan melakukan perubahan mendasar dengan mengubah figur kaisar menjadi figur khalifah dan pencetakan kata “bismillah” dalam aksara Arab. Beberapa tahun kemudian, Abdul Malik membuat kembali mata uang melalui desain yang lebih islami dan tidak ada lagi gambar figur manusia dalam mata uang logamnya.
Selanjutnya, pada masa Bani Abbasiyah di bawah kepemimpinan Abu Al-Abbas Abdullah bin Muhammad, corak koin dinar diganti dari “Allah Ahad, Allah Al-Samad, lam yalid wa lam yulad” menjadi “Muhammad Rasulullah” pada sisi belakang koin. Sedangkan pada masa Abu Jafar Al-Mansur, model koin baru diterbitkan di Ray (Teheran) dan provinsi-provinsi lain. Pada koin-koin tersebut tercantum nama dan gelar putra mahkota.
Bani Abbasiyah mulai mengalami kemunduran pada tahun 945 M dimana wilayah kekhalifahannya terpecah-pecah. Tiap wilayah dikuasai oleh dinasti tertentu dan mereka menerbitkan dinar emas masing-masing. Meskipun koinnya diterbitkan secara lokal namun semuanya tetap menggunakan nama khalifah Abbasiyah.
Masa berikutnya adalah masa Dinasti Mamluk di Mesir dimana sejarah mencatat terjadinya peristiwa kejatuhan Dinasti Mamluk karena tindakan pemerintah yang melakukan perubahan nilai mata uang dengan menerbitkan begitu banyak fulus (uang tembaga).
Dinar emas mulai ditinggalkan pada masa Dinasti Utsmaniyah dimana pemerintah membuat mata uang baru bernama Gaima dalam bentuk kertas-kertas banknote sebagai ganti imbalan saldo emas. Hanya saja nilainya terus merosot sehingga orang-orang tidak mempercayainya.
Saat Perang Dunia I berkecamuk di tahun 1914, Turki mengumumkan pemberlakuan wajib uang kertas dan membatalkan transaksi dengan emas dan perak. Sistem ini diberlakukan di negara-negara Arab di bawah kekuasaan Utsmaniyah, sampai sekutu membagi-bagi wilayah Arab. Sejak tahun 1914 itulah, uang kertas di seluruh dunia bersifat wajib dan tidak terikat dengan penopang barang tambang tertentu.
Penyebutan Dinar dan Dirham dalam Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an sendiri terdapat kata dinar dan dirham, diantaranya QS Ali Imran ayat 75, “Diantara ahli kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu, dan diantara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya padamu kecuali jika kamu selalu menagihnya…” Lalu dalam QS Yusuf ayat 20, “Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah yaitu beberapa dirham saja dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf.”
Peristiwa lain yang dikaitkan dengan uang logam perak (dengan sebutan wariq) adalah kisah Ashabul Kahfi sebagaimana diterangkan dalam QS Al-Kahfi ayat 19, “Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: Sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)." Mereka menjawab: "Kita berada (disini) sehari atau setengah hari". Berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun.”
Mengapa Emas Cocok Dipakai sebagai Mata Uang?
Dalam sejarah kehidupan manusia, dari sejumlah bentuk atau jenis mata uang, emaslah yang paling banyak memiliki keunggulan dibanding yang lainnya, diantaranya : (1) emas lebih tahan lama dalam berbagai kondisi. Emas tidak mudah teroksidasi sehingga anti karat. Meski emas tenggelam dalam lautan bergaram, ia tetap dapat bertahan dalm bentuk aslinya. Tidak heran jika emas dapat dipakai sebagai sarana penyimpan kekayaan (store of value); (2) emas merupakan jenis logam yang dapat dibagi atau dipecah ke ukuran terkecil dan dapat dilebur kembali seperti semula sehingga ia dapat menjadi alat tukar yang dapat diubah menjadi sesuatu yang berguna kapan saja dengan tetap terjaga nilainya; (3) emas merupakan komoditas bernilai tinggi. Jika dibandingkan, nilai 1 ounce emas setara dengan ½ ton lempeng besi; (4) emas menjadi komoditas yang dapat diterima secara luas. Bandingkan misalnya dengan USD. Meski telah menjadi mata uang dunia namun tetap saja kalah pamor dengan emas; (5) emas bersifat langka. Hal ini berbeda dengan uang kertas yang dapat dengan mudah diciptakan atau dicetak dengan mesin cetak.
Taqyuddin An-Nabhani memberikan beberapa alasan mengapa mata uang yang baik menurut Islam adalah menggunakan emas dan perak yaitu : (1) ketika Islam melarang praktek penimbunan harta, Islam hanya membuat larangan tersebut untuk emas dan perak, padahal harta itu meliputi seluruh barang yang biasa dijadikan kekayaan; (2) Islam telah mengatur emas dan perak dengan undang-undang baku dan tidak berubah-ubah dimana Islam mewajibkan ukuran tersebut dengan timbangan tertentu berupa emas dan perak; (3) Rasul SAW telah menetapkan emas dan perak sebagai uang dan beliau menetapkan hanya emas dan perak yang menjadi sandaran mata uang; (4) ketika Allah SWT mewajibkan zakat uang, Allah telah mewajibkan nishab tersebut dengan nishab emas dan perak; (5) undang-undang tentang pertukaran mata uang yang terjadi dalam transaksi uang hanya dilakukan pada emas dan perak.