Sebagaimana sudah dituliskan pada artikel-artikel sebelumnya bahwa apabila terjadi pertukaran barang yang di dalamnya terdapat satu (atau dua-duanya) barang ribawi yang sejenis dan sama ‘illat-nya maka salah satu syarat yang harus terpenuhi dalam pertukaran itu adalah “yadan bi yadin.”
Dengan mengacu pada pendapat ulama yang menyatakan bahwa barang ribawi terbagi menjadi 2 (dua) kelompok yaitu : (1) uang/mata uang; dan (2) makanan, maka jika terjadi pertukaran emas dengan emas, perak dengan perak, emas dengan perak (antar kelompok uang), atau burr dengan burr, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, burr dengan kurma, sya’ir dengan garam (antar kelompok makanan), salah satu syarat yang harus terpenuhi adalah “yadan bi yadin.”
Berdasarkan literatur yang ada, secara umum “yadan bi yadin” diartikan sebagai “tunai atau kontan”, atau mungkin ada lagi yang menyebutnya sebagai “dari tangan ke tangan.” Referensi yang ada menunjukkan bahwa tidak banyak para peneliti ekonomi Islam yang membahas secara khusus atau mendetail tentang pengertian “yadan bi yadin” ini.
Akhirnya saya mencoba membuka-buka kitab Fiqih Islam Wa Adillatuhu karya Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili dimana pada pertukaran barang ribawi yang sejenis (seperti emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, dan seterusnya), selain harus terpenuhi aspek kesamaan takaran (mitslan bi mitslin) atau timbangan (sawa’an bi sawa’in), beliau mensyaratkan 2 (dua) hal lagi yaitu kontan dan serah terima. Sehingga dalam hal ini, Wahbah Az-Zuhaili menyatakan adanya 3 (tiga) syarat jual beli atau pertukaran barang ribawi sejenis yaitu : (1) Kesamaan takaran atau timbangan; (2) Kontan; dan (3) Serah terima. Atas hal ini maka “yadan bi yadin” itu tidak hanya diartikan sebagai kontan, namun juga terjadi serah terima.
“Kontan” disebut Wahbah Az-Zuhaili sebagai “tidak menangguhkan penyerahan salah satu barang dari majelis akad.” Dengan kata lain, kontan adalah “tidak menyebut waktu penyerahan ketika akad.” Sedangkan “Serah terima” adalah “saling menyerahterimakan kedua barang yang dipertukarkan dalam majelis akad sebelum kedua pihak berpisah.”
Guna mempertajam pengertian kontan, mungkin kita bisa mencari lawan katanya yaitu kredit atau cicilan yang berarti tidak tunai. Misal seorang pembeli membeli kurma dengan uang rupiah dimana kurma telah diserahkan seluruhnya oleh penjual kepada pembeli sedangkan pembeli melakukan pembayaran secara cicilan atau ditangguhkan di suatu waktu kemudian, maka transaksi tersebut dapat disebut sebagai “tidak kontan.” Dalam masyarakat umum sendiri, kata kontan atau tunai cenderung dipakai pada alat tukar berupa uang yang digunakan untuk membeli suatu barang. Jika uang itu diserahkan semuanya saat akad (tidak ada kekurangan pembayaran) maka disebut dilakukan secara kontan atau tunai.
Di sisi lain, “yadan bi yadin” menurut Wahbah Az-Zuhaili tidak hanya diartikan “kontan” namun juga “serah terima.” Pembahasan ini ditulis secara rinci dalam sub judul “Makna serah terima barang serta cara pelaksanaannya” dalam kitab Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Di sana dijelaskan arti serah terima barang menurut Hanafi adalah pelepasan barang. Artinya penjual melepaskan barang kepada pembeli dengan menghilangkan segala yang bisa menghalangi pembeli untuk mengambil dan menguasainya. Dengan demikian, penjual bertindak sebagai pemberi barang sedangkan pembeli adalah orang yang menerimanya. Begitu pula halnya dengan penyerahan uang oleh pembeli kepada penjual.
Penerimaan barang terjadi dengan cara-cara sebagai berikut : (1) At-Takhliyah (pelepasan), artinya pembeli bisa menguasai barang tanpa ada larangan (secara langsung) tanpa ada halangan (di depan penjual) dan pembeli diijinkan untuk mengambilnya oleh penjual. Dengan demikian, bila seseorang membeli gandum di rumah lalu penjual memberikan kunci rumah kepada pembeli itu seraya berkata, “Saya telah mengijinkan kamu untuk mengambilnya” maka cara ini sudah dianggap sebagai “menerima barang.” Namun jika penjual hanya menyerahkan kunci kepada pembeli dan tidak mengatakan apa-apa maka hal ini tidak dianggap sebagai “penyerahan.” (2) Al-Itlaaf (perusakan). Jika pembeli merusak barang yang masih ada dalam genggaman penjual maka dia telah dianggap menerima barang lalu dia harus membayar uangnya. Membuat cacat barang juga dapat dianggap seperti merusaknya seperti memotong tangan binatang, menyobek kepalanya, atau mengurangi bagian tubuhnya. (3) Menitipkan atau meminjamkan barang kepada pembeli. Jika penjual menitipkan barang kepada pembeli atau meminjamkannya maka pembeli dianggap telah menerima barang. Begitu juga jika pembeli menyuruh penjual untuk menyerahkan barang kepada orang asing maka pembeli itu dianggap telah menerima barang. (4) Menuntut ganti rugi kepada orang yang merusak barang. Jika orang lain merusak barang lalu pembeli menuntut ganti rugi kepada orang yang merusak barang dengan meminta jaminan maka pilihan itu dianggap sebagai bentuk penerimaan barang.
Dari sumber lain yang membahas tentang akad sharf bahwa agar transaksinya sah pada pertukaran barang ribawi, selain adanya kesepadanan (tama’tsul), juga harus tunai dan serah terima barang, yang kedua-duanya harus terpenuhi saat transaksi.
Selanjutnya, dari sumber tersebut diperoleh keterangan terkait syarat tunai, bahwa dalam transaksi sharf harus dihindarkan adanya tenggang waktu (penyerahan) kedua barang atau salah satunya. Misalnya pihak pertama mengatakan, “Saya ingin menukar dinar milik saya dengan 10 dirham tetapi saya akan memberikan dinar itu kepadamu setelah 1 jam.” Setelah itu pihak kedua berkata, “Baik, saya tukarkan kepadamu,” kemudian pihak pertama menjawab, “Saya terima.” Maka transaksi ini tidak sah karena tidak kontan atau tidak tunai.
Sementara itu, dalam referensi itu juga dikatakan bahwa serah terima barang saat transaksi disebut dengan istilah “taqabudh” dimana setiap pihak menyerahkan barang yang ada di tangannya kepada pihak lawan di tempat transaksi sebelum keduanya berpisah. Yang dimaksud di sini adalah serah terima dalam arti yang sebenarnya (taqabudh al-fi’li). Setiap pihak harus menyerahkan barang sampai pihak lawan benar-benar menerimanya. Jika ia menyerahkan tetapi pihak lawan belum benar-benar menerimanya sendiri maka transaksinya tidak sah.
Ada juga saya temukan dari suatu diskusi di Google Groups, seorang member bernama Miftah Khilmi Hidayatulloh, Lc. mengkoreksi arti “yadan bi yadin” yang seharusnya tidak cukup diartikan sebagai “secara tunai” karena terdapat penekanan makna yang hilang. Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitab Fath al-Bari mengartikan “yadan bi yadin” sebagai “saling meletakkan tangannya di dalam majlis dan dikatakan artinya ambilah dan berikanlah.” Pemaknaan ini dikuatkan dengan penjelasan (syarh) beliau terhadap sebuah hadits dari Malik ibn Aus, “Maka dia (Umar ibn al-Khathab berkata: Demi Allah SWT, janganlah engkau berpisah dengannya sampai engkau mengambil barang darinya. Rasulullah SAW bersabda: Emas dengan emas riba kecuali demikian dan demikian, jewawut dengan jewawut riba kecuali demikian dan demikian, gandum dengan gandum riba kecuali demikian dan demikian, kurma dengan kurma riba kecuali demikian dan demikian.”
Ibn Hajar memaknai kata “demikian dan demikian” sebagai berikut: “Lafal (demikian dan demikian) itu menunjukkan dipersyaratkannya saling mengambil di dalam majlis, dan inilah pendapat Abu Hanifah dan Syafi’i.” Pendapat ini dikuatkan oleh Musthafa al-Bigha saat memberikan ta’liq hadits berikut: Rasulullah SAW bersabda, “Kalau tangan dengan tangan tidak apa-apa, tetapi jika nasa (riba nasi’ah) maka tidak baik (dilarang)” HR. Bukhari 2060, Kitab al-Buyu, Bab al-Tijarah fi al-Burr). Musthafa al-Bigha mengartikan “yadan bi yadin” sebagai berikut: “Yadan bi yadin adalah dua orang yang berakad itu saling mengambil barang satu dengan yang lainnya dalam satu majlis.” Dengan demikian, pendapat ini hampir memiliki kesamaan dengan pendapat Wahbah Az-Zuhaili yang memberikan makna yang berbeda antara “kontan” dan “serah terima.”