Pembahasan jual beli emas yang sudah banyak saya tuliskan di artikel-artikel sebelumnya akhirnya memiliki relevansi dengan apa yang terjadi pada kasus yang sedang dialami oleh para nasabah Tamasia.
Sebagaimana berita yang viral di medos seperti Twitter, beredar surat pemberitahuan dari Tamasia yang hendak bertransformasi dari model sebelumnya yaitu jual beli emas digital menjadi penjual logam mulia/tamagold/emas fisik secara online dimana emas fisik tersebut akan dikirimkan langsung ke tangan pembeli setelah transaksi pembayaran dilakukan. Selanjutnya, Tamasia menekankan kepada nasabahnya yang masih memiliki saldo di akun aplikasi Tamasia agar segera melakukan proses jual emas maksimal sampai tanggal 15 Februari 2023. Sementara itu, harga jual kembali (buy back) atas emas nasabah kepada Tamasia cenderung lebih rendah dibanding harga pembelian saat dilakukan oleh nasabahnya dulu sehingga dalam hal ini nasabah bukannya menikmati hasil investasi positif namun malah merugi.
Munculnya permasalahan di atas dimana nasabah seolah “dipaksa” untuk menjual “emasnya” (di sini emas yang dimaksud adalah yang masih berupa digital dan disimpan dalam saldo tabungan pemakai aplikasi Tamasia) sebelum tanggal tertentu. Saya tidak akan membahas soal tendensi adanya harga jual kembali (buy back) yang rendah namun pada perjanjian yang disodorkan oleh pihak Tamasia kepada nasabahnya.
Apakah Sah Jual Beli secara Paksaan?
Disamping problem bahwa objek emas fisik tidak berada di tangan penjual, dalam kasus di atas terjadi pelanggaran rukun dan syarat jual beli itu sendiri dimana tidak terpenuhi kaidah ‘an taradhin minkum yaitu prinsip suka rela sebagai syarat dalam komponen rukun jual beli yang bernama shighat akad (ijab dan qabul).
Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya “Fiqih Islam Wa Adillatuhu” menyatakan bahwa transaksi baru dianggap ter-realisasi apabila terdapat pernyataan yang menunjukkan kerelaan dari kedua belah pihak. Ini dikenal oleh para ulama dengan istilah “shighatul ‘aqd.” Adapun cara yang dianggap boleh oleh agama menurut Hanafi adalah jual beli yang dapat terjadi dengan kata yang menunjukkan kerelaan untuk perpindahan kepemilikan harta sesuai tradisi masyarakat tertentu. Karena itu, ulama Hanafi berpendapat bahwa jual beli dapat terjadi dengan menggunakan kata lampau seperti “Saya telah membeli” dan “Saya telah menjual.” Begitu juga dengan kata yang menunjukkan masa sekarang seperti “Saya sedang membeli” atau “Saya sedang menjual.” Adapun jual beli dengan memakai kata perintah yang mengandung makna masa yang akan datang dianggap tidak sah menurut Hanafi seperti “Juallah kepadaku” atau “Belilah barang ini dariku” selama pembelinya belum mengatakan untuk kedua kali seperti pada contoh pertama dengan kata “Saya telah membelinya” dan contoh kedua dimana penjual berkata untuk kedua kalinya “Saya telah menjualnya.”
Madzhab Maliki, Hambali, dan Syafi’i berpendapat bahwa transaksi apa saja yang dinyatakan dengan menggunakan kata perintah bisa dianggap sah seperti pernyataan bi’nii (juallah barangmu kepadaku), atau ‘isytar minni’ (belilah dariku) lalu dijawab oleh pihak lain dengan pernyataan bi’tu (saya menjualnya kepadamu) atau isytaraitu (saya membelinya). Karena dasar transaksi adalah kerelaan sedangkan pernyataan ijab qabul yang keluar dari kedua pihak menunjukkan kerelaaan bila dilihat dari kebiasaan sehingga transaksi yang dilakukannya sah-sah saja seperti halnya jika ijab yang lebih dulu dinyatakan. Disamping itu, tujuannya telah tercapai baik yang memohon maupun memerintah statusnya pembeli atau penjual.