Tulisan ini masih memiliki keterkaitan dengan tulisan-tulisan sebelumnya yaitu tentang status hukum jual beli emas secara tidak tunai.
Dalam sebuah website layanan jual beli emas digital disebutkan bahwa akad yang dipakai adalah akad salam dimana perusahaan penyedia emas digital itu akan membeli emas kepada vendor sesuai dengan keinginan pelanggannya lalu menjual ke pelanggan itu dengan menampilkan harga pokok dan margin keuntungan yang disepakati kedua belah pihak.
Akad salam tersebut dikatakan mengacu pada Fatwa DSN-MUI No. 05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Salam dimana akad salam adalah transaksi atau akad jual beli dalam kondisi belum ada barang saat transaksi diberlangsungkan dan pembeli melakukan pembayaran di muka sedangkan penyerahan barang baru akan dilakukan di kemudian hari. Selanjutnya disebutkan bahwa berdasarkan fatwa DSN tersebut, jual beli emas secara tidak tunai diperbolehkan selama emas tidak dijadikan sebagai alat tukar (uang).
Akad Salam dalam Kitab “Fiqih Islam Wa Adillatuhu”
Wahbah Az-Zuhaili adalah ulama kelahiran Dair ‘Athiyah, Damaskus pada tahun 1932. Pada tahun 1956 beliau berhasil menyelesaikan pendidikan tinggi di Universitas Al-Azhar mulai dari tingkat sarjana sampai doktoral. Sejak tahun 1963 beliau mengajar di Universitas Damaskus pada Fakultas Syariah. Beliau meninggal dunia pada tahun 2015 di usia 83 tahun dimana salah satu karya besar beliau adalah sebuah buku yang berjudul Fiqih Islam Wa Adillatuhu.
Dalam bukunya, Wahbah Az-Zuhaili antara lain menerangkan akad salam dimana akad ini menjadi pengecualian atas kaidah umum rukun jual beli yang tidak memperbolehkan menjual sesuatu yang tidak diketahui. Sehingga akad salam ini merupakan suatu bentuk keringanan (rukhshah) bagi masyarakat guna memenuhi kebutuhan transaksi ekonomi sehari-hari.
Akad salam atau salaf adalah penjualan sesuatu yang akan datang dengan imbalan sesuatu yang sekarang dimana modal diberikan di awal sedangkan barang ditunda sampai tenggat waktu tertentu.
Sebagaimana dalam akad jual beli, pada akad salam juga telah ditentukan adanya rukun dan syarat. Adapun rukun salam adalah ijab (menawarkan) dan qabul (menerima). Dalam madzhab Hanafi, Maliki dan Hambali, yang dimaksud ijab adalah menggunakan lafal salam (memesan), salaf (memesan), dan bay’ (menjual). Adapun jika menggunakan lafal bay’ (menjual) maka terdapat 2 (dua) pendapat dalam madzhab Syafi’i. sebagian dari mereka menyatakan bahwa akad salam tidak sah dengan lafal bay’ karena lafal bay’ ini menandakan akadnya adalah akad jual beli yang tidak sama dengan akad salam. Sedangkan ulama lain berpendapat bahwa akad salam dengan lafal bay’ tetap sah karena akad salam merupakan salah satu bentuk dari jual beli juga dimana pada akad jual beli mengharuskan penyerahan barang pada saat majelis akad dilakukan.
Wahbah Az-Zuhaili juga menuliskan bahwa diluar madzhab Hanafi, yang dimaksud dengan rukun salam ada 3 (tiga) yaitu : (1) pihak yang melakukan akad salam (al-muslim dan al-muslam ilaih); (2) barang objek akad (ra’s maalis salam dan al-muslam fih); dan (3) shighat (ijab dan qabul). Nah, menariknya di sini adalah terkait dengan syarat jual beli yang terkait dengan barang yang dipesan (al-muslam fih) dimana para ulama Hanafiyah mensyaratkan 11 (sebelas) syarat dalam barang pesanan, salah satunya adalah bahwa dalam barang pesanan itu tidak terdapat salah satu sebab riba fadhl pada salah satu barang yang dipertukarkan yaitu ukuran yang sama dan berasal dari jenis yang sama. Jika terdapat salah satu sebab maka akad tersebut mengandung riba dimana keharaman riba nasi’ah tercapai dengan salah satu dari kedua sebab itu. Dengan kata lain, disyaratkan dalam akad salam tidak terdapat salah satu sebab riba fadhl yaitu takaran atau timbangan dan jenis yang sama. Jika ukuran yang sama tidak terpenuhi dalam akad salam ini yaitu dengan berbedanya modal dan barang yang dibeli seperti membeli gandum dengan uang, za’faran dengan dirham atau dinar, maka akad tersebut adalah sah karena tidak terdapat sebab riba nasi’ah. Adapun kesamaan jenis maka jelas tidak ada dimana cara mengukur harga (modal) adalah dengan mitsqal sedangkan za’faran diukur dengan rithl atau dacin. Adapun gandum adalah barang yang ditakar sedangkan uang adalah barang yang ditimbang.
Para ulama Malikiyah menyebutkan syarat ini dengan kalimat “hendaknya modal dan barang berbeda jenisnya yang dapat mengakibatkan riba nasi’ah.” Oleh karena itu, tidak boleh melakukan akad salam untuk membeli emas dengan perak atau sebaliknya karena itu adalah riba. Begitu juga tidak boleh membeli makanan dengan makanan sejenis karena itu adalah riba. Namun boleh membeli hewan, barang, dan makanan, dengan emas atau perak. Begitu juga dibolehkan membeli barang dengan barang lain.
Sekarang silakan pembaca menyimpulkan sendiri bagaimana status hukum akad salam pada praktek jual beli emas secara digital atau online.
Referensi :
“Fiqih Islam Wa Adillatuhu” Jilid 5 karya Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili. Gema Insani & DarulFikir. 2011.