Dalam beberapa kali kesempatan saat berjumpa ibu di kampung, terjadi beberapa kali pula peristiwa yang kelihatannya sepele namun jika dikaji lebih mendalam ternyata menyimpan implikasi serius dalam kacamata ajaran Islam. Peristiwa itu adalah saat saling terjadi tukar menukar uang.
Suatu ketika, ibu saya mengundang tukang untuk memperbaiki genteng yang bocor. Lalu karena upah yang akan diberikan tidak ada uang yang pas maka beliau meminta saya menyediakan uang receh untuk ditukar dengan uang besar yang beliau punya. Misal biaya perbaikan tersebut membutuhkan upah pekerja sebesar Rp 70 ribu namun uang yang ada di dompet ibu adalah Rp 50 ribu 2 lembar, maka beliau ingin menukar Rp 50 ribu satunya lagi dengan uang receh. Namun saya saat itu hanya punya uang lembaran Rp 20 ribu 3 lembar sehingga yang Rp 50 ribu ditukar dengan Rp 20 ribu x 3 lembar = Rp 60 ribu. Dalam hal ini ada kelebihan yang diterima ibu sebesar Rp 60 ribu – Rp 50 ribu = Rp 10 ribu. Sementara jika saya menyerahkan Rp 20 ribu x 2 lembar, ibu mengalami kekurangan penerimaan sebesar Rp 50 ribu – Rp 40 ribu = Rp 10 ribu.
Meskipun saya menyatakan ikhlas dan tidak mempermasalahkan adanya kekurangan uang yang saya terima atas transaksi tukar-menukar tersebut namun ibu menolak dan kemudian mencarikan sisa kelebihan yang ia terima sebesar Rp 10 ribu untuk kemudian diserahkan atau dikembalikan lagi kepada saya.
Setelah berlalu cukup lama dari kejadian itu, saya baru berfikir bahwa penolakan ibu untuk menerima kelebihan penukaran uang yang diterima dari saya mungkin didasarkan pada alasan bahwa transaksi tukar-menukar tersebut mengandung unsur riba. Dan jenis riba yang terjadi saat itu adalah riba fadhl yaitu pertukaran antar barang ribawi yang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda. Dalam sebuah hadits disebutkan, dari Ubadah bin Shamit, Rasulullah SAW bersabda, “Emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya'ir dengan sya'ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus sama takaran atau timbangannya, dan dibayar tunai atau kontan. Apabila jenis yang diperjualbelikan berbeda maka jual-lah sesuai dengan kehendakmu (boleh yang satu lebih banyak dari yang lain) asalkan dilakukan secara tunai” (HR. Muslim).
Dari kandungan hadits di atas dapat ditarik makna bahwa apabila jual beli atau pertukaran barang ribawi dilakukan antar sesama komoditas yang sama, misal emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya'ir dengan sya'ir, kurma dengan kurma, atau garam dengan garam, maka transaksi tersebut harus memenuhi setidaknya 2 (dua) syarat yaitu : (1) transaksi itu harus dilakukan dengan takaran atau timbangan yang sama (mitslan bi mitslin atau sawa'an bi sawa'in) walaupun terdapat mutu atau kualitas barang yang berbeda; dan (2) transaksi itu harus dilakukan secara kontan atau tunai (yadan bi yadin), artinya penyerahan barang yang dibarter harus dilakukan pada saat transaksi terjadi dan tidak boleh dilakukan secara penundaan waktu misal setelah kedua belah pihak yang berakad telah beranjak pergi atau berpisah.
Seseorang yang memiliki 10 gram perhiasan emas lama senilai 24 karat dan ingin menukarkan dengan perhiasan emas baru 21 karat maka ia juga harus menukarnya dengan 10 gram. Bila ia menukar 10 gram emas 24 karat dengan 11 gram atau 9 gram emas 21 karat maka ia telah jatuh dalam perkara riba fadhl. Artinya, meskipun kualitasnya berbeda (yang satu 24 karat dan yang satunya lagi 21 karat) namun karena jenisnya sama (yaitu sama-sama emas) maka tidak boleh ada ada kelebihan saat transaksi. Jika dilebihkan maka akan terjadi riba fadhl. Disamping itu, penyerahan barang emas tadi harus dilakukan pada saat itu juga dan tidak boleh ada penundaan waktu.
Contoh lain, jika kita memiliki kurma berkualitas bagus sebanyak 5 kg lalu ingin dibarter dengan kurma lain berkualitas jelek maka harus dilakukan dengan kuantitas yang sama yaitu 5 kg dan tidak boleh ada penundaan waktu.
Jika ‘illatnya sama namun beda jenis dibolehkan adanya perbedaan takaran namun tidak boleh dilakukan secara tempo atau non tunai. Misal 1 kg emas ditukar dengan 10 kg perak maka hal itu dibolehkan namun harus dilakukan secara tunai. Dan jika ‘illat dan jenisnya berbeda, misal emas dengan gandum, perak dengan kurma, dan seterusnya maka diperbolehkan adanya tambahan maupun penangguhan.
Perbedaan Pendapat di Kalangan Imam Madhzab tentang ‘Illat Riba Fadhl
Ternyata mempelajari konsep dari riba fadhl tidaklah mudah. Saya harus membaca berkali-kali sejumlah referensi yang ada untuk mencoba mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang apa itu riba fadhl. Salah satunya dimulai dari upaya untuk mempelajari apa itu ‘illat dan bagaimana aplikasinya dalam menterjemahkan hadits dari Ubadah bin Shamit di atas.
Salah satu sumber hukum dalam Islam adalah qiyas setelah al-Qur’an, al-hadits, dan ijma dimana qiyas ini masuk kategori sumber hukum yang boleh dikatakan spesifik karena merupakan hasil ijtihad atau pemikiran manusia. Secara terminologi, qiyas adalah mempersamakan suatu kasus yang tidak ada nash hukumnya dengan suatu kasus yang ada nash hukumnya.
Terdapat 4 (empat) rukun qiyas yaitu : (1) al-ashl (pokok) yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nash-nya yang dijadikan sebagai tempat menganalogikan; (2) al-far’u (cabang) yaitu peristiwa yang tidak ada nash-nya yang akan dipersamakan hukumnya dengan ashl; (3) hukum ashl yaitu hukum syara’ yang telah ditentukan oleh nash; dan (4) ‘illat yaitu sifat yang terdapat pada asl sebagai dasar menetapkan hukum pada asl dan untuk mengetahui hukum pada cabang yang akan dicarikan hukumnya.
Syarat utama dalam pendekatan analogi atau qiyas adalah adanya persamaan ‘illat hukum yaitu mencari persamaan diantara dua peristiwa dengan menggunakan cara deduksi yaitu menciptakan suatu garis hukum baru dari garis hukum lama karena garis hukum baru itu ada persamaan ‘illat dengan garis hukum lama. Contohnya : mengkonsumsi narkotika dan minum khamr terdapat persamaan ‘illat yaitu sama-sama memabukkan sehingga berdasarkan persamaan ‘illat tadi maka hukum mengkonsumsi narkotika sama dengan minum khamr yaitu haram karena sama-sama memabukkan atau menghilangkan akal.
Ulama madzhab Zhahiri yaitu madzhab yang mengambil arti dzahir dan tidak mau menggunakan ijtihad menyatakan bahwa riba itu tidak ada ‘illat-nya. Hal ini sejalan dengan prinsip yang mereka pegang yaitu menolak mencari ‘illat suatu hukum yang ditetapkan Allah SWT dan Rasul-Nya. Oleh karena itu apabila Rasulullah SAW telah menyatakan riba pada 6 (enam) jenis barang yang disebutkan dalam hadits dari Ubadah bin Shamit maka seorang mujtahid cukup menyatakan riba pada 6 (enam) jenis itu tanpa mencari apa ‘illat keharamannya. Dengan demikian tidak ada riba pada selain dari 6 (enam) jenis komoditas tersebut.
Ulama madzhab Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa ‘illat keharaman riba fadhl pada emas dan perak adalah karena keduanya dijadikan sebagai patokan harga dan hanya benda-benda itu yang bisa disamakan dengan uang. Dengan demikian, apapun bentuk emas dan perak (baik batangan maupun sudah dibentuk menjadi cincin atau kalung), apabila sejenis, tidak boleh diperjualbelikan dengan cara menghargai yang satu lebih tinggi dibanding yang lain. Misal, apabila emas batangan dijual dengan emas yang telah dibentuk menjadi cincin atau kalung maka tidak boleh dilebihkan harga yang satu atas lainnya. 5 gram cincin emas apabila dijual dengan emas batangan maka beratnya juga harus 5 gram. Jika dilebihkan harga salah satu diantaranya maka kelebihan itu masuk riba fadhl.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa ‘illat keharaman menjual emas dengan emas dan perak dengan perak secara tidak tunai adalah bahwa keduanya adalah benda yang ditimbang disamping kesamaan jenis.
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin dalam Syahrul Mumthi’ menyatakan bahwa berlakunya riba pada emas dan perak terjadi baik karena keduanya digunakan sebagai alat jual beli maupun tidak. Jadi apabila emas berupa perhiasan kalung ingin ditukar dengan sesama kalung emas harus dilakukan secara tunai dan dalam kuantitas yang sama meskipun kalung bukan merupakan alat jual beli. Sedangkan 4 (empat) komoditas riba lainnya karena merupakan bahan makanan yang ditakar atau ditimbang.
Bagaimana dengan pertukaran uang kertas (bukan emas atau perak)? Dalam hal ini, para ulama menggunakan hukum qiyas dimana ‘illat emas dan perak adalah pada harga sehingga setiap sesuatu yang dijadikan alat tukar-menukar (misal uang kertas di jaman sekarang) dapat dimasukkan dalam kategori barang ribawi sesuai hadits di atas. Dengan demikian, diharamkan menukar 1000 rupiah uang kertas dengan 900 rupiah uang logam karena uangnya satu jenis dan berasal dari negara pemakai yang sama yaitu Indonesia.
Apa Hikmah Dilarangnya Riba Fadhl?
Merujuk tulisan berjudul “Fiqh Riba; Kajian ‘‘illat Hukum (Kausa Legal) Riba” karya Rusdan (2015), hikmah diharamkannya riba fadhl tidak diketahui oleh sebagian besar orang karena secara dzahir, jual beli semacam ini tidak mengandung manipulasi. Suatu hal yang cukup logis jika barang yang jelek tidak sama dengan yang bagus bukan?. Jika 1 kg kurma bagus ditukar dengan 2 kg kurma jelek maka secara logika hal ini masuk akal. Lalu dimanakah letak hikmah pengharaman riba fadhl ini? Hikmah yang paling jelas dari pengharaman riba fadhl ini adalah sebagai upaya untuk menutup jalan menuju riba nasi’ah. Orang yang menjual suatu barang sejenis secara langsung dengan kelebihan pada salah satu yang ditukar akan mendorong suatu saat akan menjual dengan pembayaran tertunda beserta bunganya.