Agar pembahasan tentang ‘illat hukum riba ini lebih mendalam dan tuntas, saya akan melengkapi artikel-artikel sebelumnya dimana kali ini akan saya bahas perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai ‘illat hukum riba pada kategori emas dan perak.
Mari kita baca kembali hadits dari Ubadah bin Shamit, Rasulullah SAW bersabda, “Emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya'ir dengan sya'ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus sama takaran atau timbangannya, dan dibayar tunai atau kontan. Apabila jenis yang diperjualbelikan berbeda maka jual-lah sesuai dengan kehendakmu (boleh yang satu lebih banyak dari yang lain) asalkan dilakukan secara tunai” (HR. Muslim).
Dari bunyi hadits di atas, kita dapat melihat bahwa terdapat 2 (dua) kelompok barang ribawi yaitu : (1) uang/mata uang; (2) makanan. Kali ini kita hanya akan fokus membahas pada kategori pertama yaitu uang/mata uang.
Madzhab Dzahiri
Madzhab ini memiliki pendapat bahwa jika Rasulullah SAW hanya menyatakan secara eksplisit atas 6 (enam) barang ribawi maka cukuplah untuk menyatakan bahwa ribawi itu hanya ada pada 6 (enam) barang itu tanpa perlu ditambah-tambah lagi dengan barang lain dengan mencari ‘illat hukumnya. Maka menurut madzhab ini, tidak ada riba diluar atau selain dari 6 (enam) jenis komoditas yang disebutkan dalam hadits Ubadah bin Shamit di atas.
Pendapat ini menyelisihi pendapat jumhur ulama dimana diluar madzhab ini, para ulama menyatakan bahwa larangan riba tidak hanya berlaku pada 6 (enam) jenis barang tersebut di atas.
Madzhab Hanafi
Menurut ulama madzhab Hanafi, riba fadhl hanya berlaku dalam “timbangan (al-wazn)” atau “takaran (al-kail)” terhadap benda yang sejenis. Jadi di sini mereka tidak melihat unsur harga atau alat tukar pada jenis emas dan perak atau dengan kata lain, 6 (enam) jenis barang ribawi itu memiliki ‘illat yang sama yaitu benda-benda yang dapat ditimbang atau ditakar. Emas dan perak tentu saja dapat ditimbang seperti 4 (empat) jenis barang ribawi lainnya. Dengan demikian, emas ditukar emas harus sama beratnya (berdasarkan timbangan) dan dibayarkan secara kontan. Perak ditukar dengan perak juga demikian, harus sama berat dan dibayar tunai. Berlian ditukar berlian harus sama beratnya dan dibayarkan secara tunai.
Bagaimana jika emas batangan ditukar dengan emas perhiasan dimana bentuknya berbeda? Karena madzhab Hanafi tidak menyinggung soal perubahan bentuk ini maka tetap harus mengikuti ‘illat-nya yaitu sama-sama benda yang dapat ditimbang atau ditakar. Jadi, menukar emas batangan 100 gram harus sama dengan 100 gram emas perhiasan dan dilaksanakan secara kontan.
Madzhab Syafi’i
Madzhab ini berpendapat bahwa ‘illat keharaman riba fadhl pada emas dan perak adalah karena keduanya dijadikan sebagai harga atau menjadi harga sesuatu. Begitu juga dengan uang yang kita pakai sekarang, meskipun bukan terbuat dari emas, ia menjadi harga sesuatu sehingga berlaku hukum ribawi. Nilai uang adalah berdasarkan kesepakatan dan tidak lagi terbatas pada nilai intrinsik yang terkandung dalam logam yang dipakai untuk membuat uang tersebut. Dengan demikian, diharamkan menukar 1000 rupiah uang kertas dengan 900 rupiah uang logam karena uangnya satu jenis sementara terdapat kelebihan nilai satu di atas lainnya. Pertukaran uang itu akan sah apabila nilainya sama dan dilakukan secara kontan.
Madzhab ini juga tidak membedakan bentuk emas dan perak apakah dalam bentuk batangan atau sudah menjadi cincin atau kalung. Apabila pertukarannya sejenis, tidak boleh diperjualbelikan dengan cara menghargai yang satu lebih tinggi dibanding yang lain. 10 (sepuluh) gram kalung emas apabila dijual dengan emas batangan maka tidak boleh dilebihkan harganya yang satu atas yang lain. 5 (lima) gram cincin emas harus dijual dengan nilai yang sama dengan emas batangan. Jika dilebihkan harga salah satu diantaranya maka kelebihan itu masuk riba fadhl. Dan apabila kelebihan itu dikaitkan dengan pembayaran tertunda maka akan menjadi riba nasi’ah.
Madhzab Maliki
‘Illat hukum riba pada emas dan perak menurut madzhab ini sama dengan pendapat madzhab Syafi’i yaitu karena keduanya merupakan harga atau nilai dari sesuatu. Hal ini dikarenakan kedua jenis logam mulia itu memiliki nilai intrinsik sehingga dapat dijadikan standard harga bagi benda-benda lainnya. Emas dan perak, baik berupa batangan atau perhiasan, apabila sejenis maka tidak diperbolehkan dijualbelikan atau dipertukarkan dengan cara menghargai yang satu lebih tinggi dibanding yang lain.
Madzhab Hambali
Dari perspektif madzhab Hambali terdapat 3 (tiga) riwayat terkait ‘illat hukum riba namun yang paling mashyur adalah riwayat pertama yang intinya sama dengan pendapat ulama madzhab Hanafi yaitu barang yang dapat ditimbang atau ditakar. Oleh karena itu emas dengan emas, perak dengan perak, atau benda-benda lain yang sejenis, selama dapat ditimbang atau ditakar maka tidak boleh diperjualbelikan atau dipertukarkan kecuali beratnya sama saat ditimbang dan pembayaran dilakukan secara tunai.
Ibnu Taimiyah
Beliau menyatakan bahwa ‘illat pada emas dan perak adalah sebagai harga (alat tukar menukar) namun hal ini tidak berlaku sepanjang masa. Pada masa Rasulullah SAW, alat tukar menukar adalah dinar dan dirham yang terbuat dari emas dan perak, namun demikian pada masa hidupnya beliau juga muncul alat tukar menukar lain yaitu fulus yang terbuat dari tembaga.
Pada masa kini, Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa emas sudah tidak lagi dijadikan sebagai alat tukar. Oleh karena itu boleh dilakukan jual beli benda yang dicetak dari emas dan perak dengan jenisnya tanpa syarat harus sama kadarnya (tamatsul) dimana kelebihannya dijadikan sebagai kompensasi atas jasa pembuatan baik jual beli itu dilakukan dengan pembayaran tunai maupun tangguh selama perhiasan itu tidak dimaksudkan sebagai harga atau uang.
Ibnu Qayyim
Perhiasan berupa emas dan perak telah mengubah statusnya dari harga atau uang (tsaman) menjadi jenis pakaian atau barang (sil’ah). Oleh karena itu tidak wajib zakat atas perhiasan yang terbuat dari emas atau perak dan tidak berlaku juga hukum riba dalam pertukaran atau jual beli. Hal ini dikarenakan dengan pembuatan emas dan perak menjadi perhiasan menjadikannya telah keluar dari tujuan sebagai harga dan lebih ditujukan untuk perniagaan.
Syaikh Ali Jum’ah
Ali Jum’ah berpendapat bahwa ‘illat pada emas dan perak sama dengan pendapat madzhab Syafi’i yaitu pada harga (tsaman).
Dalam fatwanya beliau menyatakan, “Boleh jual beli emas dan perak yang telah dibuat atau disiapkan untuk dibuat dengan angsuran pada saat ini dimana keduanya tidak lagi diperlakukan sebagai media pertukaran di masyarakat dan keduanya telah menjadi barang (sil’ah) sebagaimana barang lainnya yang diperjualbelikan dengan pembayaran tunai dan tangguh. Pada keduanya tidak terdapat gambar dinar dan dirham yang dalam (pertukarannya) disyaratkan tunai dan diserahterimakan.”
Menurutnya, emas dan perak mengandung ‘illat bahwa ia merupakan media pertukaran dan transaksi pada masyarakat dahulu dimana saat ini kondisinya sudah berubah dimana emas dan perak sudah tidak lagi dijadikan sebagai alat tukar lagi (digantikan dengan uang kertas). Hal ini dikaitkan dengan kaidah ushul, “hukum itu berputar (berlaku) bersama ada atau tidak adanya ‘illat.” Karena kehilangan penyebab utama dan funsi itulah maka menurut Ali Jum’ah, status emas kini menjadi barang biasa dan bukan barang ribawi.
Wahbah al-Zuhaili
Ia berpendapat bahwa status emas di jaman sekarang ini masih tetap sebagai barang ribawi meskipun emas dulunya dipakai sebagai alat tukar dan sekarang tidak. Hal ini karena ‘illat emas sendiri bukan dilandaskan pada alat tukar melainkan pada takaran atau timbangan. Dalam kitabnya, Usul al-Fiqh wa Adillatuhu, beliau menyatakan, “Dalam pengharaman riba pada mata uang (emas dan perak atau yang serupa dengannya yaitu uang kertas), tidak dibedakan antara yang telah dicetak (emas batangan) dan yang masih dalam barang mentah (biji emas).”
Wahbah al-Zuhaili menjelaskan bahwa dalam perkembangan sejarah, alat pengukuran yang dulunya berupa emas dan perak kemudian telah berubah menjadi uang kertas. Sehingga Wahbah al-Zuhaili menghukumi uang kertas sebagai barang ribawi sesuai dengan ‘urf atau kebiasaan masyarakat setempat. Di sini terlihat bahwa antara Wahbah al-Zuhaili dengan Ali Jum’ah terjadi perbedaan pendapat terkait status emas dan uang kertas dimana Wahbah al-Zuhaili mengkategorikan emas dan uang kertas sebagai barang ribawi sedangkan Ali Jum’ah mengkategorikan emas bukan sebagai barang ribawi dan uang kertas sebagai barang ribawi.