Rencana untuk mencoba menelurkan buku di tahun 2023 setidaknya 1 (satu) judul saja sudah saya gulirkan dengan mulai menyusun draft yang kini masih dalam tahap on progress bab demi bab. Dan untuk edisi penerbitan perdana buku karya sendiri (solo writing) ini akan bertema non fiksi yang tidak akan jauh-jauh dari jenis pekerjaan kantor atau profesi utama yang sehari-hari saya tekuni saat ini.
Mulailah saya mencari tahu mekanisme penerbitan sebuah buku dimana sejumlah akun IG sudah coba saya sambangi dan menanyakan tata cara beserta biaya-biayanya. Dari sana kemudian saya mengetahui bahwa tipe atau jenis penerbit buku sudah berkembang dari mulanya berupa penerbit mayor saja, kini berkembang menjadi penerbit indie dan bahkan self publishing. Namun dalam tulisan saya kali ini tidak akan banyak membahas perbedaan diantara ketiga jenis penerbit buku tersebut. Saya justru tertarik untuk membahas tentang ISBN. Ya, bagi para pembaca buku pasti sering melihat istilah ini di sampul cover buku bagian dalam.
Lalu apa itu ISBN? Pentingkah keberadaan ISBN bagi para calon penulis? ISBN adalah singkatan dari International Serial Book Number yaitu sistem penomoran buku (terdiri dari 13 digit) yang digunakan sebagai tanda pengenal atau identitas atas hasil karya penulis baik berupa buku cetak maupun elektronik. Karena bersifat unik maka satu nomor ISBN tidak dapat dipakai untuk buku lain.
Kantor pusat ISBN sendiri tidak berada di Indonesia namun di London, Inggris, dimana untuk wilayah Indonesia terdapat wakil yang ditunjuk yaitu Perpustakaan Nasional RI. Pengurusan ISBN harus mengikuti prosedur standard yang telah ditetapkan Perpusnas dimana sejak tahun 2018, pengajuan ISBN dilakukan secara online. Sayangnya, dalam halaman FAQ, Perpusnas tidak memberikan tanya jawab terkait keunggulan buku-buku yang ber-ISBN. Bahkan jika saya boleh berpendapat, selain prosedurnya yang rumit, mengurus ISBN akan menambah komponen biaya tersendiri bagi pengarang atau penulis buku.
Apakah Buku Tanpa ISBN Legal Dibuat?
Merujuk halaman website hukumonline.com, tidak ada alasan apa pun yang dapat dijadikan argumen untuk menjegal pengarang atau penulis buku yang tidak mengurus ISBN. Tanpa ISBN pun, kita boleh membuat karya berupa buku yang nantinya dijual atau diedarkan secara bebas. Tidak ada legalitas hukum yang ditabrak dalam hal ini.
Kini untuk menerbitkan buku, kita bisa melakukannya sendiri dari awal sampai penerbitan dilakukan (apalagi jika kita punya mesin percetakan sendiri…he…he…he). Nah, karena rata-rata penulis buku tidak memiliki mesin percetakan maka langkah yang dapat dilakukan adalah mencari percetakan buku yang dapat menerima order atau pesanan sesuai dengan permintaan (POD – Print On Demand). Artinya dari jumlah halaman, jumlah buku, desain cover, desain dalam, editing, dan sebagainya, seluruhnya dapat disiapkan dan ditentukan langsung oleh penulis, termasuk nama penerbit pun bisa saja dibuat asal, seperti Penerbit Suka-Suka...he...he...he... Perkara ISBN tidak terlalu harus dipusingkan karena tanpa nomor ISBN pun, buku tetap boleh terbit. Selain prosedurnya lebih sederhana, biaya penerbitan buku juga dapat lebih ditekan agar makin murah ongkos produksinya.
Issue Krisis Kuota ISBN
Dari halaman website cxomedia.com diperoleh suatu informasi yang menyedihkan soal ISBN yaitu kuota nomornya dikabarkan tengah mengalami krisis. Lebih tepatnya hampir mencapai batas maksimum nomor yang diberikan oleh kantor pusat ISBN di Inggris sana. Jadi ini seperti pemberian kuota atau jatah BBM dari Pertamina di setiap SPBU yang ketika mencapai batas kuota maksimum maka jatah pasokan tersebut akan dihentikan oleh pemerintah. Sama halnya dengan ISBN ini dimana akibat adanya lonjakan produksi buku ber-ISBN yang berlebihan menyebabkan munculnya krisis nomor ISBN. Sebagai gambaran, kuota nomor ISBN untuk negara Indonesia di periode 2018 sampai 2024 adalah sebesar 1 juta nomor. Sedangkan kuota yang sudah terpakai di tahun 2018 saja sudah mencapai 623.000. Akibatnya, sisa 377.000 nomor ISBN harus digunakan selama sisa jangka waktu yang masih lama sehingga berdampak pada ancaman krisis ISBN. Maka agar tidak memperberat terjadinya krisis, penulis pemula tidak harus latah untuk menerbitkan buku ber-ISBN. Buktikan bahwa buku kita tetap layak baca meski tanpa ISBN!.