Sesaat setelah saya memposting sebuah link video YouTube dari Ustadz Ahmad Sarwat, Lc. tentang cara membedakan riba dan bukan, di sebuah group pertemanan yang hanya berjumlah 4 (orang) orang, seorang kawan bernama Munjirin memberi sebuah pertanyaan yang tak terduga.
Pertanyaannya sebagai berikut : Misalkan si A memiliki 2 (dua) sisir pisang kepok dan si B memiliki 1 (satu) sisir pisang barangan. Karena ingin mendapatkan khasiat kesehatan dari pisang barangan, si A hendak menukarkan pisang kepok yang ia punya kepada si B. Lalu bagaimana hukum barter tersebut dalam kacamata Islam dimana si A memiliki jumlah sisir yang lebih banyak dibanding si B. Meski beda kualitas atau takaran atau timbangan, jika mereka ikhlas melakukan pertukaran itu, apakah jual belinya sah?
Guna menjawab pertanyaan di atas, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa jual beli barter merupakan kegiatan perdagangan dengan cara mempertukarkan komoditas yang satu dengan komoditas yang lain. Jadi dalam barter terjadi proses jual beli namun pembayarannya tidak menggunakan uang melainkan barang. Jual beli seperti ini sudah biasa dilakukan sejak jaman dahulu dimana belum ada pemberlakuan mata uang.
Selama memenuhi rukun dan syaratnya maka jual beli dengan sistem barter dapat diterima dalam Islam. Secara umum rukun jual beli barter adalah sebagai berikut : (1) ‘Aqid (orang yang berakad); (2) Ma’qud ‘alaih (objek akad); dan (3) Shighat akad (lafadz ijab dan qabul). Masing-masing rukun memiliki syarat-syarat tertentu dimana pada komponen rukun yang bernama ma’qud ‘alaih, barangnya harus suci, dapat diserahterimakan, dapat dimanfaatkan secara syara’, barangnya harus jelas dan diketahui oleh kedua belah pihak, dan jika barangnya sejenis harus seimbang.
Maka, dalam perkara barter pisang di atas, yang langsung dapat dijawab dengan pasti adalah dari sisi ‘aqid dan shighat akad dimana apabila pihak yang berakad sudah dewasa dan masing-masing pihak telah saling rela yang diwujudkan dalam shighat akad maka transaksi tersebut dapat dibenarkan secara syariat. Tinggal di komponen ma’qud ‘alaih-nya apakah memenuhi syarat-syarat akad.
Buah pisang sendiri secara umum adalah barang yang bukan najis, dapat diserahterimakan, dapat dimanfaatkan secara syara’, barangnya berwujud jelas sebagai buah pisang yang telah diketahui kedua belah pihak. Namun di sini terjadi pertukaran antar sesama buah pisang yang kuantitasnya tidak sama : yang satu sebanyak 2 (dua) sisir, sedangkan satunya lagi hanya 1 (satu) sisir.
Dalam sebuah hadits dari Ubadah bin Shamit, Rasulullah SAW bersabda, “Emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya'ir dengan sya'ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus sama takaran atau timbangannya, dan dibayar tunai atau kontan. Apabila jenis yang diperjualbelikan berbeda maka jual-lah sesuai dengan kehendakmu (boleh yang satu lebih banyak dari yang lain) asalkan dilakukan secara tunai” (HR. Muslim).
Menurut jumhur ulama, antara emas dan perak memiliki ‘illat yang sama, sedangkan sisanya yaitu burr, sya'ir, kurma, dan garam memiliki ‘illat tersendiri. Maksudnya, di dalam hadits di atas terkandung 2 (dua) kategori ‘illat pada barang-barang atau komoditas-komoditas ribawi di atas : (1) ‘Illat emas dan perak adalah sebagai patokan harga dan hanya benda-benda itu yang bisa disamakan dengan uang; dan (2) ‘Illat gandum, burr, sya'ir, kurma, dan garam, adalah merupakan bahan makanan yang ditakar dan ditimbang.
Selanjutnya, kita membutuhkan pendapat apakah buah pisang dapat disamakan dengan gandum, bur, kurma, dan garam? Apabila buah pisang dinyatakan memiliki kesamaan ‘illat dengan bahan makanan tersebut maka transaksi tersebut (barter pisang dengan pisang) harus memenuhi 2 (dua) syarat yaitu : (1) dilakukan dengan takaran atau timbangan yang sama (mitslan bi mitslin atau sawa'an bi sawa'in) walaupun terdapat mutu atau kualitas barang yang berbeda; dan (2) transaksi itu dilakukan secara kontan atau tunai (yadan bi yadin), artinya penyerahan barang harus dilakukan saat itu juga dan tidak boleh ada penundaan waktu. Itu jika kita berpendapat bahwa dengan metode qiyas, pisang merupakan satu kelompok yang sama dengan 4 (empat) bahan makanan yang telah disebut dalam hadits Ubadah bin Shamit tersebut. Lalu apakah buah pisang memang dapat disetarakan dengan itu?
Karena di kalangan ulama sendiri terdapat perbedaan pendapat tentang ‘illat (sebab atau alasan hukum) terhadap ke-enam jenis barang yang disebutkan dalam hadits di atas maka untuk mempersingkat bahasan, saya hanya akan mencoba menyampaikan pendapat dari satu ulama saja (versi ulama lain mungkin nanti dapat dibahas pada kesempatan berikutnya).
Menurut Imam Malik, ‘illat pada emas dan perak adalah alat tukar, sedangkan pada empat barang lainnya, ‘illat terletak pada makanan pokok yaitu makanan sehari-hari yang dapat disimpan dalam jangka waktu lama. Sehingga semua jenis bahan makanan (tidak terbatas pada gandum, anggur, kurma, dan garam) asal dapat disimpan dalam kurun waktu lama, akan terkena hukum yang sama. Nah, karena buah pisang bukanlah bahan makanan pokok (setidaknya di Indonesia, makanan pokoknya adalah beras) dan juga tidak dapat disimpan dalam jangka waktu lama maka jual beli sesama pisang tidak harus memenuhi syarat jumlah, takaran, atau timbangan, maupun waktu penyerahan barang. Dengan kata lain, boleh-boleh saja menukar 2 (dua) sisir pisang kepok dengan 1 (satu) sisir pisang barangan dimana terdapat beda takaran atau timbangan. Penyerahan barang juga boleh dilakukan baik secara kontan (dari tangan ke tangan) atau secara tertunda. Wallahua’lam.