Pada akhirnya pembahasan terdahulu tentang ‘illat riba akan bermanfaat saat kita hendak mempelajari hukum jual beli emas secara tidak tunai (alias mencicil) yang kini dipraktekkan oleh beberapa lembaga keuangan di Indonesia. Emas yang dimaksud di sini bukanlah emas sebagai suatu mata uang atau alat tukar namun emas berupa logam emas atau batangan.
Tulisan ini juga terinspirasi oleh diskusi dengan rekan kantor perihal sebuah website yang menawarkan jual beli emas dalam bentuk logam mulia dimana di tahap awal, si pengelola jual beli emas itu akan membeli emas dari vendor berdasarkan keinginan pelanggan lalu dijual kepada pelanggan itu dengan menampilkan harga pokok plus margin keuntungan yang disepakati kedua belah pihak. Pihak perusahaan penjual emas itu akan menanggung risiko-risiko perubahan harga, penyimpanan emas, dan pengiriman emas sampai berakhirnya akad.
Sistem jual beli yang dipakai menggunakan akad salam yaitu akad jual beli dimana barang yang diperjualbelikan belum ada ketika transaksi dilakukan dimana pembeli melakukan pembayaran saat transaksi namun penyerahan emas baru dilakukan di kemudian hari.
Dengan merujuk pada pembahasan ‘illat riba emas dan perak di artikel sebelumnya maka kita dapat membuat rangkuman pendapat berbagai ulama sebagai berikut :
Madzhab Dzahiri
Dengan merujuk pada pendapat madzhab ini yang menyatakan bahwa hukum riba hanya terbatas pada 6 (enam) barang atau komoditas tanpa perlu ditambah-tambah lagi (dengan jenis barang lain) dengan mencari ‘illat hukumnya, maka menjual emas dengan emas harus dilakukan sama nilainya dan tidak boleh dilakukan secara tempo. Demikian juga perak dengan perak harus sama dan kontan, dan seterusnya. Maka jual beli emas dengan emas (karena sejenis) secara angsuran atau tidak tunai menjadi tidak diperbolehkan (tanpa perlu melihat ‘illat hukumnya apakah emas itu bertindak sebagai alat tukar atau benda biasa). Bagaimana dengan uang kertas versus emas? Dengan dasar penolakan barang diluar 6 (enam) sebagaimana disebutkan dalam hadits Ubadah bin Shamit maka pertukaran uang kertas (non barang ribawi) ditukar dengan emas (barang ribawi) dalam pandangan madzhab ini menjadi boleh-boleh saja karena uang kertas tidak disebut dalam hadits Ubadah bin Shamit sehingga dibolehkan saling ditukarkan baik secara tunai maupun tidak tunai.
Madzhab Hanafi
Menurut ulama madzhab Hanafi, emas dan perak merupakan komoditas yang dapat ditimbang atau ditakar seperti halnya 4 (empat) jenis barang ribawi lainnya. Jadi menurut mereka, tidak ada pembagian barang ribawi menjadi 2 (dua) kelompok sebagaimana dianut oleh madzhab lainnya. Semuanya dijadikan satu kategori yaitu barang-barang yang dapat ditimbang atau ditakar. Dengan demikian, jual beli emas ditukar emas harus sama beratnya (berdasarkan timbangan) dan dibayarkan secara kontan pada saat penyerahan barang. Demikian juga perak dengan perak, atau barang-barang lain yang sejenis asalkan dapat ditimbang atau ditakar.
Bagaimana jika emas batangan dibeli dengan uang kertas?. Belum ada referensi yang saya baca mengenai pendapat madzhab ini jika terjadi pertukaran uang kertas dengan emas batangan. Namun dengan asumsi bahwa uang kertas itu tidak dapat ditimbang sedangkan emas batangan dapat ditimbang sehingga keduanya berbeda dalam ‘illat maka menjadi diperbolehkan terjadi pertukaran antara uang kertas (sesuatu yang tidak bisa ditimbang) dengan emas batangan (sesuatu yang bisa ditimbang) baik dilakukan secara kontan maupun tangguh. Silakan kepada pembaca untuk mengajukan argumentasi yang lain apabila kesimpulan saya salah, tentunya dengan menunjukkan referensi yang jelas.
Madzhab Syafi’i
Madzhab ini membagi barang-barang ribawi menjadi 2 (dua) kelompok yaitu : (1) uang/mata uang; dan (2) makanan. Emas dan perak masuk dalam kelompok pertama yaitu uang/mata uang dimana ‘illat keharaman riba fadhl pada emas dan perak adalah karena keduanya dijadikan sebagai harga atau menjadi harga sesuatu. Begitu juga dengan uang yang kita pakai sekarang, meskipun bukan terbuat dari emas, ia menjadi harga sesuatu sehingga berlaku hukum ribawi. Pada jaman sekarang, nilai uang adalah berdasarkan kesepakatan dan tidak lagi terbatas pada nilai intrinsik yang terkandung dalam logam yang dipakai untuk membuat uang tersebut.
Pendapat ini sangat jelas menunjukkan bahwa uang kertas di jaman sekarang dapat disetarakan dengan emas dan perak di jaman dulu dalam kedudukannya sebagai alat tukar. Sehingga menukar uang kertas rupiah dengan emas (dalam posisi emas sebagai alat tukar) boleh saja terjadi namun harus dilakukan secara kontan (tidak boleh secara non tunai) atau tidak boleh ada penangguhan. Keduanya memiliki ‘illat yang sama meski uang kertas belum ada di jaman dulu. Nah, pertanyaannya, bagaimana jika emas yang dipertukarkan pada jaman modern ini sudah tidak dipakai sebagai alat tukar namun hanya sebagai komoditas biasa misalkan sebagai barang perhiasan seperti kalung atau cincin? Dalam hal ini berarti ‘illat emas itu tidak lagi masuk dalam kelompok pertama namun masuk ke kelompok kedua. Karena beda ‘illat maka pertukaran uang kertas (sebagai alat tukar) dengan emas (sebagai komoditas biasa) menjadi diperbolehkan baik dilakukan secara kontan maupun tangguh. Silakan pembaca juga menyampaikan pendapatnya mengingat bahwa dalam sejumlah literatur, penulis-penulis topik riba menyatakan bahwa keempat madzhab sepakat menyatakan pada emas dan perak terdapat kesamaan ‘illat yaitu sebagai alat tukar atau alat pembayaran. Padahal di jaman ini, emas dan perak sudah tidak lazim dipakai sebagai alat tukar. Maka seharusnya terdapat catatan bahwa apabila di suatu negara masih diberlakukan emas dan perak sebagai alat tukar maka jual beli barang sejenis harus dilakukan dalam nilai yang sama dan tidak ada penangguhan. Sementara di berbagai negara di dunia termasuk di Indonesia, emas dan perak sudah tidak dipakai lagi sebagai alat tukar. Ia juga bukan kategori bahan makanan. Dengan demikian emas dan perak di jaman ini sudah keluar dari kedua kategori barang ribawi.
Madzhab Maliki
‘Illat hukum riba pada emas dan perak menurut madzhab ini sama dengan pendapat madzhab Syafi’i yaitu karena keduanya merupakan harga atau nilai dari sesuatu. Hal ini dikarenakan kedua jenis logam mulia itu memiliki nilai intrinsik sehingga dapat dijadikan standard harga bagi benda-benda lainnya. Emas dan perak, baik berupa batangan atau perhiasan, apabila sejenis maka tidak diperbolehkan dijualbelikan atau dipertukarkan dengan cara menghargai yang satu lebih tinggi dibanding yang lain dan tidak boleh juga dilakukan secara non tunai. Dengan mengajukan argumentasi bahwa ‘illat uang kertas sama dengan ‘illat emas dan perak sebagai harga atau nilai dari sesuatu maka pertukaran emas dengan uang kertas di jaman ini boleh saja dilakukan namun harus secara tunai atau kontan dan tidak boleh ada penundaan waktu. Namun kembali muncul pertanyaan yang sama dengan pembahasan di madzhab Syafi’i dimana emas dan perak di jaman ini diperjualbelikan dalam kapasitasnya sebagai barang komoditas biasa dimana sudah keluar dari fungsinya sebagai uang.
Madzhab Hambali
Dari perspektif madzhab Hambali terdapat 3 (tiga) riwayat terkait ‘illat hukum riba namun yang paling mashyur adalah riwayat pertama yang intinya sama dengan pendapat ulama madzhab Hanafi yaitu barang yang dapat ditimbang atau ditakar. Oleh karena itu emas dengan emas, perak dengan perak, atau benda-benda lain yang sejenis, selama dapat ditimbang atau ditakar maka tidak boleh diperjualbelikan atau dipertukarkan kecuali beratnya sama saat ditimbang dan pembayaran dilakukan secara tunai. Namun terkait pertukaran emas dengan uang kertas belum ada referensi yang menunjukkan sikap madzhab ini. Apakah uang kertas dapat ditimbang atau ditakar? Dengan asumsi bahwa uang kertas adalah sesuatu yang tidak dapat ditimbang atau ditakar maka seharusnya diperbolehkan adanya pertukaran uang kertas (tidak dapat ditimbang) dengan emas batangan (dapat ditimbang) baik dilakukan secara kontan atau tidak. Referensi kuat atas hal ini juga sangat terbatas sehingga apabila ada pembaca yang memiliki referensi khusus, silakan untuk memberikan komentar di sini.
Wahbah al-Zuhaili
Ia berpendapat bahwa status emas di jaman sekarang ini masih tetap sebagai barang ribawi. Hal ini karena ‘illat emas sendiri bukan dilandaskan pada alat tukar melainkan pada takaran atau timbangan. Dalam kitabnya, Usul al-Fiqh wa Adillatuhu, beliau menyatakan, “Dalam pengharaman riba pada mata uang (emas dan perak atau yang serupa dengannya yaitu uang kertas), tidak dibedakan antara yang telah dicetak (emas batangan) dan yang masih dalam barang mentah (biji emas).”
Wahbah al-Zuhaili menghukumi uang kertas sebagai barang ribawi sesuai dengan ‘urf atau kebiasaan masyarakat setempat. Dengan mengkategorikan emas dan uang kertas sebagai barang ribawi (karena sama-sama merupakan alat tukar?) maka pertukaran uang kertas dengan emas batangan harus dilakukan secara kontan dan tidak boleh ada pembayaran tertunda. Dengan demikian membeli emas batangan dengan uang kertas harus dilakukan secara kontan.
Ibnu Taimiyah
Beliau menyatakan bahwa ‘illat pada emas dan perak adalah sebagai harga (alat tukar menukar) namun hal ini tidak berlaku sepanjang masa. Pada masa Rasulullah SAW, alat tukar menukar adalah dinar dan dirham yang terbuat dari emas dan perak, namun demikian pada masa hidupnya beliau juga muncul alat tukar menukar lain yaitu fulus yang terbuat dari tembaga.
Pada masa kini, Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa emas sudah tidak lagi dijadikan sebagai alat tukar di jaman sekarang. Dengan demikian, emas yang dijualbelikan saat ini akan dianggap sama dengan barang biasa sehingga boleh saja membeli emas batangan dengan uang kertas baik dilakukan secara kontan maupun tertunda.
Pendapat ini lebih clear dalam menjelaskan sikap Ibnu Taimiyah tentang hukum jual beli emas secara tidak kontan. Artinya, karena emas (di jaman ini) bukan lagi sebagai alat tukar (namun telah menjadi komoditas biasa) maka menukarkan uang kertas (sebagai alat tukar) dengan emas (sebagai barang biasa) boleh saja dilakukan baik secara tunai maupun tidak tunai.
Ibnu Qayyim
Perhiasan berupa emas dan perak di jaman kini telah mengubah statusnya dari harga atau uang (tsaman) menjadi jenis pakaian atau barang (sil’ah). Oleh karenanya itu tidak wajib zakat atas perhiasan yang terbuat dari emas atau perak dan tidak berlaku juga hukum riba dalam pertukaran atau jual beli. Maka dalam hal pembelian emas batangan dengan uang kertas boleh saja dilakukan baik secara kontan maupun tertunda.
Syaikh Ali Jum’ah
Ali Jum’ah berpendapat bahwa ‘illat pada emas dan perak sama dengan pendapat madzhab Syafi’i yaitu pada harga (tsaman). Menurutnya, emas dan perak mengandung ‘illat bahwa ia merupakan media pertukaran di jaman dahulu dimana kondisinya sekarang sudah berubah. Emas dan perak sudah tidak lagi menjadi alat tukar (tergantikan oleh uang kertas). Hal ini dikaitkan dengan kaidah ushul, “hukum itu berputar (berlaku) bersama ada atau tidak adanya ‘illat.” Oleh karena itu, pertukaran uang kertas dengan emas batangan boleh dilakukan baik secara kontan maupun tertunda.
Sikap MUI tentang Jual Beli Emas secara Tidak Tunai
DSN MUI melalui fatwanya bernomor 77/DSN-MUI/V/2020 menetapkan fatwa jual beli emas secara tidak tunai sebagai berikut : Jual beli emas secara tidak tunai baik melalui jual beli biasa atau jual beli murabahah hukumnya boleh selama emas tidak menjadi alat tukar resmi (uang) dengan batasan dan ketentuan : (1) Harga jual (tsaman) tidak boleh bertambah selama jangka waktu perjanjian meskipun ada perpanjangan waktu setelah jatuh tempo. (2) Emas yang dibeli dengan pembayaran tidak tunai boleh dijadikan jaminan (rahn). (3) Emas yang dijadikan jaminan sebagaimana dimaksud dalam angka 2 tidak boleh dijualbelikan atau dijadikan obyek akad lain yang menyebabkan perpindahan kepemilikan.
Sekarang tinggal bergantung pada pilihan masing-masing, apakah menganggap jual beli emas boleh dilakukan secara non tunai atau sebaliknya tidak boleh. Mau mengikuti madzhab yang mana silakan sesuai dengan keyakinan yang kita miliki. Namun jika masih ragu dan membuat hati bimbang maka menghindari hal yang syubhat menjadi langkah yang dirasa lebih baik. Wallahua’lam.