Saat dokumentasi foto atau video atas aktivitas jalan-jalan atau traveling yang saya lakukan, diupload ke media sosial semacam Facebook atau Instagram, muncul beberapa komentar yang berbunyi “wah, enak ya, mas Fajar. Jalan-jalan melulu !…”
Sebenarnya saya tidak terlalu memperdulikan komentar tersebut, terlepas apakah nadanya tulus atau ada terbersit rasa iri. Bagaimana pun juga, banyak diantaranya yang tidak mengetahui bahwa orang lain masih beruntung bisa setiap saat berkumpul dengan anak istri dimana secara teoritis tentunya lebih membahagiakan daripada sekedar jalan-jalan. Namun yang justru mungkin perlu digali atau dianalisa adalah mengapa dan bagaimana saya bisa melakukan beberapa kali traveling dalam radius jarak yang cukup jauh.
Jika kita bisa traveling atau jalan-jalan dengan uang sendiri, hal itu mudah saja terlaksana jika syarat finansial sudah terpenuhi. Tinggal kemudian melengkapinya dengan syarat waktu (time) yang tepat dan tenaga (fisik) yang prima. Namun dari beberapa perjalanan jauh yang saya lakukan, justru rata-rata sudah ada “sponsorship” yang mendanai seluruh perjalanan, termasuk saat di bulan November 2022 ketika saya bersama 4 (empat) sahabat saya melakukan perjalanan panjang Jakarta-Surabaya-Bali-Lombok-Malang. Dan ya itu, yang tak masuk akalnya lagi, sebagian besar pendanaan atas biaya-biaya perjalanan panjang yang muncul itu hanya ditanggung oleh 1 (satu) dari 5 (lima) orang yang berangkat. Sebuah "keabsurdan" besar bukan ? Dan model “pembiayaan tunggal” ini hampir terjadi dan dilakukan pada semua perjalanan kami berlima selama ini. Biasanya kan dalam sebuah trip, pembiayaan yang muncul dilakukan denga metode “sharing cost” kecuali perjalanan yang dibiayai perusahaan atau kantor dalam rangka employee gathering atau sejenisnya. Lha, yang ini, 90% lebih dari biaya-biaya perjalanan yang ada, mulai dari mobil, bensin, makan, menginap di hotel, dan lain-lain, hanya ditanggung oleh 1 (satu) orang saja yang kami sebut “sang juragan” karena "terlalu royal" mentraktir kami semua.
Rahasia dari semua itu saya coba ungkapkan di sini. Siapa tahu bisa menjadi sumber inspirasi postif bagi teman-teman. Bahwa mendapatkan teman yang tidak sekedar baik itu memang sulit, namun ada cara-cara tertentu dimana kita bisa menanamkan kebaikan terlebih dahulu. Ibarat pepatah, siapa yang menanam, ia yang akan memanen. Dari contoh yang terjadi pada circle pertemanan kami yang terdiri dari hanya 5 (lima) orang itu, saya sudah banyak terbantu dalam berkeliling Indonesia dengan budget minim…he…he…he…
Saya coba mengingat-ingat kembali saat-saat awal bagaimana kelompok yang kami namai “Group Bromo” itu terjadi meskipun daya ingat di otak saya sudah menurun…he…he…he…Sekitar tahun 2004-an (berarti sudah sekitar 18 tahun lalu), saya mengenal anggota Group Bromo itu sebagai teman diskusi pada perusahaan yang sama namun beda lokasi. Diskusinya pun lebih kepada permasalahan-permasalahan administrasi kantor dan tidak terlalu spesifik membicarakan topik-topik khusus seperti hobi dan lain-lain. Selanjutnya, kami juga pernah menunaikan tugas sebagai kepala kantor di perusahaan yang sama dimana kami memulainya dari level yang juga sama. Jauh berbeda dengan para senior-senior lain yang jam terbangnya jauh lebih tinggi. Empat orang itu masing-masing berada di kantor cabang Malang, Tangerang, Jambi, dan Bengkulu. Saya sendiri kala itu memegang kantor cabang Batam.
Karena pada setiap acara rapat kerja, baik di kantor pusat maupun di kota-kota tertentu, kami merasa bahwa level kami sederajat dan senasib sepenanggungan, maka jadilah kami sebagai orang-orang yang biasanya akan “merapat” dalam satu barisan dalam event-event tersebut. Sebenarnya ini hal biasa saja. Di beberapa rekan kerja lain juga ada “kelompok-kelompok” tertentu yang membentuk “barisan” atau “group” lain. Bukan dalam arti terdapat blok-blok permusuhan layaknya aliansi peperangan namun hanya sekedar kelompok-kelompok kecil yang secara alami akan terbentuk baik berdasarkan umur, pengalaman, suku, dan lain-lain.
Akhirnya, Group Bromo pun diformulasikan dalam WA group di saat aplikasi pertemanan ini booming. Tidak peduli lagi bahwa pada perjalanan waktu, masing-masing anggota memilih jalan karier pekerjaannya masing-masing. Ada yang masih bertahan di perusahaan tempat kami bekerja dan ada yang memilih keluar. Meski demikian, group WA yang cuma berisi 5 (lima) orang itu pun terus eksis meski tidak secara rutin saling berkomentar. Bahkan ada diantaranya yang sempat “inactive” alias "mati suri" seperti kepompong yang lagi bermetamorfosis. Keanehan itu lalu dicoba dicari akar masalahnya oleh salah satu dari anggota group kami. Dan hebatnya apa teman-teman ? Tidak sekedar berusaha dicari atau digali via percakapan private WA namun sampai disamperin alias didatangi ke lokasi tempat tinggalnya di Palembang Sumatera Selatan ! Menggerudukinya pun dengan cara beramai-ramai : 4 (empat) orang berangkat sekaligus naik mobil dimana 1 (satu) orang dari Surabaya ditanggung biayanya untuk bisa join dari Jakarta ! Kami semua tinggal membawa badan saja. Semua biaya perjalanan dan akomodasi makan minum ditanggung oleh “sang juragan.” Senanglah kita…ha…ha…ha…
Dan perjalanan yang paling spektakuler tentu saja adalah perjalanan kami di hampir penghujung tahun 2022 yaitu tujuan Bali, Lombok, dan Malang !. Juga dengan formasi lengkap berlima dimana teman kami dari Palembang yang datang duluan di Jakarta untuk join dengan rombongan menuju Surabaya menjemput teman ke-4 di sana, baru lanjut menuju ke destinasi yang sudah ditentukan.
Apa yang sebenarnya terjadi dalam group “aneh” kami itu ? Pertama, saya menganalisa bahwa pada saat-saat awal saya mengenal mereka, ada suatu kesempatan tertentu ketika kami sedang melakukan aktivitas makan siang, saya berinisiatif melakukan pembayaran biaya makan tersebut. Meski tidak seberapa besar, ada kemungkinan tindakan kecil tersebut mendapat respons positif dari sahabat-sahabat lain. Ditambah dengan adanya keterbukaan dan sikap siap sedia saya dalam membantu hal-hal keteknisan pekerjaan yang belum mereka ketahui. Begitu juga sebaliknya, mereka pun akan membantu saya saat ada kesulitan yang saya hadapi. Hingga pada akhirnya, kami merasa memiliki nasib yang sama dengan berangkat dari latar belakang dan pengalaman yang tidak jauh berbeda.
Alhamdulilah, sampai saat ini pun, group WA itu masih ada, dan tentu saja “sang juragan” pun masih eksis. Ssang istrinya pun tampaknya tidak terlalu mempermasalahkan aktivitas-aktivitas traveling bersama Group Bromo yang pastinya menyedot banyak biaya.
Itulah kami, Group Bromo, yang telah bersama-sama berkawan dari sejak “tidak ada apa-apanya” sampai pada taraf sejauh ini. Ada salah satu pelajaran yang dapat dipetik dari kisah ini yaitu berbuat baiklah meski kecil dan terlihat sepele karena suatu saat kebaikan yang terlihat kecil itu akan berdampak pula pada kebaikan yang akan kita peroleh di masa depan. Berlomba-lombalah dalam menanam benih kebajikan dan tunggulah panen rejeki serta keberuntungan saat waktunya tiba !. Salam persaudaraan !.
keren kak
ReplyDelete