Banyak yang mengatakan bahwa Sunan Ampel atau Raden Rahmat adalah anak dari Maulana Malik Ibrahim. Namun sebagaimana disebutkan dalam buku “Kesultanan Demak Bintara ; Poros Maritim Nusantara Abad XV – XVI” karya Ali Romdhoni oleh Penerbit Literatur Nusantara (Linus) cetakan 1 tahun 2021, Raden Rahmat adalah putra dari Ibrahim al-Samarqandi.
Sedangkan ibu dari Raden Rahmat adalah Candrawulan yang masih kakak beradik dengan Dwarawati Martaningrum dan Raden Cingkara (Jingkara). Dwarawati inilah yang kelak dijodohkan dengan Raja Majapahit, Prabu Brawijaya. Sedangkan Candrawulan dinikahkan dengan Ibrahim al-Samarqandi. Sedangkan si bungsu, Raden Cingkara, kelak yang akan mewarisi tahta Kerajaan Campa.
Dari hasil perkawinan Ibrahim al-Samarqandi dan Candrawulan, lahirlah 3 (tiga) orang putra dan putri yaitu : (1) Ali al-Murtadha atau Raden Santri atau kelak bergelar Sayid Raden Rajapandita; (2) Raden Rahmat; dan (3) Sayidah Zainab. Sebagai keturunan negeri seberang, Raden Rahmat juga dikabarkan memiliki nama khas Cina yaitu Bong Swi Hoo.
Dengan demikian, Dwarawati yang merupakan istri Prabu Brawijaya, adalah bibi dari Raden Rahmat. Kisah pernikahan Dwarawati dan Prabu Brawijaya diceritakan dalam Babad Tanah Jawi, “…Sang Prabu Kertawijaya ing Majapahit iku wis tau krama karo putri saka ing Cempa. Putri mau kapernah ibu alit karo Raden Rahmat utawa Sunan Ngampel…” yang artinya “Sang Prabu Kertawijaya di Majapahit pernah menikah dengan putri dari Campa. Putri itu tidak lain adalah bibi dari Raden Rahmat atau Sunan Ampel…”
Pada suatu hari, Ali al-Murtadha dan Raden Rahmat meminta ijin kepada ayahnya untuk mengunjungi sang bibi, Dwarawati, yang telah menjadi istri Prabu Brawijaya di Majapahit. Ayahnya pun mengijinkan kepergian mereka berdua ke Majapahit. Kepada mereka berdua disertakan seorang teman perjalanan bernama Abu Hurairah, seorang abdi Kerajaan Campa, guna memenuhi segala keperluan mereka berdua dalam menempuh perjalanan menuju Majapahit. Versi lain menyatakan bahwa yang menemani mereka berdua bernama Raden Burereh.
Singkat cerita, Sri Prabu Brawijaya atau Prabu Kertawijaya menyambut kedatangan kedua kemenakan istrinya itu dengan senang hati. Bertemulah keduanya dengan sang bibi, Dwarawati, yang tidak menyangka dapat dipertemukan dengan kerabat dekat dari tanah kelahirannya, Campa.
Setelah dirasa cukup, al-Murtadha dan Raden Rahmat minta ijin untuk pamit kembali ke negeri asalnya, Campa. Namun hal itu dilarang oleh Prabu Brawijaya karena menurut telik sandi Majapahit, sedang terjadi peperangan yang melanda sekitar Campa dimana penguasa Hindustan telah berhasil menduduki wilayah Kerajaan Kupang, Kalkuta, Jiri, Malibar, dan sekitarnya. Tinggal Campa yang belum ditaklukan. Raja Majapahit memberikan wejangan, “Wahai anak-anakku, lebih baik kalian menetap di Majapahit, membantuku memajukan kehidupan rakyat. Aku akan memberi tempat yang bisa kalian kelola dengan baik. Bila kalian mau, pilihlah diantara anak perempuan pembesar Majapahit untuk kalian nikahi.”
Selanjutnya, sesuai arahan Prabu Brawijaya, Ali al-Murtadha dinikahkan dengan putri Arya Baribin dari Kadipaten Ris, yang bernama Maduretna. Selain itu, Ali al-Murtadha juga diangkat sebagai semacam menteri agama sehingga ia juga dikenal dengan sebutan Rajapandita.
Adapun Raden Rahmat dinikahkan dengan Raden Ayu Candrawati, putri dari Raden Arya Teja. Sri Prabu Brawijaya pun kemudian menempatkan Raden Rahmat di Ampeldenta atau Ampelgading (sekarang terletak di Kelurahan Ampel, Kecamatan Semampir, Kota Surabaya).
Dari pernikahan dengan Raden Ayu Candrawati, Raden Rahmat memiliki 5 (lima) orang anak yaitu Syarifah, Muthmainnah, Hafshah, Ibrahim (kelak dikenal sebagai Sunan Bonang), dan Qasim (kelak dikenal dengan nama Sunan Drajat).
Raden Rahmat juga menikahi seorang perempuan bernama Mas Karimah, anak dari Kiai Bang Kuning. Dari pernikahan itu lahir 2 (dua) anak perempuan yaitu : (1) Murtiyah (kelak menikah dengan Raden Paku atau dikenal sebagai Sunan Giri); dan (2) Murtasimah (kelak menikah dengan Raden Patah).
Di Ampeldenta, Raden Rahmat mendirikan masjid dan membuka pondok pesantren sehingga ia kemudian dikenal sebagai Sunan Ampel. Ia memberikan pelajaran tentang keislaman dan budi pekerti kepada para adipati, pembesar keraton, dan bagi masyarakat umum.
Ajaran Sunan Ampel yang terkenal adalah falsafah “Mo Limo” dimana “Mo” artinya “ora gelem” (tidak mau) dan “Limo” artinya “lima perkara.” Jadi maksud dari Mo Limo adalah tidak mau melakukan 5 (lima) perkara yang terlarang yaitu : (1) Emoh main (tidak mau judi); (2) Emoh ngumbih (tidak mau minum-minuman yang memabukkan); (3) Emoh madat (tidak mau minum atau menghisap candu atau ganja); (4) Emoh maling (tidak mau mencuri); (5) Emoh madon (tidak mau berzina).
Kesuksesan dakwah Sunan Ampel juga ditunjang oleh kemampuan untuk beradaptasi dengan budaya lokal misalnya ia menyebut mushola dengan “langgar” yang mirip dengan kata “sanggar.” Shalat disebut dengan “sembahyang” yang terdengar mirip dengan “sembah hyang.” Orang-orang yang menuntut ilmu disebut dengan santri yang agak mirip dengan “shatri” yaitu sebutan untuk orang yang mengerti kitab suci agama Hindu.
Salah satu peninggalan Sunan Ampel yang masih dapat kita saksikan sampai sekarang adalah Masjid Rahmat yang berada di daerah Kembang Kuning, Surabaya. Masjid lainnya adalah Masjid Ampel yang dibangun oleh Sunan Ampel bersama sejumlah pengikutnya seperti Mbah Sholah an Mbah Shonhaji.
Babad Gresik menyatakan bahwa Sunan ampel wafat atau meninggal dunia pada tahun 1481 M dengan ditandai candrasengkala “ngulama ngampel lena mesjid.” Kematian Sunan Ampel ditangisi oleh seluruh lapisan masyarakat. Ia meninggal dunia saat Demak mencapai puncak kejayaan. Upacara pemakaman Sunan Ampel selain dihadiri oleh seluruh lapisan masyarakat, juga dihadiri oleh tokoh-tokoh Islam penting di masa itu seperti Sunan Bonang yang datang dari Tuban, Sunan Giri yang datang dari pesantren Giri, Kedaton, Sunan Gunung Jati yang datang dari Gunung Sembung, Cirebon, Sunan Kudus yang datang dari Kudus, Sunan Muria yang datang dari lereng Gunung Muria, dan Sunan Kalijaga yang datang dari Glagah Wangi.