Sebelum saya lanjutkan tulisan-tulisan lain di blog ini, ada baiknya saya selingi dengan artikel tentang tata cara shalat jamak dan qashar mengingat perkara ini terkadang masih menimbulkan tanda tanya dan terjadi sejumlah perbedaan pendapat.
Shalat Jamak
Secara bahasa, kata “jamak” berarti menggabungkan atau mengumpulkan. Sedangkan secara istilah, shalat jamak adalah melaksanakan 2 (dua) shalat fardhu secara berurutan dalam salah satu waktunya. Misalnya menjamak shalat dzuhur dan ashar, atau maghrib dan isya, yang dilakukan secara berurutan pada salah satu waktunya.
Berdasarkan jenis shalatnya, shalat yang boleh djamak hanya terdiri dari 2 (dua) jenis yaitu : (1) Shalat dzuhur dan ashar; dan (2) Shalat maghrib dan isya. Adapun shalat Jum’at apakah boleh dijamak dengan ashar, para ulama berbeda pendapat.
Sedangkan berdasarkan waktu pengerjaan, shalat jamak dibagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu : (1) Jamak taqdim; dan (2) Jamak takhir. Tentunya kita sudah tahu semua bahwa jamak taqdim berarti melaksanakan 2 (dua) shalat fardhu pada waktu shalat yang pertama. Misal mendirikan shalat dzuhur dan ashar pada waktu dzuhur, atau maghrib dan isya pada waktu maghrib. Sedangkan jamak ta’khir adalah kebalikan dari jamak taqdim yaitu menggabungkan 2 (dua) shalat fardhu pada waktu shalat yang kedua. Misal dzuhur dan ashar pada waktu ashar, atau maghrib dan isya pada waktu isya.
Dengan demikian maka pada saat bepergian atau safar, kita sebenarnya dapat memilih untuk melakukan shalat jamak (tidak harus jamak qashar seperti pada kebanyakan praktek yang terjadi). Diantara sebab-sebab yang membolehkan shalat jamak adalah haji dan safar meskipun ada diantara ulama yang menambahkan sebab-sebab lain seperti sakit, hujan, takut, dan sebagainya. Adapun jarak minimal sehingga seseorang dikatakan bersafar adalah 4 burud atau 16 farsakh. Jika dikonversi ke kilometer akan diperoleh angka sekitar 88 kilometer. Meskipun demikian, ada juga ulama yang menyatakan lain, misal mazhab Al-Hanafiyah yang menerapkan jarak 3 (tiga) hari perjalanan. Sementara itu, dari tulisan Abu Muhammad Abdul Jabbar dalam majalah Asy-Syariah No. 46/IV/1429 H/2008 diperoleh keterangan bahwa pembatasan safar dikembalikan kepada ‘urf atau kebiasaan masyarakat setempat. Selama masyarakat setempat menganggap suatu perjalanan sebagai safar maka perjalanan itu pun adalah safar.
Shalat Qashar
Jika shalat jamak bermakna menggabungkan 2 (dua) shalat fardhu maka dalam shalat qashar tidak ada penggabungan namun yang ada adalah meringkas atau mengurangi jumlah rakaat shalat (terbatas pada yang jumlah rakaatnya empat) menjadi 2 (dua) rakaat. Sehingga dalam hal shalat subuh tidak berlaku ketentuan ini, demikian juga shalat maghrib.
Adapun persyaratan jarak minimal agar seseorang yang bepergian boleh melaksanakan shalat qashar adalah sama dengan yang berlaku dalam shalat jamak dimana jumhur ulama dari kalangan Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah menyatakan minimal jarak adalah 4 (empat) burud atau 16 (enam belas) farsakh atau sekitar 88 kilometer. Karena yang digunakan adalah patokan jarak maka jika perjalanan melebihi 88 kilometer itu dapat ditempuh secara singkat, misalnya dengan pesawat terbang, tetap dianggap telah memenuhi syarat jarak minimal safar. Mazhab Asy-Syafi’iyah menambahkan bahwa kebolehan mengqashar shalat adalah si orang yang bersafar itu masih dalam keadaan melakukan perjalanan sepanjang shalat itu berlangsung. Artinya shalat qashar hanya boleh dilakukan dalam keadaan safar. Jangan sampai safar sudah selesai namun shalatnya masih berlangsung.
Shalat Jamak Qashar
Shalat jamak qashar adalah kombinasi sekaligus dari shalat jamak dan shalat qashar. Misalnya dalam suatu perjalanan, seseorang menggabungkan atau mengumpulkan shalat dzuhur dan shalat ashar pada waktu dzuhur dimana masing-masing shalat itu diringkas menjadi 2 (dua) rakaat. Maka shalat yang dilakukan itu disebut shalat jamak qashar takdim. Jika shalat di atas dilakukan di waktu ashar maka disebut shalat jamak qashar takhir. Biasanya para traveler atau seseorang yang melakukan safar lebih cenderung menggunakan metode ini meskipun bisa saja dilakukan shalat jamak saja atau shalat qashar saja. Hal ini guna mendapatkan sisi kepraktisan karena lebih cepat atau ringkas (dari sisi jumlah rakaat) dan tidak perlu lagi meluangkan waktu pada saat waktu shalat berikutnya datang. Apalagi pada saat safar biasanya di rest area sangat sibuk dengan lalu-lalang manusia dan adanya kebutuhan lain seperti makan, minum, atau ingin segera melanjutkan perjalanan.