Pada tulisan sebelumnya tentang negeri Campa telah disebutkan adanya seorang tokoh penyebar agama Islam bernama Maulana Malik Ibrahim yang pernah tinggal di Campa pada tahun 1379 sampai 1392. Nah, pada tulisan kali ini akan dibahas siapa sebenarnya Maulana Malik Ibrahim itu.
Maulana Malik Ibrahim atau Makdum Ibrahim atau Maulana Maghribi, atau ada juga yang menyebutnya sebagai Kakek Bantal, merupakan anak dari Syekh Jumadil Qubro. Ia juga merupakan saudara dari Maulana Ishaq yang menjadi ulama terkenal di Samudra Pasai.
Beberapa orang menyamakan Maulana Malik Ibrahim dengan Ibrahim Asmarakandi meskipun kedua nama itu adalah orang yang berbeda. Ayah Maulana Malik Ibrahim yaitu Barakat Zaenal Alam adalah adik dari Ibrahim Asmarakandi.
Dari beberapa sumber, ada yang menyebutkan ia berasal dari Persia, meski ada juga yang menyebutkan berasal dari daerah Maghrib, Afrika Utara, dan riwayat lain menyebutkan ia berasal dari Gujarat. Tetapi berdasarkan pembacaan prasasti pada baris kelima di makamnya, para sarjana arkeologi lebih cenderung berpendapat bahwa Maulana Malik Ibrahim berasal dari Kashan yaitu suatu tempat di daerah Iran sekarang.
Maulana Malik Ibrahim memiliki tiga istri, yaitu : (1) Siti Fathimah binti Ali Nurul Alam Maulana lsrail (Raja Champa Dinasti Azmatkhan). Darinya, ia memiliki dua putra yaitu Maulana Moqfaroh dan Syarifah Sarah; (2) Siti Maryam binti Syekh Subakir. Darinya, ia memiliki 4 (empat) putra yaitu Abdullah, Ibrahim, Abdul Ghafur, dan Ahmad; (3) Wan Jamilah binti Ibrahim Zainuddin Al-Akbar Asmaraqandi. Darinya, ia memiliki 2 (dua) anak yaitu Abbas dan Yusuf.
Setelah 13 (tiga belas) tahun bermukim di Campa, pada tahun 1392 M, Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa. Daerah pertama yang dituju adalah Desa Sembalo (sekarang daerah Leran, Kecamatan Manyar, Gresik), daerah yang masih berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit saat itu. Meskipun ia bukan orang Jawa, namanya terkenal di kalangan masyarakat Jawa, sebab ia yang menjadi pelopor penyebaran Islam di Jawa dengan pusat kegiatannya di Gresik, dekat Surabaya. Dalam proses dakwahnya kepada masyarakat, ia melakukannya dengan penuh hati-hati, bijaksana, dan mengadakan pendekatan personal pada masyarakat Jawa. Kepercayaan sebelumnya yang dipegang oleh masyarakat tidak ditentang begitu saja. Ia memperkenalkan budi pekerti yang diajarkan Islam dengan tutur kata yang sopan, lemah lembut sehingga banyak penduduk Jawa yang kemudian tertarik memeluk agama Islam.
Setelah cukup diterima di masyarakat, Maulana Malik Ibrahim kemudian melakukan kunjungan ke Ibukota Majapahit di Trowulan. Raja Majapahit meskipun tidak masuk Islam tetapi menerimanya dengan baik, bahkan memberikannya sebidang tanah di pinggiran kota Gresik. Demikianlah, dalam rangka mempersiapkan kader untuk melanjutkan perjuangan menegakkan ajaran Islam, Maulana Malik Ibrahim membuka pesantren di daerah itu yang merupakan kawah condrodimuko bagi estafeta perjuangan agama Islam di masa-masa selanjutnya
Maulana Malik Ibrahim adalah seorang diantara 9 (sembilan) wali yang tertua. Maulana Malik Ibrahim wafat pada tanggal 12 Rabiul Awal 822 Hijriah atau 9 April 1419 M dan dimakamkan di Gresik (sehingga ada yang menyebutnya sebagai Sunan Gresik meskipun ada teori lain yang menyatakan bahwa yang disebut Sunan Gresik sebenarnya adalah pamannya yang bernama Fadol Ali Murtado alias Raden Santri alias Raja Pandita yang merupakan kakek Sunan Kudus). Gelar dari Maulana Malik Ibrahim sendiri adalah Sunan Tandhes, Sunan Raja Wali, Wali Quthub, Mursyidul Auliya Wali Sanga, atau Sunan Gribig.
Hingga saat ini makamnya masih ramai diziarahi oleh umat Islam di Indonesia. Ritual ziarah tahunan atau haul juga diadakan setiap tanggal 12 Rabi'ul Awwal. Pada acara haul itu dilakukan khataman Al-Quran, mauludan (pembacaan riwayat hidup Nabi Muhammad) dengan disertai hidangan makanan khas bubur yang bernama harisah.