Pada tulisan sebelumnya disebutkan bahwa Prabu Brawijaya V atau Bhre Kertabhumi, raja terakhir Majapahit menikahi seorang putri dari Campa bernama Dwarawati.
Mengutip isi buku “Sejarah Islam di Jawa ; Menelusuri Genealogi Islam di Jawa” Cetakan I Januari 2020 karya Kamil Hamid Baidawi, para ahli berbeda pendapat tentang di mana sebenarnya letak negara Campa. Ada yang berpendapat bahwa Campa merupakan sebuah negara kecil di Vietnam atau versi lain di Kamboja. Pendapat lain menyebutkan bahwa Campa adalah sebuah daerah yang terletak di Aceh yang saat ini bernama Jeumpa. Sementara, ada juga yang berpendapat bahwa Campa adalah sebuah daerah di Muangthai.
Dr. Rouffaer telah mengidentifikasi bahwa nama Campa atau Cempa berasal dari “Jeumpa” yang berada di Aceh yaitu perbatasan antara Samalangan atau Simelungan dan Pasangan. Pendapat ini diperkuat dengan rute perjalanan yang ditempuh oleh orang-orang suci Islam lain seperti Syekh Ibnu Maulana dari Tanah Arab ke Jawa yang melewati Aceh, Pasai, Campa, Johor, dan Cirebon. Apabila Cempa atau Jeumpa ditukar tempatnya dengan Pasai maka rute perjalanan ini lebih masuk akal. Dalam sebuah petikan "Kroniek van Banjarmasin" tentang sejarah Jawa terdapat nama Pasai di tempat yang seharusnya menurut harapan orang adalah Cempa. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa Cempa (Jeumpa) dan Kota Pasai saling berhubungan.
Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Raffles, dalam bukunya “The History of Java” menyebutkan bahwa Campa bukan terletak di Kamboja tapi Campa adalah nama daerah di sebuah wilayah di Aceh yang terkenal dengan nama ”Jeumpa”. “Campa” adalah pengucapan atau logat “Jeumpa” dalam dialek Jawa. Karena penyebutannya inilah maka banyak ahli yang keliru dan mengasosiasikannya dengan Kerajaan Campa di wilayah Kamboja atau Vietnam. Jeumpa yang disebut Raffles sekarang berada di sekitar daerah Kabupaten Bireuen Aceh.
Campa sering dikaitkan dengan sebuah peristiwa pada jaman Kerajaan Majapahit di masa pemerintahan Prabu Brawijaya V yang memiliki seorang istri yang dikenal dengan sebutan ”Putri Campa” sebagaimana disebutkan dalam Babad Tanah Jawi. Nama lain Putri Campa itu adalah Dwarawati atau Anarawati yang beragama Islam.
Nama Campa juga dikaitkan dengan seorang tokoh penyebar agama Islam bernama Maulana Malik Ibrahim yang dinyatakan tinggal di Campa sekitar 13 tahun yaitu antara tahun 1379 sampai dengan 1392. Guna memastikan di manakah Campa yang telah ditinggali Maulana Malik dan saudara iparnya, Putri Campa, maka perlu diselidiki bagaimanakah keadaan Campa waktu itu, baik yang mengasumasikan berada di Kamboja maupun di Aceh.
Menurut beberapa catatan, Campa di Kamboja masa itu sedang diperintah oleh Chế Bồng Nga antara tahun 1360-1390 M yang dikenal dengan “The Red King (Raja Merah)”, seorang raja terkuat dan terakhir di Campa. Tidak diketahui apakah raja ini seorang muslim atau Budha sebagaimana mayoritas penduduk Kamboja yang di masa ini ditemukan banyak peninggalan kuil-kuil. Raja ini berhasil menyatukan dan mengkordinasikan seluruh kekuatan Campa pada masa kekuasaannya dimana pada tahun 1372, Campa menyerang Vietnam melalui jalur laut. Campa berhasil memasuki kota besar Hanoi pada 1372 dan 1377. Pada penyerangan terakhir di tahun 1388, Campa dikalahkan oleh Jenderal Vietnam, Ho Quy Ly, pendiri Dinasti Ho. Che Bong Nga lalu meninggal 2 (dua) tahun kemudian yaitu pada pada 1390. Tidak banyak catatan hubungan penguasa Campa ini dengan Islam, apalagi tidak didapati bekas-bekas kegemilangan Islam sebagaimana yang ditinggalkan para pendakwah di Perlak, Pasai ataupun Malaka.
Menurut catatan sejarah, yang terkenal dengan Sultan Cam atau Campa adalah Wan Abdullah atau Sultan Umdatuddin atau Wan Abu atau Wan Bo Teri Teri atau Wan Bo saja yang memerintah pada tahun 1471 M - 1478 M. Beliau adalah anak saudara dari Maulana Malik Ibrahim, yaitu anak dari adik beliau bernama Ali Nurul Alam. Wan Bo atau Wan Abdullah ini juga adalah bapak dari Syarief Hidayatullah, pengasas Sultan Banten sebagaimana silsilah yang dikeluarkan Kesultanan Banten Jawa Barat : Syarif Hidayatullah ibni Abdullah (Umdatuddin) ibni Ali Alam (Ali Nurul Alam) ibni Jamaluddin Al-Hussein (Sayyid Hussein Jamadil Kubra) ibni Ahmad Syah Jalal dan seterusnya.
Untuk mendukung teori Raffles bahwa Campa yang dimaksud bukan di Vietnam atau Kamboja sekarang tetapi di wilayah Jeumpa, Bireuen, Aceh, ada beberapa dalil yang dapat dikemukakan antara lain;
Popularitas “Jeumpa” di nusantara yang dihubungkan dengan puteri-puterinya yang cerdas dan cantik jelita, buah persilangan antara Arab-Parsi-India dan Melayu, yang di Aceh terkenal dengan “Buengong Jeumpa”, gadis cantik putih kemerah-merahan, tidak lain menunjukkan keistimewaan Jeumpa di Aceh yang sampai saat ini masih menyisakan kecantikan puteri-puterinya.
Pada masa kegemilangan Pasai, istilah puteri Jeumpa (lidah Jawa menyebut ”Cempa”) sangat populer mengingat sebelumnya ada beberapa Puteri Jeumpa yang sudah terkenal kecantikan dan kecerdasannya seperti Puteri Manyang Seuludong, permaisuri Raja Jeumpa, Salman al-Parisi, ibunda kepada Syahri Nuwi, pendiri kota Perlak. Puteri Jeumpa lainnya, Makhdum Tansyuri, yang menikah dengan kepala rombongan khalifah yang dibawa nakhoda, Maulana Ali bin Muhammad din Ja’far Shadik, yang melahirkan Maulana Abdul Aziz Syah, Raja pertama Kerajaan Islam Perlak. Mereka seterusnya menurunkan raja dan bangsawan Perlak, Pasai sampai Aceh Darussalam. Kecantikan dan kecerdasan puteri-puteri Jeumpa sudah menjadi legenda di antara pembesar-pembesar istana Perlak, Pasai, Malaka, bahkan sampai ke Jawa. Itulah sebabnya mengapa Raja Majapahit, Prabu Brawijaya V, sangat mengidam-idamkan seorang permaisuri dari Jeumpa sehingga ketika bertemu dengan Putri Jeumpa yang datang bersama dengan rombongan Maulana Malik Ibrahim dan para petinggi Pasai, sang raja langsung meminta Putri Jeumpa agar bersedia dijadikan sebagai permaisurinya.
Dalam sejarah pergerakan dakwah Islamiyah Nusantara abad ke IX-XV M sebagaimana yang disepakati para ahli sejarah Islam Nusantara, tidak pernah ada penyebutan pusat pergerakan Islam di sekitar daerah Vietnam atau Indo China sekarang namun sebaliknya tercatat berpusat di antara Perlak, Pasai, Malaka, Lamuri, Barus, ataupun Fansur di wilayah Aceh, yang di tengah-tengahnya terdapat Jeumpa. Sementara di Vietnam telah dibuktikan tidak banyak ditemukannya sayyid, syarief atau maulana dan makhdum serta ulama-ulama besar lainnya yang umumnya menjadi penggerak Islam. Juga tidak didapati peninggalan-peninggalan situs yang berhubungan dengan kegemilangan Islam. Di samping itu tidak didapatkan dalam sejarah bahwa Islam pernah gemilang di sekitar sana dengan pendirian kerajaan Islam.
Dengan demikian, maka Campa yang dimaksud dalam sejarah pengembangan Islam nusantara selama ini, yang menjadi tempat persinggahan dan perjuangan awal Maulana Malik Ibrahim, asal Putri Campa atau asal kelahiran Raden Rahmat (Sunan Ampel) bukanlah Campa yang berada di Kamboja atau Vietnam saat ini namun berada di Jeumpa dengan kota perdagangannya, Bireuen, yang menjadi bandar pelabuhan persinggahan dan laluan kota-kota metropolis zaman itu seperti Fansur, Barus dan Lamuri di ujung barat pulau Sumatera dengan wilayah Samudra Pasai ataupun Perlak di daerah sebelah timur yang tumbuh makmur dan maju. Wallahua’lam.
Referensi :
Putri Campa atau Putri Jeumpa ?...(menelusur Islam Nusantara). Purbo Kuncoro. 2012. https://web.facebook.com/legacy/notes/10150524317479461/
Jeumpa itu sebutan orang-orang yg lebih awal datang kesitu menyebut para imigran dari champa yg cantik-cantik.
ReplyDeleteWilayah ini lebih dikenal sbgai Wilayah Samudra Pasai yang batas Barat sampai ke Desa Ulim dan Timur sampai Ujung Jambuaye Pantonlabu.
Jadi Champa yg dimaksud Negerinya Che Bo Nga yang telah Islam, anak Che Bo Nga dikawinkan dengan Prabu Brawijaya V. yg juga Iparnya dari Maulana Malik Ibrahim.
Demikuan Terimakasih.