Ketika Nurbaya sedang berbincang-bincang dengan Alimah, kakaknya, terdengar dari kejauhan tukang jualan kue berteriak, “Kue bipang, kue kerambil, kue kacang, wajik lemang, enak-enak!”
“Mari kita panggil ia, Lim (Alimah)! Barangkali enak-enak kuenya,” kata Nurbaya pula. “Ah, apa gunanya? Jika engkau hendak makan kue, di lemari ada, aku sediakan untuk jamu yang datang. Aku sesungguhnya kurang suka makan kue yang dibeli di jalan raya, sebab tak tahu siapa yang membuatnya, dan biasanya barang dagangan itu tiada diindahkan amat memasaknya, terkadang kotor,” jawab Alimah.
“Bipang, bawa kemari!” seru Nurbaya. Setelah hampiri tukang kue itu, bertanyalah Alimah, “Kue dari mana ini?” “Kue Mak Sati,” jawab si penjual. “Mak Sati di Kampung Jawa?” tanya Nurbaya. “Saya,” jawab tukang kue itu. “Mengapa belum pernah kulihat engkau di Kampung Jawa?” tanya Nurbaya pula. “Hamba baru datang dari Padang Darat,” sahut tukang kue itu sambil membuka tempat kuenya.
“Kue wajik ini tak ada yang baru?” tanya Nurbaya. “Tak ada,” jawab tukang kue. “Akan tetapi jika Orang Kaya suka makan lemang bergula, ada yang masih panas.” “Mana?” tanya Nurbaya. “Ini,” jawab tukang kue seraya membuka tempat kue yang sebuah lagi dan memilih beberapa lemang yang masih hangat lalu ditunjukkannya kepada Nurbaya. “Baik, berilah empat buah lemang itu,” kata Nurbaya.
Setelah diambil Nurbaya beberapa kue yang lain, dibayarlah harga makanan itu lalu berangkatlah tukang kue itu, berjalan cepat-cepat keluar pekarangan. Lalu kedua perempuan itu pergi duduk ke serambi muka lalu bercakap-cakap pula, sedang Nurbaya membuka sebuah lemang akan dimakannya.
“Hai, mengapakah lemang ini pahit gulanya?” tanya Nurbaya. “Barangkali gula enaunya kurang baik atau angus memasaknya,” jawab Alimah. “Barangkali ini enak,” kata Nurbaya pula sambil mengupas sebuah lemang lagi. Yang pertama tadi telah habis dimakannya.
“Ah mengapa pening kepalaku ini rasanya?” “Barangkali kurang tidur tadi malam,” jawab Alimah. “Tidak. Siang tadi, lama aku tidur. Hai, seperti berputar penglihatanku.” “Marilah masuk, coba tidurkan!” “Ya,” jawab Nurbaya lalu berdiri hendak masuk ke ruang tengah. Tiba-tiba jatuhlah ia. Oleh sebab itu dipeluklah oleh Alimah lalu dibawanya masuk ke bilik dan ditidurkannya di atas tilam.
“Tolong pijit sedikit kepalaku ini, Lim! Barangkali benar, aku masuk angin.” “Baiklah,” jawab Alimah. Lalu dipijitnya kepala Nurbaya. Tiada berapa lama kemudian, tertidurlah rupanya. Tatkala memijit itu, berpikir Alimah dalam hati. “Mengapa Nurbaya tiba-tiba jadi pening? Apakah yang diperbuatnya tadi? Pukul setengah sebelas ia telah tidur. Biasanya sampai jauh malam ia masih bercerita dan bercakap-cakap.”
Walaupun Nurbaya telah terlena, masih dipijit juga oleh Alimah di kepalanya sampai beberapa lama. Ia takut adiknya itu akan terbangun karena kurang enak rasa badannya. Ketika ia berdiri hendak pergi tidur pula, diperhatikannya muka adiknya itu. Sangatlah ia terperanjat melihat Nurbaya sebagai tiada bernafas lagi. Lalu diguncangkannya badan Nurbaya supaya bangun. Tetapi sesungguhnya perempuan malang itu sudah tiada. Maka menjeritlah Alimah meratap menangis amat sangat sehingga ibu bapanya terperanjat bangun dan datang berlari-lari. Tatkala dilihat Fatimah, Nurbaya terhantar di tempat tidurnya, tiada bergerak lagi, lalu berteriaklah pula ia menangis dengan memukul-mukulkan tangannya. Orang sebelah-menyebelah pun gempar hendak mengetahui apa yang terjadi. Tetapi seorang pun tak dapat memberi keterangan yang nyata selain daripada Nurbaya telah meninggal.
Oleh dokter yang hendak menolong Nurbaya meski sia-sia, disodorkan lemang yang tinggal lagi dengan kue-kue lain untuk diperiksa. Pada keesokan harinya diketahui bahwa Nurbaya termakan racun. Itulah yang menyebabkan mautnya. Meskipun perkara terserah ke tangan polisi tetapi yang bersalah tiada kedapatan.
Pada keesokan harinya, tatkala sampai kabar kematian Nurbaya kepada Sitti Maryam, ibu Samsu, yang sedang sakit keras di Kampung Sebelah, tiba-tiba berpulanglah pula ibu Samsulbahri ini sebab kabar kematian Nurbaya sangat menyedihkan hatinya.
Pada hari itu kelihatanlah dua jenazah dibawa ke Gunung Padang. Kedua perempuan yang sangat dicintai Samsu itu dikuburkan dekat makam Baginda Sulaiman, ayah Sitti Nurbaya.
Sementara itu, Samsu di rumah Sekolah Dokter Jawa di Jakarta menerima surat kawat. “Dari siapakah kabar kawat ini dan bagaimanakah bunyinya?” katanya dalam hati. “O, barangkali dari Nurbaya, memberitahu ia kana datang kemari.”
Sambil berpikir demikian, dibukanya surat kawat itu dengan tangan gemetar. Setelah dibacanya, jatuhlah ia pingsan sebab surat itulah yang membawa kabar kematian Nurbaya dan ibunya.
Sumber : Novel “Siti Nurbaya ; Kasih Tak Sampai” karya Marah Rusli. Penerbit Balai Pustaka.