Badannya tinggi kurus dengan punggung bungkuk udang, dadanya cekung serta kakinya pengkar. Bentuk kepalanya besar tetapi tipis di muka.
Rambutnya tinggal sedikit di
sekeliling kepalanya. Misai dan janggutnya panjang namun hanya beberapa helai
saja. Umurnya lebih dari setengah abad. Matanya kecil tetapi tajam. Mulutnya
besar dan giginya kotor. Kulit mukanya karut marut dan penuh dengan bekas
penyakit cacar.
Itu dia gambaran seorang tua
bernama Datuk Meringgih. Saudagar yang bakhil, loba, dan tamak serta kasar budi
pekertinya. Namun demikian ia disegani orang juga sebab hartanya yang tiada
ternilai, lebih-lebih bagi mereka yang acap kali kesusahan uang.
Sementara nun jauh di sana. Di Jakarta,
Samsulbahri sudah tiga bulan menetap di kota itu. Tiga bulan lamanya pula Nurbaya
berpisah dengan kekasihnya itu. Tiada dapat melihat wajahnya maupun
mendengarkan suaranya. Biarpun buah hatinya itu telah hilang dari matanya namun
makin kelihatan ia dalam kalbunya. Ia pun terserang demam. Pada batinnya
bertambah menanggung kesakitan. Ketika itulah baru diketahui benar-benar bahwa
betapa besar harga kekasihnya itu baginya.
Ia hanya bisa mencoba melipur
hati. Samsu tentu tiada lama lagi akan kembali. “Aduh alangkah senang hatiku
kelak apabila telah menjadi istrimu, Samsu. Memang patut aku duduk bersamamu
bila engkau telah lulus sebagai dokter,” demikianlah kenang-kenangan Nurbaya
pada suatu malam. “Ah, tetapi waktu itu masih lama lagi,” katanya pula. “Masih
tujuh tahun. Adakah dapat aku menunggu selama itu?” “Mengapa tidak,” jawabnya kepada
dirinya sendiri. “Ingatlah kata pantun : Lurus jalan ke Payakumbuh, bersimpang
lalu ke Kinali, Jika hati sama sungguh, kering lautan dapat dinanti.”
Tatkala Nurbaya sedang melamun
itu, tiba-tiba didengarnya suara, “Surat pos,” sehingga terkejutlah ia. Di
tangga rumahnya terlihat seorang tukang pos berdiri memegang sepucuk surat.
Segera setelah diambil lalu dibaca pengirimnya : Samsu, kekasihnya, yang sedang
diingat-ingatnya dalam waktu yang bersamaan. Muka Nurbaya berseri karena besar
hatinya. Segeralah ia lari ke dalam biliknya lalu dengan hati berdebar
dibukanya surat itu. Setelah membaca berbait-bait pantun kerinduan dari Samsu,
seketika itu berlinanglah air matanya. Selanjutnya Samsu menulis, “Adikku
Nurbaya, begitulah penanggunganku. Bukan sedikit beratnya perpisahan ini
rasanya. Bukan engkau saja yang terbayang di mataku namun ibu bapa, handai
tolan, dan teman sejawatku yang kutinggalkan di Padang. Tolonglah sampaikan
sembah sujudku kepada orang tuamu dan orang tuaku serta salam ta’zimku kepada
sekalian handai tolan, teman sejawat kita, dan sambutlah peluk cium dari
kekasihmu yang jauh ini.” Setelah surat itu dibaca Nurbaya lalu diciumnya dan
diletakannya ke atas dadanya, ke tempat jantungnya yang berdebar, lalu
disimpannya ke dalam lemari pekaiannya. Pada malamnya ia mengulang surat-surat
Samsulbahri lalu dibacanya sehelai-sehelai sampai tertidurlah ia.
Tiba-tiba kira-kira pukul dua
malam, terbangunglah ia karena mendengar bunyi tabuh pertanda ada rumah yang
terbakar. Kelihatan dari balik jendela rumahnya asal api itu berada. Rupanya
yang terbakar adalah toko Baginda Sulaiman, ayah Nurbaya. Sejam kemudian
habislah ketiga toko Baginda Sulaiman yang terbakar habis dengan isi-isinya.
Dalam surat Nurbaya kepada Samsu
dituliskan kejadian toko ayahnya yang terbakar.”Seperti cerita yang kudengar dari ayahmu pada pemeriksaan yang
dijalankan, ada tanda-tanda yang menyatakan pembakaran oleh orang karena dekat
sana ada bekas tempat minyak dan puntung suluh. Sungguhpun demikian, sampai
sekarang belum juga dapat keterangan siapa yang berbuat jahat itu. Oleh sebab
kebakaran itu perbuatan orang dan api makan sangat cepatnya, tiadalah dapat
ketolongan sepotong barang pun. Oleh sebab ketiga toko itu belum dimasukkan
asuransi, rugilah ayahku pada malam itu kira-kira lima puluh ribu rupiah.”
“Tiada lama kemudian rupanya ayahku meminjam duit kepada Datuk
Meringgih sebanyak sepuluh ribu dengan janji bagi ayahku tiadalah kuketahui.
Setelah sampai masa tiga bulan, datanglah Datuk Meringgih meminta uangnya
kembali. Namun ayahku tiada beruang lagi. Setelah dipinta ayahku dengan susah
payah, barulah diberinya tangguh sepekan lagi, akan tetapi dengan perjanjian,
apabila dalam sepekan itu tiada juga dibayar hutang itu tentulah akan disitanya
rumah dan barang-barang ayahku dan ayahku akan dumasukkan ke dalam penjara.”
“Aku tahu, Nur, bahwa engkau tiada suka kepada Datuk Meringgih,” kata
ayahku pada malam itu. “Pertama, umurnya telah tua. Kedua, rupanya tak elok.
Ketiga, tabiatnya keji. Dan aku tahu pula bagaimana hatimu kepada Samsu. Aku
pun tiada lain melainkan itulah yang kucita-citakan yakni melihat engkau duduk
bersama Samsu kelak.”
“Sungguhpun aku tahu akan sekalian itu, tapi hendak juga kutanyakan
pikiranmu supaya jangan sampai menjadi sesalan di kemudian hari karena engkau sendirilah
yang dapat memutuskan perkara ini. Jika sudi, engkau menjadi istri Datuk
Meringgih, selamatlah aku, tak masuk ke dalam penjara. Akan tetapi jika tak
sudi, niscaya aku aku akan jatuh ke dalam tangannya. Sesungguhnya aku berlebih
suka mati daripada memaksa engkau kawin dengan orang yang tiada kau sukai.”
“Semalam-malaman itu tak dapat aku pejamkan mataku barang sekejap pun.
Sungguhpun mataku terbuka tetapi tak dapat aku berpikir apa-apa. Keesokan hari,
tiada berapa lama, datanglah Datuk Meringgih dengan dua orang Belanda. Karena
ayahku menyatakan tak sanggup membayar hutangnya, pegawai Belanda itu
mengatakan akan menyita rumah dan sekalian harta benda ayahku.”
“Tatkala kulihat ayahku akan dibawa ke dalam penjara, gelaplah mataku
dan hilanglah pikiranku. Lalu keluarlah aku dari kamar dan berteriak, “Jangan
penjarakan ayahku! Biarlah aku menjadi istri Datuk Meringgih!” Mendengar itu,
terseyumlah Datuk Meringgih yang pada penglihatanku sebagai senyum seekor
harimau yang hendak menerkam mangsanya.”
“Ayahku tiada dapat berkata-kata apa melainkan datang memelukku sambil
bertanya, “Benarkah katamu itu?” Sejak waktu itulah, Samsu, aku menjadi istri
Datuk Meringgih…”
Setelah membaca surat itu, Samsu
menundukkan kepalanya ke atas meja, menangis amat sangat karena meratapi nasib
kekasihnya dan dirinya sendiri. Segala cita-cita hatinya yang sekian lama
diharapkan, pada saat itu hilang lenyap. “Alangkah malangnya nasibku ini”
demikian buah tangis Samsulbahri seorang diri.
Setelah menangis amat sedih, ia
pun tiba-tiba berdiri dan mengepalkan tangan. “Demi Allah demi Rasul-Nya!
Selagi ada napas di dalam dadaku, akan kubalas jua kejahatan ini! Tiada puas
hatiku sebelum kutuntut bela atas aniaya ini!”
Sumber : Novel “Siti Nurbaya ; Kasih Tak Sampai” karya Marah Rusli. Penerbit Balai Pustaka.