Samsulbahri yang biasa dipanggil Sam atau Samsu oleh teman-temannya adalah anak Sutan Mahmud Syah, seorang penghulu di Padang yang berpangkat dan berkedudukan tinggi.
Samsu merupakan sosok anak yang pandai sehingga gurunya mengusulkan agar si Samsu ini disekolahkan ke Sekolah Dokter Jawa di Jakarta. Tidak hanya pandai, Samsu memiliki kelakuan yang sopan, halus budi pekerti dan bahasa. Meskipun demikian, ia juga bukan seorang penakut. Ia bisa diuji kekuatan dan keberaniannya dengan siapa saja, terutama jika membela yang lemah.
Sementara Sitti Nurbaya adalah salah satu teman Samsu. Ia biasa dipanggil Nur atau Nurbaya saja, anak Baginda Sulaiman, seorang saudagar kaya di Padang yang memiliki beberapa toko besar dan kebun yang luas. Nurbaya ini pun boleh dikata adalah gadis yang tidak bercacat. Tidak hanya rupa yang cantik namun adat dan sopan santunnya tidak kalah dengan kecantikan parasnya.
Kedua orang tua Samsu dan Nurbaya juga merupakan dua orang sahabat karib. Hampir setiap hari Baginda Sulaiman datang ke rumah Penghulu Sutan Mahmud Syah. Begitu juga sebaliknya, Penghulu juga sering datang ke rumah saudagar itu. Oleh karena itu, Samsu dan Nurbaya tidak berasa saling asing. Mereka juga sama-sama merupakan anak tunggal yang tiada kakak beradik.
Suatu ketika Samsu, Nurbaya, dan teman-temannya bermain ke Gunung Padang. Keduanya lalu mencari suatu tempat yang tinggi untuk melihat kapal-kapal yang berlayar dan keluar masuk Pelabuhan Teluk Bayur. “Ke manakah perginya kapal itu, Sam?” tanya Nurbaya. “Tentulah ke Aceh dan Sabang,” jawab Sam. “Kemudian ke mana terusnya?” tanya Nurbaya lagi. “Kembali pula ke mari lalu ke Jakarta,” jawab Samsu.
“Barangkali dengan kapal itu, kau kelak pergi ke Jakarta,” kata Nurbaya. Mendengar perkataan itu, bertukar wajahlah muka Samsu, dari riang menjadi muram. Nurbaya heran lalu bertanya, “Mengapa kau tiba-tiba diam, Sam? Kurang enakkah badanmu?.” “Bukan, Nur. Hanya sebab engkau tadi menyebut nama negeri tempat aku akan pergi, tiga bulan lagi,” jawab Samsu. “Tetapi berat hatiku akan meninggalkan kota Padang ini karena di sinilah ada ayah bundaku, keluargaku, handai tolanku.”
“Jika rindumu tiada hendak hilang, baiklah kau lipur hatimu dengan pikiran bahwa kau ada di Jakarta untuk sementara. Oleh sebab itu pikiranmu tak boleh tergoda oleh yang lain. Apabila telah sampai maksudmu itu kelak, tentulah kau segera dapat pulang kembali dan bertemu dengan sekalian yang kaucinta” kata Nur. Maka Sam pun menimpali, “Sesungguhnya sangat khawatir hatiku meninggalkan…” Hingga Samsu berhenti dan tak berani menyebut nama orang yang dikhawatirkan itu. “Meninggalkan siapa, Sam?” tanya Nurbaya. “Adakah orang di sini tempat hatimu tersangkut?” “Meninggalkan engkau, Nur,” jawab Samsu berterus terang. “Aku?” tanya Nurbaya pula keheranan. “Ya,” jawab Samsu pendek.
Pada saat hari yang tiba saat Samsu hendak berangkat ke Jakarta, ia bercakap kepada Nurbaya, “Nur, karena besok aku akan meninggalkan kota Padang ini dan entah berbalik entah tidak, sebab itu pada sangkaku, inilah waktunya akan membukakan rahasia hatiku. Ketahuilah olehmu, Nur, bahwa aku sangat mencintaimu. Percintaan ini telah lama kusembunyikan dalam hatiku. Sekarang baru kubukakan karena siapa tahu barangkali tak dapat aku kembali lagi. Jika tiada kubukakan rahasiaku ini kepadamu, pastilah ia menjadi duri dalam daging padaku, terasa sebilang waktu.”
“Dengarlah olehmu pantun ini : Bulan terang bulan purnama, nagasari disangka daun, Jangan dikata bercerai lama, bercerai sehari rasa setahun.” Mendengar pantun Samsu, terdiamlah Nurbaya sambil menundukkan kepalanya, tiada berkata-kata sejurus lamanya. Lalu Samsu bertanya kepada Nurbaya, “Sudikah engkau kelak menjadi istriku apabila aku telah berpangkat dokter?” “Masakan tak sudi,” sahut Nurbaya perlahan sebagai takut mengeluarkan perkataan itu.
Pada saat yang ditentukan, naiklah Samsu ke atas kapal yang hendak membawanya ke Jakarta. Ia berada di kelas dua, sedang berkumpul dengan ibu bapak, sanak saudara dan sahabatnya. “Tak kelupaan apa-apa engkau, Sam?” tanya Sutan Mahmud. “Tidak, ayah,” sahut Samsu. “Ingat-ingat engkau di negeri orang, Samsu!” kata ibunya. “Belajar sungguh-sungguh. Jangan suka beriang-riang tiada pada tempat dan waktunya. Jangan bercampur dengan orang yang kurang baik,” kata ayahnya pula.
Tatkala itu ada Nurbaya yang berdiri di dekat Samsu. Walaupun ia tiada mengindahkan segala percakapan itu, tetapi pikirannya kepada Samsu saja dan dipandangnya kekasihnya itu dengan tiada putus-putusnya. Entah berapa tahun lagi ia baru dapat melihat wajah Samsu.
Setelah saling berjabat salam dengan keluarga, keluarlah mereka sekalian sehingga tinggal Samsu dengan Nurbaya. Maka dipandanglah oleh Samsu muka kekasihnya itu sedang air matanya bercucuran keluar. Lama ia berdiri tiada dapat berkata-kata. Akhirnya keluarlah juga suaranya walaupun terhenti-henti, “Nurbaya, ingat-ingat menjaga diri. Jika ada apa-apa lekas tulis surat kepadaku.”
Nurbaya pun air matanya jatuh bercucuran. “Aku banyak minta terima kasih kepadamu, Sam,” jawab Nurbaya. “Aku mengucapkan selamat jalan kepadamu. Moga-moga Tuhan memeliharakan engkau dalam perjalanan, pulang balik, dan sampai juga maksud yang kau tuju. Apabila engkau telah ada di sini kelak, bukannya Samsu saja lagi namamu melainkan dapatlah kupanggil engkau dokter Samsu.”
Setelah menaiki kapal, Samsu lalu berdiri di pagar besi di sisi geladak kapal. Seruling kapal telah berbunyi ketiga kali sehingga dilepaskanlah tali-temali dan diangkatlah jangkar kapal. Kapal mulai bergerak perlahan. Samsu tiada lepas memandang Nurbaya. Makin lama kapal berjalan semakin cepat meninggalkan Pelabuhan Teluk Bayur.
Sumber : Novel “Siti Nurbaya ; Kasih Tak Sampai” karya Marah Rusli. Penerbit Balai Pustaka.