Hamka atau singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah selain dikenal sebagai Ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia) pertama, juga merupakan seorang sastrawan dan wartawan yang antara lain terkenal dengan novelnya yang berjudul “Di Bawah Lindungan Ka’bah” dan “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.”
Jika kedua novel tersebut menceritakan tentang kisah romantisme anak muda, perjalanan hidup Hamka sendiri juga tidak kalah menariknya dari kisah percintaannya yang berliku. Nah, di sini saya akan mencoba menshare kisah cinta dari ulama kondang Indonesia yang juga berhasil membuat buku fenomenal “Tafsir Al-Azhar.”
Dikutip dari Republika, gelora muda Hamka dalam kisah romansanya sempat dituangkan dalam buku "Kenang-Kenangan Hidup" Jilid 1 (cet. 3, 1974) yang menyebut seorang gadis pujaannya sebagai “pujaan di Padang Panjang.” Dalam buku itu, Hamka muda berterus terang menyadari sebagai orang yang “lekas jatuh hati kepada gadis-gadis.” Saat melihat gadis cantik, dia harus berusaha menahan diri dan menarik nafas panjang. Namun kutipan Republika itu belum saya temukan langsung dalam buku yang dimaksud. Hanya saja terdapat sebuah paragraf yang ditulis Hamka sebagai berikut, “Dengan berjalan kaki seorang diri, didakinya kelok 44 sewaktu tengah hari, semasa air danau tenang tidak beriak. Lelah, dia berhenti. Lepas lelah baru berjalan pula. Menuju Bukittinggi, terus ke Padang Panjang menemui gadis pujaannya, terus ke Padang.”
Namun kisah pertemuannya dengan seorang gadis lain dalam sebuah kapal saat perjalanan ke Mekkah begitu gamblang dijelaskan Hamka dalam buku Kenang-Kenangan Hidup tersebut. Pada permulaan Februari 1927, Hamka meninggalkan Pelabuhan Belawan menuju Jeddah, menumpang kapal Karimata kepunyaan Stoomavaart Maatschappij Nederland. Ia diketahui berusia 19 tahun saat kapal lepas dari Laut Ceylon menjelang Laut Socotra. Saya kutipkan kisah romansa yang dimuat dalam buku Kenang-Kenangan Hidup itu sebagai berikut :
Sudah bebas lepas laksana lautan yang luas itu. Empat belas hari di lautan, hanya sekali-sekali melihat daratan. Waktu itu sempatlah dia kembali mengenangkan dirinya dan tujuan hidupnya. Terbayang kecintaan dan pengharapan ayahnya kepada dirinya. Kadang-kadang termenunglah dia melihat lautan dan pikirannya menjalar jauh sekali ke balik ufuk, ke arah lapangan hidup yang belum tentu. Ke Mekah hanya dengan kekerasan hati, tidak ada belanja dan belum tentu bagaimana ujungnya nanti. Entah akan terus ke Mesir atau akan menetap di Mekah. Entah akan kembali pulang.
Mulanya pergaulan hanya dengan dua orang temannya yang sama-sama dari Belawan di palka di atas dek. Setiap shubuh dia bangun dan adzan, sesudah itu shalat diikuti oleh temannya. Demikian juga waktu ashar dan maghrib, dia duduk membaca Al-Qur’an dengan suara yang merdu. Lama-lama karena kepandaiannya bergaul, bersembahyang, beribadah, lekaslah banyak kenalannya. Saat panas di palka karena jamaah haji tidak kurang dari 1400 orang, naiklah orang di bawah ke atas dek. Di sanalah ia dapat berkenalan dengan jamaah haji dari Priangan dengan orang-orang Sunda yang baik hati. Karena bagus bacaan Qur’annya, dia dipanggil ajengan yaitu Ajengan Abdul Malik.
Karena agaknya ada pula di kalangan jamaah dari Sunda itu gadis-gadis cantik. Saat hari telah petang, matahari akan terbenam, mereka naik bersama-sama ke atas dek dengan lenggak-lenggok gaya manis. Rupanya ada diantara mereka gadis muda 17 tahun, hitam manis dan semampai badannya. Sungguh benar gadis itu menumpang duduk ke pinggir palka ke tempat pemuda kita. Habis maghrib si pemuda telah membaca Al-Qur’an. Dia yakin bahwa tidak lama lagi, kenalannya akan naik ke atas. Sebelum dia naik, pemuda kita belum berhenti membaca Al-Quran. Agaknya dalam usia demikian adalah zaman pertumbuhan, lekas kena. Darahnya sudah berdebar-debar saja kalau Kulsum, nama perempuan itu, terlambat naik ke atas dek. Akan tetapi, kalau telah berhadapan, dia bodoh dan tidak pandai bercengkerama. Meskipun Kulsum telah duduk di pinggir palka tempatnya, dia membisu saja. Ketika itu telah lupa rupanya pujaan di Padang Panjang.
Dua hari lagi akan sampai mereka di Pelabuhan Jeddah. Hari ketika itu masih pagi, kira-kira pukul sembilan, jamaah banyak berdiri di tepi kapal. Angin berembus agak sejuk karena penghujung bulan Februari masih dalam lingkungan musim dingin. Kulsum berdiri merenungi lautan, melihat kapal memecah laut, ikan lumba-lumba beriring-iring menurutkan kapal. Alangkah cantiknya janda muda itu kena cahaya panas pagi, ujung selendang dikibas-kibaskan angin. Wajahnya tenang melihat laut, tetapi di sana terbayang pengharapan. Tiba-tiba pemuda kita setelah melihat gadis itu datanglah dia ke sana. Sama-sama membisu karena tidak mengerti bahasa masing-masing, tetapi penglihatan yang sayu dari kedua belah pihak dapatlah menggambarkan apa gerangan yang menggelora dalam hati masing-masing.
Dengan tenang pemuda kita mengambil sehelai sapu tangan putih dari saku bajunya yang telah dilipat halus lalu diberikannya kepada Kulsum dan dia berkata dalam bahasa Melayu dengan tenang menghamparkan rasa hatinya, “Tidak lama lagi berpisahlah kita. Moga-moga sesampai di Mekah kita dapat bertemu lagi. Terimalah hadiahku ini sebagai kenang-kenangan.”
Yang kejadian esoknya adalah lebih mengharukan lagi. Pada jam yang sama, waktu yang sama, seakan-akan telah mengikat janji. Kulsum telah berdiri terlebih dahulu di pagar dek kapal tempat dia berdiri kemarin. Pemuda kita pun pergi menghampirinya, sama-sama melihat lautan. Mereka tidak peduli begitu banyak jamaah haji di sekeliling mereka. Dia tersenyum, Kulsum pun tersenyum. Lalu Kulsum mengulurkan dari celah-celah kutangnya, sehelai sapu tangan putih berpinggir biru seraya berkata, “Hadiah abdi ka Ajengan.”
Dari cerita di atas, meskipun di yang paling memungkinkan, Hamka memiliki peluang untuk menikahi wanita lain namun ia masih teringat dengan gadis pujaannya di Padang Panjang. Dua tahun setelah melakukan perjalanan ke Mekah, ia pun menikahi Siti Raham, anak gadis Minang. Saat itu usia Hamka 21 tahun sedangkan Siti Raham 15 tahun. Perkawinan itu berlangsung pada tanggal 5 April 1929.