Taman Fatahillah yang sebelumnya bernama Stadhuisplein merupakan sebuah lapangan yang berada di kawasan pusat Kota Tua Jakarta. Tempat ini dikelilingi oleh beberapa bangunan tua seperti bekas Balai Kota Jakarta yang sekarang menjadi Museum Fatahillah, Museum Wayang, Kantor Pos Kota, dan bekas gedung Pengadilan Tinggi Batavia yang sekarang menjadi Museum Seni Rupa dan Keramik.
Menurut sebuah lukisan yang dibuat oleh pegawai VOC, Johannes Rach, yang berasal dari Denmark, di tengah lapangan tersebut terdapat sebuah air mancur yang merupakan satu-satunya sumber air bagi masyarakat setempat. Air itu berasal dari Pancoran Glodok yang dihubungkan dengan pipa menuju stadhuisplein. Pada 1972 penggalian terhadap lapangan tersebut dilakukan dan menemukan fondasi air mancur lengkap dengan pipa-pipanya. Bukti sejarah itu dapat dibangun kembali sesuai gambar Johannes Rach, lalu terciptalah air mancur di tengah Taman Fatahillah. Keberadaan air mancur ini menambah keindahan di sekeliling Museum Fatahillah. Pemda DKI Jakarta pada tahun 1973 memfungsikan kembali taman tersebut dengan memberi nama Taman Fatahillah yang mengambil nama seorang tokoh yang berhasil memimpin perebutan Sunda Kelapa dari tangan Portugis yaitu Fatahillah.
Salah satu benda bersejarah yang menarik dilihat namun masih jarang diketahui pengunjung adalah keberadaan Meriam Si Jagur yang berada di pinggir Taman Fatahillah (di sebelah utara). Dari beberapa literatur disebutkan bahwa Meriam Si Jagur tersebut dibuat di Macau, China, oleh seorang Purtugis bernama Manoel Tavares, lalu ditempatkan di benteng St Jago de Barra. Lalu meriam itu dibawa Portugis ke Malaka untuk mempertahankan bentengnya di sana. Menurut sejumlah catatan, Si Jagur dibuat dari peleburan 16 meriam kecil lainnya sehingga oleh si pembuatnya diukir sebuah tulisan “Ex Me Ipsa Renata Sum” atau “aku diciptakan dari diriku sendiri.”
Selanjutnya, ketika Portugis dikalahkan Belanda pada tahun 1641, Si Jagur dibawa ke Batavia dibawa oleh Belanda di bawah bendera korporasi dagang VOC. Pada mulanya, meriam ini ditempatkan di Benteng Batavia guna menjaga pelabuhan. Lalu sempat dipindahkan ke Kota Intan dan Museum Nasional sebelum dipindahkan ke halaman belakang bekas Balai Kota (Stadhuis) yang kemudian belakangan dipindahkan lagi bagian sisi utara dari Taman Fatahillah sampai saat ini.
Di balik keberadaan Si Jagur terdapat mitos yang berkembang dimana bagi mereka yang mandul atau sulit memperoleh keturunan, apabila menyentuh atau “menduduki” meriam tersebut dipercaya bakal segera dikaruniai keturunan. Literatur lain menyebutkan, banyak sekali orang menziarahi Si Jagur saat meriam tersebut masih ditempatkan di dekat Jembatan Kota Intan. Mungkin karena takhayul itu akan terus berlanjut dan guna menjaga keberadaannya dari tangan-tangan jahil, kini Meriam Si Jagur diberi pagar pembatas keliling.
Dalam sebuah literatur dikatakan bahwa Si Jagur ini tak sendirian. Ia mempunyai pasangan tempur yang bernama Ki Amuk yang kini berada di Museum Banten. Jika kedua meriam ini disatukan konon bisa mengusir penjajah Belanda. Ada lagi pasangan Si Jagur yang lain yang kini berada di Solo yakni meriam Nyai Setomi.