Dua ormas (organisasi kemasyarakatan) terbesar di Indonesia : Muhammadiyah dan NU (Nahdlatul Ulama) telah berhasil menanamkan indoktrinasi dan pencucian otak terhadap masing-masing anggotanya. Setidaknya saya sendiri mengalami masa-masa kecil dimana aroma permusuhan diantara kedua ormas tersebut sangat kental.
Entah mengapa sejak dulu (dan mungkin sampai sekarang masih ada sisa-sisanya), kedua ormas itu ibarat air dengan minyak yang tidak mungkin bersatu, padahal sang pendirinya sama-sama berkawan : KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), dan KH Hasyim Asyari (pendiri NU).
Saya tidak mengada-ada tentang fenomena ini. Jika Anda lahir di tahun 1980-an dan sebelumnya, terutama jika lahir dan dibesarkan di pelosok desa di Jawa, akan terlihat nuansa perbedaan yang sering berujung pada rasa permusuhan. Dan konyolnya, kedua ormas itu lebih mengedepankan “berperang” argumentasi dan dalil hanya untuk perkara-perkara furu’ yang dari adanya madzhab imam terdahulu sudah terjadi perbedaan pendapat.
Beberapa hal yang sering menjadi sumber permusuhan antara NU dan Muhammadiyah adalah berujung pangkal pada soal-soal yang berputar pada itu-itu saja : qunut, tahlilan, shalawatan, jumlah rakaat tarawih, tawassul, hisab-rukyat, dan sebagainya. Bahkan waktu saya masih SD sudah “dijejali” dengan pemahaman ekstrim tentang jumlah takbir dalam takbiran hari raya iedul fitri maupun iedul adha. Jum'atan dan sholat harian dilarang dilakukan di masjid non Muhammadiyah. Karena saya berasal dari garis keturunan yang “berafiliasi” pada Muhammadiyah maka otak saya pun sudah kemasukkan paham-paham yang dikeluarkan oleh Muhammadiyah melalui ustadz-ustadz yang bersikap idealis. Generasi jaman itu sudah dicuci otaknya tanpa memberikan ruang untuk memilih. Padahal dari referensi-referensi lain dijumpai adanya fatwa-fatwa yang sudah usang dan dipertanyakan oleh ustadz-ustadz terkini, termasuk soal jumlah sholat tarawih yang dulunya dicekoki dengan doktrin hanya berjumlah maksimal 11 rakaat. Sampai masalah soal pembagian daging aqiqah yang harus matang pun menjadi bahan cuci otak generasi saat itu.
Dan ternyata permusuhan itu tidak terhenti di jaman sekarang yang seharusnya sudah masuk pada era modern dan keterbukaan dimana masing-masing pengikut seharusnya lebih mengedepankan rasa toleransi. Beberapa kasus yang mencuat dan terjadi belakangan ini seakan membuka mata dan telinga bahwa 2 (dua) ormas itu memang tak mungkin dapat saling menghormati. Belum lagi dengan kehadiran “kompor” berikutnya dari organisasi lain yang selalu mengklaim paling sunnah dan bermanhaj salaf dimana cara dan gaya berdakwahnya saja tidak mencerminkan cara berdakwah ala Rasulullah SAW yang seharusnya penuh dengan kelembutan. Kata-kata bid’ah seolah-olah menjadi obralan perkataan yang mudah sekali keluar dari mulut ustadz-ustadz tersebut. Tidak ada golongan selain dirinya yang benar. Jadi, semuanya sebelas dua belas, sama saja. Masing-masing terlalu mengagungagungkan kebenaran versi dirinya dan kurang ber-tasammuh dan bertoleransi dengan perbedaan pendapat yang bersifat khilafiuah.
Cukup mengagetkan berita yang beredar bahwa dari suatu sumber terjadi tarik-menarik antar kekuatan ormas, misalnya saja pada kasus Rumah Sakit Islam Purwokerto, pendirian fakultas kedokteran pada perguruan tinggi yang berafiliasi kepada dua ormas itu, dan pemilihan rektor UIN Yogyakarta yang terefleksikan dalam hujatan keras dari Nurkholik Ridwan terhadap Buya Ahmad Syafii Maarif di media sosial. Disamping itu muncul saling sikut-sikutan di beberapa kementerian (terutama di institusi-institusi di bawah kementerian agama), saling mengkritik dan kecam perihal macam-macam. Yang lebih memprihatinkan, disinyalir pada kedua ormas itu juga terdapat provokator yang ingin “mengail di air keruh.”
Dan ternyata setelah dirunut mengapa terjadi kelahiran organisasi NU di tahun 1926 menyusul berdirinya Muhammadiyah yang sebelumnya sudah ada di tahun 1912, benih-benih konfliknya sendiri sudah ada sebelumnya yang menimpa kedua organisasi tersebut. Konflik makin meruncing dalam peta perpolitikan saat muncul Partai Masyumi ketika Muhammadiyah masuk menjadi anggota istimewa namun NU seperti tak terwakili meski merasa memiliki suara yang sangat besar.
Warna politik lebih terasa dan kental sekali daripada isu ideologis dalam konflik antara NU dan Muhammadiyah pada era tahun 1950 dan 1960-an. Konflik inilah yang menjadi alasan pendirian Partai NU yang memisahkan diri dari Masyumi. Rasa saling tidak suka antara sebagian warga NU dan Muhammadiyah kembali terungkit dalam kasus penurunan Gus Dur dari posisi presiden oleh MPR yang ketika itu dipimpin Amien Rais.
Hampir tidak ada tokoh-tokoh penting diantara kedua ormas itu yang berusaha meredakan suasana. Paling-paling muncul dari sosok-sosok ustadz yang berusaha bersikap di tengah-tengah dan moderat seperti Ustadz Adi Hidayat, Ustadz Abdul Shomad, dan lain-lain. Maka tidak ada yang dapat diharapkan untuk masing-masing ormas saling menghormati. Aroma kebencian dari sejak dahulu kala sampai saat ini masih terasa.
Karena itu, sebenarnya umat Islam masih harus belajar banyak dalam menerima perbedaan pendapat. Merasa kebenaran hanya ada pada dirinya hanya menjerumuskan pada jurang yang dalam, minimal bahwa benih-benih kesombongan menjadi santapan setan yang lezat. Bisa saja banyaknya amal yang telah terkumpul harus sia-sia dan tak ada nilainya hanya karena faktor niat yang tak ikhlas. Dan saya tidak ingin menerapkan pola-pola pengajaran yang bercorak "kolonialisme" tersebut ke generasi anak-anak saya ke depan karena hanya menimbulkan banyak "blunder" dan kesalahan fatal yang tidak bermanfaat bagi kemaslahatan ummat. Cukup saya saja yang menjadi korban indoktrinasi itu.
Referensi :
https://ipsk.lipi.go.id/index.php/kolom-peneliti/kolom-kemasyarakatan-dan-kebudayaan/45-benturan-antara-nu-dan-muhammadiyah?fbclid=IwAR27KrYjLANCvWzh73L3N-ZziobdawV5_vuW5L63Wx192MuWZ3edJsQ84rA