Bagi masyarakat Kabupaten Banyumas, nama Raden Kamandaka sudah tidak asing didengar di telinga. Tokoh legendaris ini erat kaitannya dengan situs Watu Sinom yang disebut-sebut sebagai salah satu tempat bersejarah dalam Babad Pasir.
Dikisahkan ada seorang raja Kerajaan Pajajaran, Prabu Dewa Niskala, yang memiliki 2 (dua) orang putra dari istri pertama. Putra pertama bernama Banyak Catra (Banyak Cotro). Ia merupakan putra mahkota yang digadang-gadang menggantikan kedudukan sang ayah yang sudah tua dan berkeinginan untuk turun tahta. Sedangkan adiknya bernama Banyak Ngampar.
Setelah ditinggal mati permaisuri, Raja Pajajaran itu kemudian menikah lagi dengan Dewi Kumudaningsih. Dari pernikahan ini lahirlah 2 (dua) orang anak : Banyak Blabur dan Dyah Ayu Ratu Pamekas. Saat hendak dinikahi sang raja, Dewi Kumudaningsih pernah memberikan syarat bahwa jika ia nanti punya anak laki-laki maka ia yang akan menggantikan posisi sang raja.
Saat mendekati lengser keprabon, Raja Pajajaran lalu memanggil kedua putranya yaitu Banyak Catra (anak dari permaisuri pertama) dan Banyak Blabur (anak dari permaisuri kedua). Raja Pajajaran hendak menyampaikan pemberitahuan untuk mengangkat Banyak Catra sebagai penerusnya karena ia merupakan anak dari permaisuri pertama. Namun sayangnya, Banyak Catra menyampaikan alasan bahwa ia belum memiliki calon istri sebagai pendamping saat nanti berkuasa sehingga ia berniat akan mencari calon permaisuri terlebih dahulu. Ia ingin kecantikan istrinya sama dengan wajah ibunya.
Maka saat itulah ia mulai melakukan pengembaraan untuk mencari calon pendamping hidup. Ia berangkat dari Keraton Kerajaan Pajajaran menuju ke arah timur melewati Gunung Tangkuban Perahu. Ia di sana berjumpa dengan seorang pendeta bernama Ki Ajar Wirangrong. Atas kesaktiannya, Ki Ajar dapat menerawang masa depan Banyak Catra dimana keinginan Banyak Catra untuk mendapatkan istri hanya akan terwujud apabila ia meninggalkan seluruh pakaian kebesarannya dan hidup sebagai rakyat biasa. Maka saat itu penampilan Banyak Catra berubah total, tidak terlihat sama sekali sebagai seorang putra mahkota. Namanya pun kemudian diganti menjadi nama samaran, Raden Kamandaka.
Selanjutnya, sesuai arahan Ki Ajar, Banyak Catra melanjutkan perjalanan ke arah timur. Sampailah ia di sebuah wilayah bernama Kadipaten Pasirluhur. Ia mengabdi pada patih kadipaten yang bernama Patih Reksanata. Kebetulan sang patih tidak memiliki putra, dan begitu melihat Raden Kamandaka, dirinya tertarik untuk mengangkat Raden Kamandaka sebagai anak angkat.
Sementara itu, junjungan sang patih, yaitu adipati Pasirluhur yang bernama Adipati Kanda Daha, memiliki putri-putri yang sudah menikah, kecuali putri bungsunya yang bernama Dewi Ciptarasa.
Pada suatu ketika, kadipaten melaksanakan tradisi menangkap ikan di Sungai Logawa. Dalam upacara tradisi itu, semua keluarga istana beserta pembesar dan segenap keluarga pemerintah Pasirluhur ikut serta turun ke sungai, termasuk Patih Reksanata yang juga mengajak Raden Kamandaka untuk ikut. Tak tertinggal, ikut juga Dewi Ciptarasa, menyaksikan tradisi menangkap ikan itu. Ia memperhatikan gerak-gerik Raden Kamandaka yang begitu cekatan dalam menangkap ikan. Ia juga mengakui ketampanan Raden Kamandaka sehingga terbersit dalam hatinya untuk dapat menikah dengannya. Begitu juga dengan perasaan yang dialami Raden Kamandaka. Ia seperti melihat sosok yang mirip dengan ibunya yang menjadikannya ia ingin memperistri Dewi Ciptarasa. Tempat dilakukannya tradisi itu disebut sebagai Kedung Brenangsiyang.
Hari berganti hari, Dewi Ciptarasa merasakan jatuh cinta yang mendalam kepada Raden Kamandaka. Dirinya yang berada di Taman Keputren merasa terbelenggu dan ingin berjumpa dengan Raden Kamandaka. Maka disuruhlah salah seorang abdinya yang bernama Biyang Kandheg untuk mencari tahu siapa laki-laki itu sampai akhirnya informasi yang diinginkan dapat diperoleh.
Dewi Ciptarasa pun kemudian membuat siasat agar dapat bertemu dengan Raden Kamandaka. Ia berhasil masuk menerobos kepatihan guna menyampaikan “misi” Dewi Ciptarasa. Maka diperoleh keputusan dimana Raden Kamandaka akan mencoba menyusup ke Taman Keputren meskipun tempat itu merupakan tempat sakral yang tidak boleh setiap orang masuk ke dalamnya. Sehingga pada suatu malam, Kamandaka berhasil menyusup ke Taman Keputren dan melakukan pertemuan secara sembunyi-sembunyi dengan Dewi Ciptarasa. Kejadian selanjutnya tidak perlu diceritakan, namun intinya kesucian Taman Keputren ternoda oleh kehadiran laki-laki asing, padahal keputren merupakan suatu tempat khusus bagi para putri raja atau adipati. Apa yang dilakukan Dewi Ciptarasa dengan mengundang laki-laki asing menjadi sebuah pelanggaran berat meskipun dalam hal ini, tetap saja yang disalahkan adalah pihak laki-laki. Apa yang dilakukan Kamandaka bagi sang adipati, Kanda Daha, merupakan bentuk penghinaan kepada martabat kadipaten dan kedudukannya sebagai adipati.
Adipati Kanda Daha lalu memerintahkan penangkapan terhadap Raden Kamandaka yang kepergok bertemu Dewi Ciptarasa di Taman Keputren. Namun penangkapan itu gagal karena kesaktian Raden Kamandaka. Ia berhasil kabur dari istana kadipaten. Mendengar lolosnya Kamandaka, sang adipati marah besar. Ia lalu memerintahkan Patih Reksanata untuk mencari dan menangkap Kamandaka. Meski berat hati karena Raden Kamandaka telah dijadikan anak angkatnya, namun Patih Reksanata tetap menuruti perintah adipati sambil berusaha mengatur siasat agar Kamandaka bisa lolos dari penangkapan para prajurit yang berada di bawah komandonya. Saat persembunyian Kamandaka ditemukan oleh sejumlah prajurit dan terjadi pertempuran hebat, ia berhasil lolos dengan menceburkan diri ke Sungai Logawa. Para prajurit kemudian menyusur sungai, berharap dapat menemukan jasad Kamandaka yang tewas terkubur di dalam sungai. Namun jasad Kamandaka tidak muncul-muncul ke permukaan air. Oleh para prajuritnya disimpulkan bahwa Kamandaka telah mati tenggelam. Keadaan ini dilaporkan kepada adipati yang membuatnya gembira atas berita kematian Raden Kamandaka. Tempat Kamandaka menceburkan diri ke dalam Sungai Logawa kemudian disebut sebagai Kedung Petahunan.
Rupanya Kamandaka tidak tewas. Ia berhasil menemukan gua di bawah Sungai Logawa yang menuju ke Surup Lawang yaitu sebuah pertemuan antara Sungai Logawa dan Sungai Serayu di wilayah Patikraja. Ia kemudian berjalan menyusur ke arah utara dan berjumpa dengan seorang janda bernama Kertilasari. Di dusun itu, Kamandaka menjadi penyabung ayam dimana dalam setiap pertandingan, ia selalu menang. Kabar kehebatan Kamandaka dan ayam sabungnya yang selalu menang terdengar di telinga adipati. Mengetahui Kamandaka belum mati menjadikan adipati murka. Ia lalu memerintahkan prajuritnya untuk menangkap Raden Kamandaka, hidup atau mati.
Saat terjadi ribut-ribut tentang keberadaan Kamandaka yang masih sehat wal afiat, tiba-tiba datanglah seorang pemuda yang memiliki ilmu kanuragan tinggi. Ia mengaku bernama Silihwarni yang ingin mengabdi di Kadipaten Pasirluhur. Padahal jati diri pemuda itu sesungguhnya merupakan orang penting dan bukan tokoh sembarangan. Ia adalah salah satu putra lain dari Raja Pajajaran yang bernama Raden Banyak Ngampar. Siapa dia ? Pada awal-awal tulisan ini telah dijelaskan bahwa Banyak Ngampar adalah adik dari Banyak Catra, anak kedua Raja Pajajaran dari permaisuri pertama. Sedangkan Banyak Catra telah menyamar sebagai Raden Kamandaka.
Karena sudah terlalu lama tidak bertemu, antara Banyak Catra (a.k.a Raden Kamandaka) dan Banyak Ngampar (a.k.a Raden Silihwarni) sudah tidak saling mengenal. Ndilalah Raden Silihwarni diperintahkan Adipati Kanda Daha untuk menangkap Raden Kamandaka. Dalam pencariannya, Raden Silihwarni pun menyamar sebagai tukang adu ayam. Ia telah menyematkan sebuah senjata berupa patrem (keris kecil) pada sayap ayam sabung yang dibawanya. Saat masuk ke arena sabung ayam dan berjumpa dengan Raden Kamandaka, dilemparkanlah ayam sabung milik Raden Silihwarni ke arah Kamandaka yang membuat badannya terluka. Selanjutnya terjadilah pertempuran antara keduanya. Akibat lambungnya yang terluka parah, Raden Kamandaka terpaksa melarikan diri menyeberangi Sungai Logawa. Tempat perkelahian antara Raden Kamandaka dan Raden Silihwarni kemudian dinamakan Desa Pejogol yang artinya saling dorong-mendorong.
Silihwarni terus melakukan pengejaran dari satu tempat ke tempat lain. Ada suatu tempat yang dinamakan Kober karena di sini selalu terjadi perkelahian yang berlangsung siang dan malam tanpa henti sehingga tidak sempat (bahasa Jawa : ora kober) beristirahat. Di tempat lain, Kamandaka dan pengikutnya yang bernama Ki Rekajaya, bersembunyi saat menerobos hutan. Tempat menerobos itu kemudian diberi nama Brobosan atau Bobosan.
Pencarian terus dilakukan dengan menerjunkan anjing pelacak, namun karena kesaktian Kamandaka, justru anjing itu menjadi jinak dan segera ditangkap Ki Rekajaya untuk dikurung. Tempat pengurungan itu kemudian disebut sebagai Kurung Anjing atau Karang Anjing.
Pengejaran demi pengejaran terus dilakukan oleh Raden Silihwarni beserta prajuritnya, sampai kemudian diteruskan sendiri oleh Silihwarni tanpa ditemani prajurit-prajuritnya itu. Sampailah di suatu batu besar dimana Raden Kamandaka meloncat ke atas. Tidak berapa lama tibalah Raden Silihwarni di tempat yang sama
Raden Kamandaka lantas menantang Raden Silihwarni dengan mengatakan, “Ayo, naiklah ke atas dan lawanlah aku, Raden Banyak Catra dari Kerajaan Pajajaran”. Mendengar ucapan Kamandaka itu, Raden Silihwarni lemas dan menangis. Orang yang dikejarnya itu ternyata adalah kakak kandungnya sendiri. Lalu ia mengajak Raden Kamandaka untuk pulang ke Pajajaran. Batu tempat kedua orang itu saling menantang kemudian disebut sebagai Watu Sinom yang artinya batu muda.
Guna mengelabui Adipati Kanda Daha, Silihwarni lalu menyembelih anjing yang dikurung dalam hutan. Hati, usus dan darahnya dibungkus lalu diserahkan kepada adipati lalu ia pamit untuk meneruskan perjalanan.