Wanita itu begitu hebat dan perkasa. Meski ototnya tak sekuat otot laki-laki namun gerakannya sangat lincah. Seolah ia memiliki banyak tangan dan kaki.
Setiap menjelang subuh, ia sudah terbangun dari tempat tidurnya. Ia mulai melakukan aktivitas dapur dan sumur sebagaimana layaknya seorang perempuan di sebuah keluarga. Di saat yang lainnya masih tergolek pulas, ia sudah terbangun, menyiapkan segala sesuatunya. Ia pastikan tidak ada pekerjaan yang terlewatkan. Waktunya terbatas sebelum ia harus pergi ke tempat yang jauh, suatu tempat dimana ia mengabdikan dan mendedikasikan dirinya sebagai seorang pengajar di sebuah sekolah dasar yang berada di lereng Gunung Slamet.
Bertahun-tahun aktivitas harian itu ia lakukan dengan tanpa terlihat mengeluh. Keringat yang bercucuran sehabis mencuci pakaian seluruh anggota keluarga sudah menjadi kesehariannya. Begitu juga bau badan akibat terkena asap dari pawon (tungku api) saat menyiapkan nasi untuk makan pagi keluarga. Hebatnya, alat-alat yang dipakai masih menggunakan peralatan tradisional. Tidak ada mesin cuci ala jaman sekarang yang serba pencet sana-sini sambil ditinggal bermain HP. Tak ada juga rice cooker yang tinggal colok ke steker listrik. Tempat cuci pakaian menggunakan batu cor yang di atasnya ditempel keramik lantai persegi kecil-kecil yang biasanya dipakai di kamar mandi. Sabun pun dipakai sabun batangan cap Sunlight warna kehijauan yang biasanya anak-anak pakai untuk membuat balon sabun. Mencuci pakaian dengan cara seperti itu dipastikan menguras banyak tenaga. Belum lagi posisi badan yang harus membungkuk yang membuat badan pegal-pegal sehabis melakukan aktivitas cuci pakaian. Itu belum termasuk mencuci piring dan gelas kotor yang siap menanti setelah anggota keluarga menyantap sarapan pagi.
Meski ia berprofesi sebagai guru namun tugas utamanya di rumah tak ditinggalkan begitu saja. Hampir tak ada perbedaan antara ibu rumah tangga penuh dengan yang merangkap bekerja di luar rumah. Semuanya dilakukan demi kebahagiaan keluarganya, suaminya, dan keempat anak-anaknya yang mulai menjelang remaja. Mungkin itulah wujud pemberian kasih sayang orang tua yang ia persembahkan meskipun harus membanting tulang dan tak kenal menyerah.
Yang membuat perjuangannya semakin berat adalah manakala ia harus berangkat pagi-pagi buta selepas subuh. Itu dikarenakan lokasi tempat mengabdikan dirinya merupakan sekolah dasar yang paling ujung utara di sebuah desa yang tak ada lagi desa di atasnya. Pertama, ia harus pergi ke kota kecamatan terlebih dahulu diantar suaminya. Lalu ia harus menunggu keberangkatan angkutan pedesaan yang masih menggunakan mobil ala Si Doel Anak Betawi. Ya, yang tempat duduknya saling berhadapan, lalu di lorong tengahnya masih dipakai duduk menggunakan jok kayu yang bisa dipindah-pindah pakai tangan !. Dan yang paling menjadi ciri khas angkutan pedesaan adalah bergelantungannya para pelajar di ujung belakang mobil. Saking berdesakannya penumpang jadi mirip ikan dendeng yang berjejeran !.
Perjalanan menuju lereng Gunung Slamet tidak singkat karena harus menaikkan dan menurunkan penumpang di sepanjang jalur yang dilalui. Maka agar tidak ketinggalan jam mengajar, perempuan itu harus berangkat pagi-pagi buta selepas subuh. Turun dari Vespa tua milik suaminya, ia harus menunggu dengan sabar sampai angkutan pedesaan itu benar-benar meninggalkan pangkalannya. Kondisi jalan raya yang tak selalu mulus menambah kesusahan yang harus ia tahan. Tak ada pilihan lain selain berupaya tetap sabar dalam menjalankan profesi mulianya itu. Keadaan tak berhenti di situ. Tempat terakhir angkutan pedesaan itu berhenti tidak persis berada di depan sekolah dasar yang dituju. Posisinya masih di desa di bawahnya. Maka perjuangan selanjutnya menanti. Ia harus turun dari angkutan pedesaan itu dan berjalan kaki menuju ke atas. Kondisi kontur jalan yang miring menyebabkan tenaga yang dikeluarkan semakin besar, mirip orang naik gunung. Beruntung jika ada satu dua sepeda motor lewat, biasanya ada saja orang baik yang menawarinya ikut di jok belakang, tapi itu jarang terjadi.
Perjalanannya dari rumah menuju sekolah selalu dalam kondisi matahari belum muncul ke permukaan. Apalagi ketika angkutan pedesaan itu mulai menanjak di sepanjang lereng Gunung Slamet. Menembus jalan desa yang sepi, yang di kanan kirinya masih ditumbuhi pepohonan lebat dengan suara-suara hewan di sekitarnya. Saat embun pagi masih menempel dan membuat butiran-butiran air bening di ujung dedaunan. Kabut itu seakan menjadi teman perjalanannya sebelum ia bertemu dan bercengkerama dengan anak didik kesayangannya di sekolah. Ia adalah “Perempuan di Balik Kabut”. Dialah ibuku, sosok yang telah membesarkanku sampai aku dewasa. Semoga kisah perjuangannya senantiasa memberikan kekuatan agar aku bisa lolos dari ujian kehidupan.
Note : Ibu saya pernah mengabdi di SD Negeri Semaya, Sunyalangu, Kecamatan Karanglewas, Kabupaten Banyumas (sekitar tahun 1985).