Seringkali kita merasakan beban hidup yang berat manakala harus melakukan ritual bekerja yang menguras fisik maupun psikis.
Saya sendiri, sebagaimana kaum pekerja di ibu kota, saat ini harus menempuh perjalanan yang lumayan jauh dari tempat tinggal sampai lokasi kantor. Saya coba menghitung jarak perjalanan berjalan kaki (diluar naik angkot, Commuterline, dan Transjakarta) yang rinciannya dapat dibreakdown sebagai berikut (memakai patokan Google Maps) : (1) Tempat tinggal di Jl Hartono Raya Tangerang ke halte menunggu angkot di Jl Jenderal Sudirman Tangerang : 850 meter. (2) Turun angkot di palang pintu Stasiun Tanah Tinggi Tangerang ke peron Stasiun Tanah Tinggi Tangerang : 100 meter. (3) Turun Commuterline di Stasiun Grogol Jakarta Barat ke halte Transjakarta Latumenten Grogol : 180 meter. (4) Turun Transjakarta di halte Mampang Prapatan Jakarta Selatan ke Twink Building Jakarta Selatan : 400 meter. Maka total jarak jalan kaki dalam 1 (satu) arah adalah (850 + 100 + 180 + 400) meter = 1530 meter atau 1,53 kilometer. Jadi ditotal dalam satu hari (pergi-pulang) berjumlah 2 x 1,53 kilometer = 3,060 kilometer !. Jika sebulan rata-rata bekerja 22 (dua puluh dua) hari maka jarak tempuh berjalan kaki = 22 x 3,060 kilometer = 67,320 kilometer !. Betapa melelahkan bukan ?!. Belum lagi dengan tekanan psikologis dengan hiruk pikuknya serta penuh sesaknya moda transportasi umum yang saya gunakan. Berdiri di Commuterline dan Transjakarta selama puluhan menit dalam sekali jalan sudah menjadi santapan sehari-hari.
Itu hanya cerita dari saya pribadi, belum dengan realitas pekerja lain yang nasibnya tidak lebih baik dari saya. Kadang ada saja postingan di Group FB Pengguna Kereta Api Jabodetabek yang upload foto ketika sang member telah berada di sebuah stasiun Commuterline pada subuh hari. Ia harus memulai perjalanan lebih awal karena harus menempuh jarak perjalanan yang lebih jauh dari pekerja lainnya. Di saat itulah saya kadang tersadar bahwa saya tidak hanya sendirian bergumul dengan kerasnya kehidupan di ibukota. Banyak diantara saudara-saudara kita yang kondisinya lebih parah dan memprihatinkan. Wajar jika sering terlihat wajah-wajah kuyu dan terkantuk-kantuk saat para pekerja duduk di Commuterline maupun Transjakarta.
Akhirnya saya mencoba mencari tahu, bagaimana Tuhan memberlakukan hamba-Nya yang rela berjuang mati-matian untuk mencari nafkah bagi diri dan keluarganya. Dan jawaban Tuhan itu sangat menentramkan, seolah ingin menenangkan hati manusia yang suka berkeluh kesah. Keadilan dan kemurahan hati-Nya terlihat pada janji Allah SWT sebagaimana disebut dalam sebuah hadits Nabi SAW, “Barangsiapa pada malam hari merasakan kelelahan dari upaya ketrampilan kedua tangannya pada siang hari maka pada malam itu ia ampuni oleh Allah” (HR Ahmad). Bahkan, derajat keutaman orang bekerja itu berada satu tingkat saja di bawah ibadah fardhu. “Mencari rejeki yang halal adalah wajib sesudah menunaikan yang fardhu” (HR Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi). Lebih jauh lagi, Nabi SAW menempatkan orang yang bekerja pada posisi layaknya mereka yang berjihad di jalan Allah. Rasulullah SAW bersabda, “Apabila seseorang keluar mencari rizki karena anaknya yang masih kecil maka ia di jalan Allah. Apabila ia keluar mencari rizki karena kedua orang tuanya yang telah renta maka ia berada di jalan Allah. Apabila ia keluar mencari rizki karena dirinya sendiri agar terjaga harga dirinya maka ia berada di jalan Allah” (HR Al-Mundziri, At-Targhib wa At-Tarhib).
Semoga tulisan di atas dapat memberikan motivasi dan keteguhan hati kepada para pejuang keluarga yang rela melakukan perjalanan jauh dalam menjemput rizkinya di jalan Allah SWT.
Tulisan nya menbuat saya lebih mensyukuri hidup. Saya yg baru pindah dari Medan ke jakarta, ngontrak di depok saja kadang suka mengeluh padahal masih banyak yg kerjanya masih lebih jauh dari saya.
ReplyDelete