Salah satu kejadian menarik dalam relasi hubungan ormas Islam dengan pemerintah adalah adanya perbedaan dalam penentuan awal Ramadhan maupun Iedul Fitri dan Iedul Adha.
Contohnya yang terjadi pada tahun 2011 dimana keputusan Menag RI dalam sidang istbat tanggal 29 Agustus 2011 pukul 20.00 WIB berbeda dengan keputusan salah satu ormas Islam yaitu 1 Syawal 1432 H menurut versi pemerintah ditetapkan pada hari Rabu, 31 Agustus 2011 sedangkan salah satu ormas itu menyatakan tidak mengikuti keputusan tersebut. Berbagai polemik pun muncul karena adanya 2 (dua) versi tersebut.
Sesungguhnya Allah SWT menegakkan kepemimpinan dengan maksud untuk mencapai kemaslahatan umat dimana kita diperintahkan untuk menaati ulil amri setelah mentaati Allah dan Rasul-Nya. Dan mengikuti pemerintah dalam penetapan Iedul Fitri dan Adha adalah perkara yang telah ditetapkan Rasulullah SAW. Nabi SAW bersabda yang intinya menyatakan, “Puasalah pada saat kalian semua berpuasa, demikian pula pada saat beridul fitri dan beridul adha”. Bahwa perkara ini tidak boleh diserahkan kepada individu dan organisasi namun harus diserahkan kepada pemimpin. Inilah yang dicontohkan pada jaman Rasulullah.
Perhatikan ketika Abdullah bin Umar melihat hilal, ia harus lapor dulu ke Rasul, tidak langsung ia umumkan sendiri ke khayalak. Ini menunjukkan bahwa perkara ini merupakan hak penguasa dan bukan hak individu maupun organisasi. Syaikul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa jika ada sebagian melihat hilal dan ketika dilaporkan ke qadhi, kesaksiannya ditolak maka beliau berhujjah dari beberapa sisi. Si penglihat hilal wajib mengikuti penguasa atau pemerintah. Kedua, jika hanya sebagian orang melihat hilal maka tidak lantas berlaku kesaksian itu. Karena hilal itu merupakan nama yang tampak di berbagai tempat dan tidak masyhur kecuali dengan keputusan pemerintah.
Para ulama telah menyebutkan bahwa hukum pemerintah digunakan untuk menyelesaikan perselisihan yang ada. Apabila ada orang berkata, bisa jadi imam yang mengambil keputusan melakukan kecurangan maka perkara ini merujuk pada hadits pada kasus imam dalam sholat jamaah. Jika imam benar maka makmum dan imam sama-sama mendapat pahala. Jika imam salah, jamaah tetap mendapat pahala dan imam yang mendapat dosa. Sehingga jika ada imam menolak kesaksian hilal maka menurut Syaikul Islam kita diharuskan agar tetap mengikuti imam atau pemerintah karena merekalah yang berhak menentukan. Terjadinya perpecahan di Indonesia terjadi karena tidak mau mengikuti pemerintah. Masing-masing organisasi merasa berhak menentukan sendiri padahal di jaman Rasul tidak pernah ada kejadian seperti ini.